Kehilangan...

Kehilangan selalu saja menyebabkan kenestapaan. Tidak peduli betapa kita telah berupaya keras untuk mengatasi kehilangan itu dengan bermacam cara. Meskipun telah penat kita menguatkan hati untuk mengambil pelajaran penting yang mungkin tersembunyi di balik kehilangan itu. Selalu dan tetap menyisakan perih.

Kita menyaksikan kehilangan terjadi  di sekitaran kita hampir setiap detik. Di masjid dan mushalla, berita duka tentang kehilangan seseorang yang berarti dan dekat dalam kehidupan kita kerap mengguncangkan hati. Sehingga saking seringnya berita duka itu kita dengar, kata kehilangan menjadi akrab meski tetap asing dan menyakitkan.

Pada suatu malam yang berjalan pelan, aku berkata pada dirimu: "Sayangku, apa yang akan terjadi padamu, bila suatu hari nanti aku kehilangan kecantikan, kesehatan dan kemudaanku? Apakah dirimu akan meninggalkan aku?"

Senyap. Dirimu berpikir keras. Aku tahu dirimu kesulitan menghimpun kalimat yang pas untuk menjawab pertanyanku. "Mengapa engkau berkata begitu", tuturmu lembut. Aku memejamkan mata, menikmati belaian jemarimu di dahiku. "Aku hanya ingin tahu, sayang. Kita hanya berempat dengan kedua gadis kecil kita. Bila saatnya nanti mereka menemukan belahan hatinya, pasti kelak kita akan menua berdua saja", bisikku sambil mengecup telingamu.

Tanganmu meraih daguku, seraya mengucap sesuatu yang membahagiakan aku: "Sayang, aku akan merawatmu bila engkau sakit, menggendongmu bila engkau tidak kuat berjalan, menyuapimu saat dirimu hendak makan sesuatu".

Kita mereka-reka kehilangan kecantikan, kesehatan dan keremajaan tidak akan pernah mengenyahkan kasih dan sayang. Kita membuat perjanjian tak tertulis bahwa kita akan senantiasa memelihara cinta sampai usia kita menua, kulit kita mengeriput, dan rambut kita menguban. Tapi sebenarnya kita tidak pernah tahu apakah kelak kehilangan itu akan menyakitkan sedemikian rupa sampai kita lupa pada semua janji dan tutur kita. Kehilangan selalu menyakitkan.

Ah, sayang. Bukan aku meragukanmu. Namun kehilangan dan setiap inci  perih yang menyertainya adalah hukum alam. Kekuatan alam tak pernah bisa kita prediksi seberapa besar dampak yang timbul saat itu terjadi.

Tapi baiklah, aku harus yakin dan menaruh harapan besar pada tuturmu. Tutur yang tidak mudah engkau keluarkan dari bibirmu. Tutur yang muncul dari dalam hatimu. Kehilangan apapun tidak mengubah sedikitpun cintamu padaku. Termasuk bila aku kehilangan nyawaku...

Cinta Dalam Gelas vs Maryamah Karpov

Nama Andrea Hirata adalah jaminan buku laris yang begitu bukunya terpajang di rak-rak toko buku langsung melejit jadi best seller hanya dalam hitungan minggu. Mungkin itulah makanya saya tergerak begitu saja untuk memesan novel dwilogi Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas dari sebuah toko buku online. Saya dilanda penasaran akut untuk menemukan sebuah jawaban yang menggantung di kepala saya ketika membaca novelnya yang terakhir dalam tetralogi Laskar Pelangi, yaitu Maryamah Karpov.

Selain itu saya juga ingin merasakan kembali momen syahdu yang meruntuhkan air mata saat membaca adegan dalam Laskar Pelangi tatkala Mahar menyanyikan sebuah lagu barat untuk pertama kalinya di depan kelas. Entah mengapa saya sangat menyukai Mahar. Juga saya ingin menemukan kembali scene seru dalam Sang Pemimpi yang membuatku ngikik tidak habis-habis, karena membayangkan Arai memerankan anjing pudel yang lucu, menyalak-nyalak tidak karuan demi melihat pujaan hatinya tergelak di pinggir lapangan menyaksikan dirinya menjalani hukuman.

Saya menghabiskan waktu tidak lebih dari tiga jam untuk menamatkan dwilogi Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas itu. Bukan karena saya memiliki kemampuan untuk membaca cepat, tapi lebih karena bagi saya dwilogi ini belum menawarkan sesuatu yang berbeda dari novel-novel Andrea Hirata sebelumnya. Dalam dwilogi ini, Andre Hirata masih menulis dengan gaya yang sama, diksi yang sama, alur yang sama dengan keempat novelnya terdahulu. Tidak ada kejutan-kejutan cerita yang memompa emosi saya dari menangis lalu tiba-tiba tergelak karena lucu. Ini dijelaskan oleh penuturannya yang saya baca di sebuah website. Andrea mengatakan bahwa novel terakhir yang dia terbitkan yakni Sebelas Patriot mempunyai gaya penulisan yang berbeda dengan novelnya terdahulu. Ini disebabkan novel terakhir nya itu ditulis setelah dia mendapatkan beasiswa untuk belajar menulis di Universitas Iowa pada tahun 2010.

Yang menarik bagi awam seperti saya , buku ini sangat lelaki meski misinya jelas. Memperjuangkan kesetaraan hak antara lelaki dan perempuan. Itu karena tema utamanya dari awal sampai akhir adalah tentang kopi dan catur. Tidak ada yang lebih lelaki dari kedua hal itu deh, kayaknya. Setidaknya menurut saya. Boleh dibilang, jika ada perempuan yang mengakrabi kedua hal akan tampak beda - kalau tidak bisa dibilang aneh. Dan pasti akan membuat orang yang melihatnya mengernyitkan dahinya. Coba saja bayangkan kita melihat seorang perempuan main catur sambil sesekali menghirup kopi saat memainkan pionnya. Hehe.



Jika Dee Lestari pernah menulis tentang filosofi kopi, maka serupa dengan itu, Andrea Hirata mengupas seluk beluk kopi dan kecenderungan sifat peminumnya ditakar dari bagaimana cara seseorang menghabiskan kopinya, seberapa kental kopi dan seberapa manis gulanya. Sampai tentang kesetiaan seorang perempuan yang besar cinta pada lelaki yang menjadi suaminya dapat dilihat dari begitu mendarah dagingnya ritual perempuan itu menjerang air di pagi buta lalu menyeduhkan segelas kopi untuk lelaki yang dicintainya itu. Itulah mengapa novel itu berjudul Cinta dalam Gelas.

Mungkin saya salah, tapi entah mengapa saya merasa ada ketidak sesuaian  antara judul dan isi novel itu. Sekali lagi saya mungkin salah. 


Ketika saya membaca Maryamah Karpov, dengan membaca judulnya saya segera beranggapan bahwa isi novel itu adalah segala segi kehidupan dari seseorang yang bernama Maryamah. Di novel Sang Pemimpi sosok Maryamah secara sepintas digambarkan oleh Andrea sebagai seorang perempuan paruh baya yang sudah ditinggal mati oleh suaminya, hidup menderita sampai sampai untuk membeli beras pun tidak sanggup lagi. Lalu Maryamah dengan terpaksa harus menukar segantang beras dengan biola kesayangan anak gadisnya. Biola itu tidak jadi dilego karena ibunda Ikal dengan ikhlas memberikan beras untuk anak beranak itu.


Dari situ kepenasaranan saya menggantung, sebab Andrea Hirata tidak kunjung menjelaskan duduk perkaranya mengapa sampai perempuan itu memiliki Karpov sebagai nama julukannya. Maka saya berpikir buku Maryamah Karpov lah yang akan menuntaskan segala tanya di benak saya. Tapi keliru besar. Saya tidak menemukan secuilpun kisah Maryamah di buku itu. Yang ada malah pergumulan Ikal dengan hasratnya yang terbesar untuk menemukan perempuan Tionghoa paling dicintainya sampai mengigil-gigil. Maryamah Karpov sepertinya tidak mendapat tempat di 'rumah'nya sendiri. Andrea Hirata gegap gempita mengisahkan penaklukan Ikal terhadap pertaruhan orang di kampungnya menanggapi pencarian spektakuler itu. Spektakuler menurut saya, karena Ikal sampai harus bekerja membanting tulang untuk membiayai pembuatan perahu untuk ekspedisi ke pulau sarang penyamun, tempat dimana konon A Ling berada.


Dan di buku dwi logi Padang Bulan dan  Cinta Dalam Gelas lah, kisah paripurna tentang seorang Maryamah Karpov dibentangkan. Saya terkecoh saat membaca sinopsis bahwa dwilogi ini mengisahkan tentang perjuang hidup seorang gadis miskin bernama Enong. Saya mengira ini adalah tokoh baru. Kisah bagaimana Enong cilik terlunta-lunta mencari pekerjaan di Tanjong Pandan, mengais sisa-sisa timah untuk menukarnya dengan beras, dikejar-kejar preman suruhan cukong timah sampai harus melompat dari tebing ke sungai yang deras. Ternyata menuntaskan penasaran saya tentang Maryamah Karpov. 

Mungkin itu memang 'kenakalan' Andrea Hirata untuk membuat orang awam seperti saya, tetap menyimpan penasaran untuk buku-bukunya. Saya memang pernah mendengar bahwa judul dibuat untuk menarik perhatian orang agar mau membaca. Tapi rasanya buat saya kok tetap seperti ada yang salah tempat. Hehe. Saya lebih suka kalau judul merepresentasikan apa yang yang menjadi isi dari sebuah tulisan. Jadinya nyambung gitu


Terlepas dari anggapan saya, novel dwilogi Andrea Hirata ini cukup menghibur dan masih disukai pembaca. Buktinya, belum sebulan dilempar ke pasaran, dwilogi ini telah meraih mega best seller dengan total penjualan mencapai 25.000 eksemplar. Fantastis bukan? Nah, buat teman-teman yang penasaran seperti saya, mending baca deh novelnya. Mungkin, setelah membacanya nanti kalian akan mengerti maksud saya, Hehehe... Salam.



Ajaibnya Internet

Ada tujuh penghuni baru di kamarku. Mereka kusambut dengan antusias karena kedatangan mereka telah kutunggu-tunggu sejak jauh hari bahkan sebelum kamar yang kutinggali ini jadi. Kehadiran tujuh makhluk sexy itu adalah momentum penting dimana aku tidak lagi terasing dari peradaban. Terlepas dari ketidakberdayaan mengakses informasi.  Bebas merdeka dari kejahiliyahan yang mengangkangi otakku karena keterbatasan fasilitas.

Semua itu karena benda ajaib bernama internet. Sejak 2007 benda itu hadir di kehidupanku, baru kali ini aku merasa bahwa internet itu sungguh ajaib. Selama itu internet hanya menjadi media bagiku untuk membangun kembali komunikasiku dengan teman-teman lama yang kini sudah tersebar ke berbagai penjuru tempat. Aku terbuai begitu lama menghabiskan waktu luangku hanya untuk ikut trend menjadi narsis. Mengupdate status tentang hal-hal yang remeh temeh yg seringnya hanya karena ingin mengundang komentar banyak dari teman temanku, memasang foto yang tidak jelas momennya. Atau hanya iseng membacai status teman-temanku, seolah tanpa melakukan itu sehari saja aku akan ketinggalan zaman. Hehe...

Jangan bertanya kenapa aku begitu lama menemukan momentum "aha" itu. Di Sumba segala sesuatu berjalan sangat lambat. Termasuk sinyal telephon genggam. Hal yang amat berperan dalam menyemarakkan penggunaan internet di Sumba. Deras tenangnya arus sinyal yang masuk menjadi penentu ketekunan kita mengakses internet.

Tanpa internet sungguh sulit kubayangkan ke tujuh penghuni baru itu bisa hadir menemaniku. Mungkin keberadaannya pun di dunia ini tidak pernah bisa ku ketahui. Kini aku dengan mudah bisa menghadirkannya ke pangkuanku. Rasanya aku harus berterima kasih kepada Tim Berners Lee, sang penemu jaringan internet World Wide Web. Berkat kejeniusannya aku tidak perlu menunggu bertahun-tahun hanya untuk sekedar mampir ke sebuah toko buku.

Ke depannya aku mungkin akan membutuhkan tempat khusus untuk menampung penghuni-penghuni baru lainnya yang kupastikan akan terus berdatangan ke kamarku. Saat inipun aku sudah memikirkan untuk memesan stempel untuk menandai bahwa mereka, penghuni-penghuni baru itu adalah milikku. Membayangkannya saja sudah membuatku sangat excited. My own library...

Ya, benar sekali. Penghuni-penghuni baru di kamarku itu adalah buku. Tujuh buku-buku yang sangat sexy.

Pemantik

Tidak mudah untuk menjadi seorang penulis. Atau lebih tepatnya buatku, tidak mudah untuk menulis. Itulah kesimpulan yang bisa aku tarik setelah  lima bulan dua minggu yang telah lewat aku mendeklarasikan mimpiku untuk menjadi penulis. Sangat tidak mudah karena ternyata setiap kali hendak menulis, aku harus menemukan terlebih dahulu satu pemantik yang bisa menyalakan terang di otakku. Lalu setelahnya baru aku bisa menemukan remah-remah kata yang terselip diam di pikiranku.

Ketika aku memposting note pertamaku yang kuberi judul "Mimpi", aku berpikir pemantik yang menyalakan terang di benakku saat itu akan terus tinggal dan menetap di jiwaku. Lalu keesokan harinya dan hari-hari berikutnya aku akan dengan mudah menuangkan pikiranku ke dalam sebuah tulisan. Dugaan yang salah. Pemantik itu rupanya sebangun dengan emosi. Ia mengalami pasang surut serupa ombak. Dalam perjalanannya ia bisa  timbul tenggelam, datang pergi dan bukan tak mungkin benar-benar pergi. Sungguh merepotkanku saja, bila aku harus terus mencari-cari pemantik bila ingin menulis.

Karena aku masih sangat bergantung pada pemantik, maka apa daya, selama kurun waktu lima bulan lebih dua minggu itu ternyata aku hanya bisa menghasilkan tidak lebih dari 16 tulisan. Itupun lebih banyak tulisan galau ketimbang tulisan serius, hehehe. Amat memprihatinkan, bukan?

Di Twitter, demi mendongkrak minatku untuk terus menulis, aku memfollow seratus lebih orang yang berprofesi sebagai penulis. Mulai penulis sekelas Fajar Arcana yang editor harian Kompas Minggu, Jenar Maesa Ayu, Ayu Utami, Gola Gong,  Pipiet Senja, bahkan novelis internasional seperti Paulo Coelho yang terkenal dengan karyanya The Alchemist.

Tidak cukup dengan itu, aku mulai "bergaul" dengan komunitas para kompasianer di situs jejaring sosial besutan Jack Dorsey, Biz Stone dan Evan Williams itu. Sebuah langkah yang memerlukan modal muka tembok. Ada saat dimana aku ditanya: "kompasianer juga ya?". Lalu dengan sangat malu hati aku menjawab: "hehehe, bukan mbak". Dan itu saja. Setelah itu tidak ada lagi balasan sapaan yang dimentionkan ke akun twitterku.

Sedih? Tentu tidak. Masih ada penulis-penulis lain yang berkenan melayani celotehanku di Twitter. Fajar Arcana, Sitok Srengenge, Pipiet Senja dan beberapa penulis blogger, adalah sebagian dari penulis yang masih mau menyisihkan waktu di timelinenya yang bergerak cepat untuk membagi ilmu menulisnya padaku. Untuk itu aku  menaruh rasa hormat dan salut yang tulus kepada mereka. Meski terbatas, interaksi yang mereka jalin via twitter denganku itulah yang sampai kini menjadi pemantik di dalam dadaku untuk tetap belajar menulis, sekacau apapun hasil tulisanku.

Ada satu ungkapan bagus yang pernah dikatakan oleh seorang kawan di twitter. Ketika itu aku meminta saran darinya karena setiap kali aku mencoba menuliskan sesuatu selalu black out dan akhirnya aku menyerah dan menghapus tulisan yang sudah membentuk paragraf. Aku sangat tersentuh dengan ungkapan itu, sebuah ungkapan yang menusuk kalbu bagi siapapun yang merasa dirinya seorang ibu. Dan sangat masuk akal bagi penulis yang masih belajaran seperti aku.

"Kata-kata yang engkau tuliskan adalah bayi-bayi yang engkau lahirkan dengan susah payah. Jangan pernah membunuhnya". Ungkapan ini menyadarkan aku bahwa setiap kata yang dituliskan pada sehelai kertas adalah anak-anak dari siapapun penulisnya. Setiap anak memiliki raut wajah, postur badan, sifat dan karakteristiknya sendiri-sendiri. Tentu bukan tindakan yang baik mengenyahkan seorang anak hanya karena aku tidak melihat ada keindahan dalam wujudnya. Begitupun kata-kata yang aku tuliskan.

Dengan mengingat erat ungkapan itu, aku berharap bisa mensugesti diriku sendiri bahwa pemantik itu masih ada. Setidaknya sampai aku tidak membutuhkan lagi satu pemantik apapun untuk menulis. Saat dimana menulis sudah menjadi separuh nafasku. Hmm, kapan ya ....