Rindu Adil

Baru saja aku membicarakan dirimu dengan seorang kawan, Nak. Tentang berapa usia dan kelasmu sekarang. Tak terasa sudah lewat satu dekade hidupmu kau gantungkan padaku. Seorang ibu yang mungkin tak kan pernah menjadi ibu yang genap menyuplai kasih sayang dan belaian cinta kepadamu. Seorang ibu yang pernah membuatmu menitikkan air mata dan meninggalkan jejak kecewa di sudut terdalam hatimu. Maafkanlah ibumu ini, Nak.

Sayang, mungkin dirimu sudah lupa sebelas tahun yang lalu tubuh merah mungilmu kudekap erat sesaat setelah dirimu menghirup udara di dunia fana ini. Badanmu masih lengket oleh sisa air ketuban dan darah yang belum benar-benar dibersihkan. Menggeliat entah kedinginan atau geli karena kulitmu yang halus itu menempel di dadaku. Aku menitikkan air mata. Bahagia melihatmu hadir di hidupku. Di hidup ibu dan ayahmu.

Dirimu adalah anugrah Tuhan untuk kami. Sekaligus amanat terberat yang harus kami junjung di ubun-ubun kami. Kekhawatiranku akan kelemahan dan ketidak sempurnaanku sebagai manusia sekaligus sebagai ibu, sempat menderaku. Bisakah aku membahagiakanmu, menceriakanmu, membuatmu bangga dan bisa menjalani hidupmu tanpa kurang suatu apa? Entahlah, Sayang. Sampai sekarang, aku masih takut untuk menanyakan kepadamu apakah dirimu bahagia memiliki ibu seperti aku.

Nak, kecintaanku pada dirimu mungkin tidak terkabarkan oleh semilir angin, oleh derasnya rinai hujan, oleh teriknya sinar mentari. Namun di dadaku, nama dan ingatan tentangmu selalu tersimpan hangat dan terselimut rindu. Dirimu yang kini jauh dari jangkauan selalu aku naungi dengan doa-doa keselamatan dan kebahagian.

Ingin kuceritakan kepadamu, Nak, tentang betapa lucunya dirimu saat masih bayi. Tentang semua orang yang selalu menjawili pipimu saat kubawa dirimu keman-mana. Tentang saat-saat menjelang kelahiranmu, dan itu adalah bagian cerita yang paling kusuka. Nanti, Nak. Sekarang aku harus menenangkan debaran rindu di dada ini yang membuncah tak karuan. Sampai menikam-nikam.

Batu Kubur Sumba Nan Antik

Batu kubur nan gagah dengan pahatan tanduk kerbau
Sore ini, sepulang dari kantor saya menyempatkan singgah di sebuah area kuburan di bawah Kampung Tarung. Letaknya persis di sebelah kanan jalan masuk utama kampung itu. Saya tertarik untuk mengabadikan  beberapa kuburan yang untuk ukuran di sekitar kampung itu lumayan megah di zamannya. 




Yang menarik  adalah batu kubur itu bercirikan meghalithikum. Batu kubur yang  sudah berusia tua itu menjadi ciri khas tersendiri dan keberadaannya tersebar luas di setiap perkampungan adat yang ada di Sumba. Jangan heran bila suatu saat anda berkunjung ke Sumba, batu kubur seperti ini akan anda jumpai di sepanjang perjalanan. 

Batu kubur ini dibuat dari sebongkah batu gunung yang dipotong secara manual. Dengan menggunakan kapak, parang dan gergaji,  ratusan orang bergotong royong memotong batu gunung itu, dan membentuknya menjadi dua bagian. Yang pertama adalah bagian utama yang  serupa kotak yang terbuka di bagian atasnya. Kemudian yang kedua adalah  penutupnya. Beberapa batu kubur pada bagian kepalanya dihias dengan ukiran kepala kerbau dan bagian ujungnya dihias dengan ukiran pantat kerbau.
 

Pahatan mamoli di kepala batu kubur

Karena dibuat dari batu gunung dan dikerjakan secara manual, sederhana pula, maka bisa dipastikan proses pembuatan batu kubur itu memakan waktu yang cukup lama. Itulah sebabnya mengapa mayat orang Sumba harus menunggu sampai bahkan sebulan lebih untuk dikuburkan. Selain penguburan itu harus menunggu semua keluarga dan sanak famili datang dari tempat yang jauh, pembuatan batu kuburnya pun menyebabkan si mayat harus menunggu lebih lama. Sehingga untuk mengawetkan mayat agar tidak membusuk dan menyebarkan bau tidak sedap, formalinlah solusinya.
Pahatan ayam di belakang batu kubur

Setelah jadi, batu kubur itu akan digulirkan dengan menggunakan tali tambang dan balok kayu ke tempat yang telah ditentukan, umumnya di halaman depan rumah, untuk kemudian jenazah dimasukkan kedalam batu kubur itu dalam posisi duduk memeluk lutut. 

Besarnya batu kubur itu bervariasi. Ada yang berukuran panjang empat meter, lebar dua meter dan tinggi dua meter. Saya melihat ada tiga batu kubur yang ukurannya lebih besar dibanding sepuluh batu kubur lain yang ada di situ. Namun itu tidak seberapa besar dibanding dengan sebuah batu kubur raksasa yang saya temui di sebuah desa di Kecamatan Tana Righu. Besarnya kurang lebih panjang tujuh meter , lebar lima meter dan tinggi tiga meter. Sayang saya tidak sempat mengabadikannya karena saat itu saya tengah menemani Bapak Kakanwil dan Ibu dalam sebuah kunjungan keluarga.

Besarnya ukuran batu kubur itu karena batu kubur itu memang dibuat untuk menampung banyak mayat dari klannya masing-masing. Saya membayangkan betapa repotnya mereka menggeser penutup batu kubur yang beratnya minta ampun sampai terbuka, memasukkan mayat lalu menggeser kembali penutupnya untuk menutup batu kubur itu. Dengan ukuran seperti diatas, ketebalan kurang lebih empat puluh sentimeter, anda pasti tahu untuk menggesernya butuh puluhan tenaga laki-laki dewasa.

Pahatan tanduk kerbau di bagian pangkal batu kubur
Pahatan ekor kerbau di ujung batu kubur
Pahatan kepala dan ekor kerbau di bagian pangkal dan ujung batu kubur itu punya cerita unik tersendiri. Mungkin anda sudah tahu bahwa kerbau adalah hewan utama yang perannya amat penting dalam kehidupan orang Sumba. Dalam setiap pesta dan perayaan adat, puluhan kerbau harus merelakan nyawanya untuk 'ditikam'. Pengorbanannya menjembati 'dunia bawah' dan 'dunia atas'. Dalam kepercayaan Marapu Sumba, seorang yang mati akan mengendarai kerbau untuk bisa mencapai kebahagiaan di 'dunia atas'. Sehingga mereka menyerupakan batu kubur itu sebagai seekor kerbau, kendaraan bagi si mayat.

Batu kubur ini dibuat pada tahun 1940
Ketika saya bertanya kepada teman saya, mengapa kuburan mereka harus dibuat seperti itu. Mama Enjel yang penduduk Kampung Tarung menjawab, orang sumba percaya bahwa orang mati tidak layak dikuburkan di dalam tanah, seperti bangkai hewan. Manusia derajatnya lebih tinggi dari pada hewan oleh karenanya meninggalnya pun tidak boleh dikuburkan seperti seekor hewan dikuburkan. Bahkan, dulu si mayat dikuburkan bersama dengan barang kesayangannya. Di Anakalang dan Waingapu, malahan konon hamba sahaya si mayat turut menguburkan dirinya hidup-hidup. Tradisi yang unik tapi sekaligus mencengangkan.

Belakangan ini, pembuatan batu kubur di rumah-rumah penduduk umumnya sudah dimodernisasi dengan menggunakan batu bata dan semen, kemudian dihias dengan menggunakan keramik.  Ukurannyapun lebih kecil. Untuk memudahkan bila ada mayat yang harus dikuburkan lagi di batu kubur tersebut, dibuatlah semacam pintu kecil dari beton di bagian ujung batu kubur. Praktis dan efisien, sesuai dengan perkembangan zaman kan? 

Masih banyak cerita menarik di balik keunikan batu kubur Sumba. Tapi rupanya kaki saya sudah ngadat, minta diistirahatkan di atas kasur empuk. Saya pun menyudahi acara jeprat-jepret kamera Blackberry di pekuburan adat Kampung Tarung ini. Sudah waktunya pulang dan memeluk gadis kecilku di rumah.

Kampung Adat Tarung

Rumah Adat Sumba
Mengunjungi perkampungan adat terbesar di Waikabubak adalah satu hal yang berulangkali saya tunda-tunda karena kesibukan saya. Padahal jarak perkampungan adat dari tempat tinggal saya cuma sekitar lima ratus meter saja.Dengan jalan kaki menempuh rute mendaki dengan kemiringan lumayan tinggi, saya sudah bisa sampai di sana dengan mudah. Namun akhirnya saya berkesempatan juga untuk tour ke sana, sambil menemani tamu dari Ditjen PAIS Kemenag RI. Hmmm, suatu kebetulan yang sangat pas.

Kampung adat itu bernama Kampung Tarung. Terletak di sebuah bukit yang rimbun dengan pepohonan yang sudah berusia tua. Setua kampung tersebut. Membuat suasana sekitar kampung itu menjadi teduh dan sejuk. Kampung itu merupakan pusat kampung adat yang ada di seluruh Waikabubak. Dan merupakan kampung adat terbesar di Sumba Barat.
 
Ketika memasuki perkampungan, kami berpapasan dengan beberapa ibu dan gadis-gadis cilik yang sedang berjalan menjunjung seember air di kepala dan kedua tangannya masing-masing memegang jerigen air berukuran lima liter. Kebiasaan yang mereka harus lakukan setiap pagi dan petang untuk memasok air bersih di dapur mereka. Kondisi geografis Kampung Tarung yang berada di sebuah bukit yang lumayan tinggi membuat penduduk kampung harus bersusah payah naik turun bukit itu demi seember air bersih.

Memang pada umumnya letak kampung-kampung adat di Sumba Barat hampir seluruhnya terletak di perbukitan. Ternyata kondisi itu dikarenakan latar belakang suku-suku di Sumba pada masa lalu adalah suku perang. Dengan memilih kampung adat di bukit, maka secara praktis keamanan mereka lebih terjaga jika suatu saat terjadi kontak senjata atau perang suku di antara mereka. Bukit telah menjadi benteng pertahanan alami bagi penduduk suatu kampung. Sangat masuk akal, sebab akses masuk ke kampung tersebut jadi terbatas dan lebih sulit dibanding bila berkampung di dataran rendah yang terbuka. 


Kini kampung tersebut dijadikan sebuah situs cagar budaya oleh Pemerintah Daerah setempat. Akses masuk sampai jalan setapak di dalam kampung tersebut telah dibangun oleh pemerintah, untuk memudahkan pengunjung yang setiap saat bisa datang kesana. Kesan tradisonal sangat kuat melekat pada kampung tersebut. Jejeran rumah-rumah panggung dengan atap menara yang terbuat dari ilalang kering berderet mengelilingi areal pemujaan yang terletak di tengah-tengah kampung. Sehingga kalau dilihat dari udara, perkampungan itu terlihat seperti lingkaran oval.

Tempat pemujaan

Secara sederhana, rumah-rumah di Kampung Tarung dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah kolong rumah yang berfungsi sebagai kandang binatang peliharaan mereka seperti anjing, babi, ayam dan bebek. Tidak heran saat kami mencoba untuk menengok ke salah satu rumah di situ, hewan-hewan itu berseliweran dengan bebasnya di antara kaki kami. Bagian kedua adalah ruangan utama yang diperuntukkan bagi penghuni rumah. Dan bagian terakhir adalah langit-langit rumah yang dikhususkan untuk menyimpan bahan persediaan makanan mereka seperti padi dan jagung.

Kami beruntung, ketika datang, beberapa ibu tua sedang duduk sambil menenun kain adat sumba yang unik sekali. Kain itu nantinya akan mereka jual di pasar atau langsung dijajakan kepada para turis yang datang. Harganya lumayan mahal, tapi untuk mereka yang suka mengoleksi benda-benda khas daerah yang unik, tentu harga itu tak jadi masalah. Secarik sarung adat atau lembaran yang khusus dibuat untuk baju dihargai antara seratus lima puluh sampai empat ratus ribu tergantung jenis benang dan motifnya. Lalu selembar taplak meja dihargai enam puluh ribu rupiah. Dan selembar selendang yang lebih mirip syal cukuplah merogeh kocek sedalam tiga puluh ribu rupiah. Itu masih bisa ditawar lho. 



Tanduk kerbau di depan rumah
Saat mengamati kegiatan si ibu yang sedang menenun kain sumba, mata saya tertumbuk pada deretan tanduk kerbau yang dipajang di beranda rumah itu. Persis disamping kiri dan kanan pintu masuk rumah. Tanduk kerbau itu dipasang secara berurutan berdasarkan ukuran panjang tanduk. Semakin ke bawah semakin besar tanduk yang dipasang. Jumlah puluhan. Rupanya itu adalah tanduk kerbau yang dipotong saat ada upacara kematian. Jumlah tanduk kerbau itu mencerminkan derajat sebuah keluarga di mata masyarakat sekitar.

Puas berkeliling dan menikmati pemandangan sekitar kampung itu, kami pun beranjak meninggalkan Kampung Tarung. Seorang ibu muda yang sejak awal setia menemani kami sembari berceloteh menjawab pertanyaan kami, mempersilahkan kami untuk mengisi buku tamu yang khusus dipersiapkan bilamana ada turis yang datang berkunjung. Sambil berbisik, driver kantor kami mengatakan kepada saya untuk menyelipkan selembar rupiah sepuluh ribuan di buku tamu itu.

Perjalananpun kami lanjutkan lagi menuju Bandara Tambolaka,untuk mengantar tamu kami kembali ke Jakarta.Mobil kami merayap pelan menuruni jalan yang curam, meninggalkan bayang-bayang gelap rumah-rumah adat di Kampung Tarung yang tersaput cuaca mendung pagi itu.


Suasana Kampung tarung di pagi hari




Sumba Berduka

Saya tengah menekuri layar laptop ketika siang tadi sebuah berita duka mengejutkan kami di kantor. Seorang ayah, guru, ustadz, tokoh masyarakat dan sahabat yang baik budinya bagi semua orang, telah berangkat mendahului kita semua. Beliau meninggalkan semua yang mencintainya di dunia fana, pergi menyusuri perjalanan terakhirnya di alam Barzah. Usia yang lanjut dan sakit yang dideritanya telah mengantarkannya ke gerbang perpisahan antara dunia dan akhirat. Ketika berita itu saya terima, sontak kenangan saat pertama saya berinteraksi dengan beliau secara langsung tergambar di pelupuk mata.

Sore itu, ketika saya bersama murid-murid saya tengah latihan teater di halaman SDI Waikabubak, seorang bapak yang ramah dengan sesungging senyum menyapa: " Assalaamu'alaikum, waaah...sungguh luar biasa ibu ini, sudah terjun membina anak-anak kami..."

Sungguh. Kalimat yang keluar dari bibir seorang bapak yang tidak pernah kelihatan masam mukanya itu membuat jiwa saya sangat melambung. Padahal apa yang saya lakukan sebenarnya hanya kegiatan mengisi waktu kosong saya. Sekedar supaya ada kerjaan. Ternyata beliau mengapresiasinya sebagai hal yang luar biasa. Walaupun mungkin itu dilakukan untuk menyemangati saya. Namun, saya sangat merasakan ketulusan dan kehangatan dalam kata-katanya. Saya yakin, hal itu beliau senantiasa lakukan kepada setiap orang yang beliau temui. Entah itu keluarga, sanak saudara, sahabat, kenalan, tetangga, murid-murid dan bahkan orang yang tidak beliau kenal secara pribadi. Itulah mengapa, berita kematiannya menimbulkan kedukaan yang mendalam di setiap penjuru tempat.

Kematian adalah keniscayaan. Setiap yang bernyawa suatu saat akan merasakan sakaratul maut yang datang menjemput. Semua orang akan dipaksa untuk meninggalkan semua yang dipunyai. Siap ataupun tidak, tak seorangpun dapat menolak maut. Kematian menyadarkan kita bahwa tidak ada yang bisa melawan kehendak Tuhan. Meskipun kesadaran itu telah kita resapi,  tetap berat rasanya kehilangan orang yang kita cintai. Terlebih orang itu adalah sesosok panutan yang penuh dengan kasih sayang.

Ketika semua yang ditinggalkannya terisak menangis dan berduka cita. Tatkala kenangan demi kenangan berputar di pelupuk mata yang basah oleh air mata. Sesungguhnya beliau tengah tersenyum. Kebaikan dan amal sholehnya kini menjadi kendaraan mewah untuk beliau meniti perjalanan terakhirnya menuju akhirat. Menghadap Sang Khalik yang telah menunggunya dengan menyiapkan sebuah rumah yang lebih nyaman untuk beliau tempati di akhirat sana. Barisan malaikat yang selama beliau hidup, turut bertasbih, bertahmid dan bertahlil bersamanya, kini menyambutnya dengan senyuman dan wajah yang bercahaya.

Maka sejatinya kita tengah menangisi diri sendiri. Apakah kelak saat maut menghampiri kita, ada amal sholeh yang menjadi kendaraan kita, atau kita akan terseok-seok meniti jalan yang lebih terjal dari kehidupan keras di dunia ini? Dapatkah bibir kelu kita menerbitkan senyuman ketika di alam barzah, setiap amal ibadah kita menjadi lentera yang menyinari peraduan terakhir kita, atau kegelapan  dan ketakutan  tidak terhingga menyiksa istirahat terakhir kita? Adakah malaikat yang datang menyambut dengan senyum dan wajah yang bercahaya, atau kita sendirian di tengah alam yang asing dan suram...

Selamat jalan Ustadz H. Muhammad Bin Hasyim Al Gadri.... Seumur hidupmu, Engkau telah menjadi panutan terbaik kami. Sepeninggalmu pun wejanganmu tetap akan kami pikul diatas ubun-ubun kami. Esok kami akan mengantarmu ke peraduanmu yang terakhir. Hanya bait-bait doa yang turut menyertaimu. Kelak kami, satu persatu akan menyusulmu jua. Semoga kita dapat kembali bersua, dengan penuh keridhoan dan rahmat Allah di yaumil akhir... Amiin....


Waikabubak, 9 Agustus 2011
Repost

Kerewei

Dari Kecamatan Lamboya Kabupaten Sumba Barat, saya ingin mengajak kawan-kawan mengenali lagi sebuah pantai yang indah dan eksotis. Pantai Kerewei namanya. Pantai ini terletak di sebuah teluk yang indah dengan  pohon-pohon nyiur yang melambai-lambai di sepanjang pinggirnya. Pantai dengan panjang sekitar dua kilometer ini berpasir putih dan sangat landai. Sangat nyaman bila kita ingin mengajak keluarga untuk berenang di sana.
Pantai Kerewei
Pada sisi sebelah kanan teluk, terdapat satu lokasi yang menjadi favorit para pengunjung dimana tergolek sebuah pulau karang kecil dengan diameter kurang lebih tiga puluh meter. Bila air laut sedang surut, kita bisa berjalan menuju pulau itu dan menyaksikan biota-biota laut yang terjebak di lekukan-lekukan karang. Indah dan menggemaskan. Bahkan bila kita punya cukup keberanian, kita bisa mendaki ke puncak pulau karang itu. Tidak terlalu tinggi, sih. Namun cukup mendebarkan, karena untuk mendakinya kita harus menaklukkan karang-karang yang tajam. Dari atas pulau itu kita bisa memandang hamparan laut yang biru kehijauan. Dan bila beruntung, kita bisa pula menyaksikan ikan-ikan karang nan elok berkejaran di laut yang jernih.

Pantai pasir putih nan landai dan luas
 

Persis di bibir pantai tidak jauh dari pulau karang itu, ada lagi sebuah batu karang yang lebih kecil. Batu karang ini sering dijadikan objek latar belakang para pengunjung untuk berfoto-foto. Pada sebuah sudutnya, batu karang itu membentuk serupa gapura setinggi bahu orang dewasa. Siapapun pasti tergoda untuk berpose di sana.

Berpose di gapura karang
Puas berjalan menyusuri pasir putih yang halus, air laut yang tenang seakan membujuk kita untuk menceburkan diri didalamnya. Tidak perlu kuatir tenggelam atau terseret arus ombaknya, karena pantai itu landai dan berarus tenang. Mungkin itu pula sebabnya, penduduk lokal memanfaatkan pantai itu untuk menanam rumput laut. Berenang berlama-lama di sana terasa sangat menyenangkan.




Nyaman bermain di tepi pantai
Sayangnya dengan semakin banyaknya pengunjung yang datang, kondisi pantai menjadi kotor oleh sampah plastik. Kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan pantai masih sangat kurang. Saya kadang geram, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Kecuali sebisa mungkin berusaha mengumpulkan sampah-sampah plastik yang berserakan dan membakarnya. Sekedar untuk mengurangi saja. Karena untuk membersihkannya secara total perlu kesadaran orang banyak. Namun sekecil apapun andil yang saya berikan, mudah-mudahan saja bisa tetap menjadikan pantai itu bersih dan indah.

Kapan-kapan, kalau anda hendak melintasi Sumba menuju Australia, silahkan mampir ke Pantai Kerewei. Hehehehe....


Berenang




Repost dari catatan fesbukku.

Hujan...


Memandang kering kerontang tanah sawah di seberang rumahku membuat hatiku gersang. Sudah lewat dua bulan hujan pergi meninggalkan daratan Sumba. Rasanya ada kerinduan tersendiri yang singgah di hatiku kepada hujan yang rinai di setiap sore hari musim  penghujan yang lalu.
Aku mencintai hujan. Seperti juga aku mencintai puisi, senja, kunang-kunang, padang sabana dan riak ombak di tepian pantai. Aku menyukai wangi tanah yang meruap di remang udara lembab setelah tersiram hujan. Genangan air yang memantulkan sinar matahari, selalu menggodaku untuk memercikkannya dengan telapak kakiku. Kegembiraan kanak-kanak yang sulit kutepiskan setiap datang hujan. Jika saja usiaku masih dapat dihitung dengan jari, pasti aku sudah menghambur riang menyambut hujan, setiap ia datang berkunjung ke berandaku.

Saat aku menginjak remaja, hujan adalah temanku yang setia mengenalkan aku pada melankolia masa muda. Berjalan menerabas hujan sepulang sekolah bersama teman-teman. Menyusuri kelokan jalan setapak di pinggir ladang dengan baju kuyup oleh gerimis. Mengukir lekukan senyum saat mata bersitatap dengan malu-malu. Rinai hujan menjadikan suasana syahdu.

Saat aku tak tahan menahan kesedihan, hujanpun datang menyamarkan air mata yang terurai di pipiku. Siapapun tidak boleh tahu kesedihanku kecuali hujan. Dialah yang menawarkan dukaku. Air hujan menjadi air mataku. Suara hujan menjadi suara tangisku.

Entah mengapa rinduku pada hujan muncul menguat di Juli ini. Aku rindu pada sejuknya. Aku kangen pada airnya yang menghidupkan segala. Aku ingin mendengar deraiannya yang rancak menimpa atap rumahku. Serupa musik  dari  langit ketujuh. Kurasa karena aku ingin kadoku yang terindah pada hari ulang tahunku adalah hujan yang mengunjungi berandaku. Menyejukkan halaman rumahku. Lalu menghidupkan pucuk-pucuk kembangku yang tertutup debu kemarau. Lalu dengan caranya sendiri, menghangatkan hatiku.

Ah, ulang tahunku telah dua belas hari berlalu. Mengapa pula aku masih menginginkan kado hujanku setelat ini. Rupanya aku masih merindu  rinai-rinai gerimis yang kerap mengunjungiku seiring hatiku yang berpuisi.

Waikabubak, 17 Juli 2011
Saat memandang mendung....

Repost from FB notes, hujan pertama tahun ini setelah sekian lama....

Lailiang...

Pantai Lailiang nan indah
Beberapa hari yang lalu saya diajak suami jalan-jalan ke Pantai Lailiang di Kecamatan Wanokaka. Pantai yang terletak di selatan pulau Sumba ini konon masih perawan dan sangat indah. Terselip diantara dua tebing karang, pantai ini membujur dihiasi pasir putihnya yang lembut. Dari kejauhan, diatas bukit sebelum sampai ke bibir pantai, saya suka sekali  deburan ombaknya yang terdengar dari kejauhan bergemuruh terpadu dengan riak air lautnya yang biru kehijauan..

Namun sebenarnya saya sedang memikirkan hal lain ketika kami sampai di persimpangan jalan yang membagi rute jalan ke pantai Lailiang itu. Ada pantai lain di garis yang sama dengan Lailing yang selama ini  dipergunakan sebagai tempat untuk melaksanakan sebuah permainan olahraga gulat tradisional  yang dikenal dengan nama “Pajura”. Saya yakin pantai itu sama indahnya dengan Lailiang mengingat kesamaan letak geografis dan keperawanannya. Lalu jika kita terus menelusuri garis pantai itu, kita akan menemukan pantai-pantai lain yang lebih indah lagi.

Banyaknya pantai indah yang menawan di sepanjang selatan Pulau Sumba, menggelitik hati saya, mengapa keindahan ini  seperti sia-sia dan tidak terjamah oleh pembangunan pariwisata. Entah karena tidak tahu bagaimana caranya, atau memang tidak melihat itu sebagai peluang untuk memajukan pariwisata di Sumba . Pemerintah daerah dalam hal ini dinas yang mengelola pariwisata seperti sedang tidur nyenyak saja. Padahal jika dikelola secara serius Pulau Sumba bisa menyamai keelokan Pulau Dewata. Saya tidak bercanda kawan. Alam yang masih natural, masyarakat adatnya yang masih tradisonal, situs-situs batu kubur megalithikum yang mengagumkan dan upacara-upacara adatnya yang sangat magnificent, bersinergi menjadi pemandangan yang harmoni, magis dan indah.

Sesungguhnya, ada secuil kecemburuan di hati saya sewaktu mendengar ada seorang ekspatriat yang melihat peluang itu dan menangkapnya dengan sigap. Dengan skill dan mungkin pengalamannya di negaranya dalam mengelola pariwisata serta kemampuan finansialnya yang memadai, dia mendapatkan hak istimewa untuk mengelola sebuah pantai yang luar biasa indahnya. Menyulapnya menjadi sebuah resor eksklusif yang privasinya amat terjaga. Kemudian menjualnya kepada para wisatawan asing yang memiliki kocek tebal. Disana, bule-bule bebas berjemur dan menikmati deburan ombak di atas papan selancar, tanpa ada gangguan.

Tebak berapa tarifnya semalam? Enam juta rupiah. Pikirku ini gila. Seorang bule yang mungkin saat itu nyasar ke Sumba, sekedar membuang uang untuk jalan-jalan ke pelosok Indonesia, kini malah berubah menjadi seorang yang menghasilkan milyaran uang setahunnya dari sepotong pantai di Sumba yang sebenarnya bukan miliknya. Saya tidak tahu persis, apakah pemerintah daerah mendapatkan bagian dari semacam pembagian profit yang dihasilkannya. Atau sekedar menerima pajak PPN dan PPhnya yang mungkin tidak seberapa.

Saya membayangkan banyaknya keuntungan yang didapat oleh masyarakat Sumba dari sektor wisata seandainya saja pemerintah mau sedikit menengok ke sana. Pendapatan ekonomi sektor besar dan kecil meningkat, akses transportasi dan informasi semakin terbuka, dan otomatis akan memacu kemajuan-kemajuan di bidang lain.

Pertanyaan saya ini akan selalu tinggal sebagai pertanyaan. Selama pemerintah tidak tergerak untuk lebih menengok ke sana. Peduli dan berusaha lebih serius menggali potensi alam yang dimiliki oleh Sumba. Apa yang bisa diharapkan dari sebuah pulau yang hanya bisa ditumbuhi oleh rumput-rumput sabana? Kecuali keindahan alamnya dan keunikan etniknya yang tradisional.

Teramat sayang, membiarkannya terabaikan, hanya dinikmati oleh segelintir orang seperti saya dan suami yang memang sangat menyukai pantai. Hingga pada akhirnya malah rombongan turis-turis bule yang tidak peduli sama sekali akan kemajuan Sumba yang menikmati keindahannya.  Menghabiskan dolarnya lalu mengalir deras memenuhi kocek seorang bule lain yang jeli matanya melihat lembaran-lembaran dolar tersembul di balik kilauan pasir putih di sebuah pantai indah di Sumba.

Tapi, mumpung belum ramai oleh wisatawan asing dan domestik. biarlah saya bersama suami  memuaskan diri menikmati keindahannya. Hehehehe.


Repost from my fb Note.

Perjuangan Seorang Ibu


Sudah lama sekali saya merasakan sebuah pengalaman yang menakjubkan sekaligus menakutkan sebagai seorang ibu. Takut dan senang menyatu, nyeri teramat sangat namun segera setelah proses kesakitan itu berakhir bibir tak reda menyungging senyum. Lelah, letih dan ngilu bercampur dengan semangat dan suka cita.


Bagi saya, pengalaman itu menakjubkan karena serentetan rasa dan emosi yang bersenyawa dalam proses itu, merupakan awal sebuah kehidupan yang suci, murni, polos dan menularkan kegembiraan yang tak terkira kepada orang-orang di sekitaran. Namun juga menakutkan karena saya diberondong cemas dan khawatir, akankah mulai detik awal hingga seterusnya, saya bisa menjalani peran yang sungguh tak ringan sebagai seorang ibu.


Sembilan tahun adalah waktu yang cukup untuk saya bisa melupakan rasa sakitnya. Apalagi saya diberi kemudahan oleh Tuhan dalam menjalani proses melahirkan kedua anak saya. Tidak lebih dari dua puluh menit saja. Dan bayi mungilku hadir di dunia. Rasa sakit itu lenyap tidak berbekas. Digantikan oleh senang yang meletup-letup di dada.


Ingatan tentang pengalaman indah itu belakangan menggeliat lagi, setelah saya membaca status seorang teman baik yang telah melahirkan putrinya yang ketiga di Tangerang sana. Perjuangan seorang Ibu, begitu Mbak Fitri Taufik --teman saya itu--  menuangkan luapan kebahagiaannya di beranda Facebooknya. Saya pun tergetar.


Menjadi seorang ibu tidaklah otomatis tersemat dalam diri seorang perempuan ketika ia mengandung dan melahirkan. Betul bahwa mengandung dan melahirkan adalah peran terpurna bagi seorang perempuan secara kodrati. Namun apakah persoalan menjadi seorang ibu selesai setelah ia mengandung dan melahirkan? Rasanya tidak.


Perjuangan seorang ibu saat sembilan bulan membawa sesosok janin dalam perutnya dan kemudian berdarah-darah melahirkan, lebih merupakan awal dari sebuah perjuangan yang sebenarnya bagi seorang ibu. Bisakah seorang ibu hadir di sisi anaknya di saat sang anak memerlukan perhatian dari seorang ibu. Mampukah seorang ibu menjadi panutan ketika sang anak mencari-cari sosok yang bisa ia jadikan idola. Relakah seorang ibu mengenyampingkan kepentingan dirinya untuk memenuhi kebutuhan anak akan cinta dan kasih sayang.Sungguhkah seorang ibu  mau mengerahkan seluruh kemampuannya agar sang anak setiap waktunya dipenuhi oleh kegembiraan, celoteh riang dan gelak tawa. Itulah perjuangan terbesar seorang ibu dalam mengantarkan anak-anaknya menjadi  manusia yang utuh.


Saya pribadi mengakui kelemahan saya sebagai seorang ibu. Seluruh pertanyaan tadi lebih saya tujukan untuk diri saya sendiri. Dan belum bisa saya dapatkan jawaban yang sempurna atas semua pertanyaan itu.


Kegembiraan dan antusiasme  saya saat mengandung dan kemudian melahirkan anak saya, hanya bertahan selama beberapa hari saja. Selebihnya banyak hal yang tidak dapat saya persembahkan bagi kelangsungan hidup anak saya secara komperhensif. Di sana sini saya melakukan excusing yang membuat anak saya lebih banyak harus memahami kondisi ‘kesibukan’ dan ‘kelelahan’ saya. Sedihnya, justru anak saya yang terpaksa berkorban untuk kehilangan keceriaan dan keriangan karena kehilangan waktu emas yang seharusnya dihabiskan bersama saya. Hanya karena saya lebih memilih untuk berkutat dengan setumpuk pekerjaan di kantor.


Apa yang telah saya perjuangkan untuk kedua gadis mungilku? Rasanya saya malu mengatakan kepada kedua anak saya bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu.


Teman saya yang baik itu pernah sekali mengatakan bahwa saya beruntung menjadi wanita karir. Tidak seperti dia yang hanya ibu rumah tangga. Saat dia mengatakan begitu, saya sempat tersanjung dalam hati. Namun sesungguhnya dialah yang lebih beruntung. Seluruh waktunya tercurah untuk mengawal tumbuh kembang anak-anaknya. Kapanpun dia bisa memeluk dan bercanda riang bersama buah hatinya. Tidak pernah dia rasakan kecemasan yang menusuk-nusuk hati saya saat harus ber’canda’ dengan komputer di kantor, sementara di rumah anak saya sendirian entah sedang apa.


Sejatinya seorang ibu seperti teman saya itulah yang benar –benar memperjuangkan dirinya untuk menjadi seorang perempuan yang layak dipanggil ibu. Seluruh tetes keringat dan air matanya tumpah untuk kepentingan anak-anaknya.  Setiap detik waktu yang dia jalani sepenuhnya berputar untuk mendampingi gelak tawa dan rengek tangis bocah-bocah lucu itu.


Untuk temanku yang baik hati, jangan pernah merasa kecil dengan peranmu yang mulia sebagai ibu rumah tangga. Sungguh. Seperti saya yang kini cemburu kepadamu karena ketersediaan waktumu sepenuhnya untuk memperhatikan anak-anakmu. Pasti engkaupun akan merasakan betapa tidak enaknya dan sempitnya lahan untuk berjuang sebagai seorang ibu, ketika engkau menjadi seorang wanita karir. Engkau akan mudah mengenyampingkan anak-anakmu demi selembar rupiah yang tidak seberapa nilainya dibanding dengan binar mata anak-anakmu saat engkau memeluk mereka dengan penuh kasih sayang. Dan itu sungguh menyedihkan.


Pada minggu kedua usia putri kecilmu saya ucapkan selamat padamu, semoga dia kelak tahu bahwa dirimu adalah ibu terbaik  dari seluruh ibu yang ada di dunia ini.




Waikabubak, 12 Juli 2011.
Repost.

Surat Untuk Tuhan

Dear God.

Entah mengapa hatiku galau beberapa hari belakangan ini. Terseret oleh sebuah lakon yang aku coba untuk perankan. Namun ternyata kisah ini berjalan dengan ending yang sulit aku bayangkan bagaimana hasilnya.
Aku semula hanya ingin mempertemukan adik perempuanku dengan seorang pemuda yang kupikir ia akan cocok menjadi calon suaminya. Aku menyayangi adikku. Dan sepertinya aku menyayangi pemuda itu seperti aku menyayangi adikku. Hatiku mengatakan pemuda ini adalah orang yang tepat untuk adikku. Persis seperti saat aku berjumpa dengan seorang laki-laki yang kini menjadi pendamping hidupku. Aku terpana dan mengatakan pada diriku sendiri, inilah orang akan menemani hari-hariku kelak.

Tuhanku Yang Menguasai Hati dan Cinta.
Kupertemukan mereka dengan secercah harapan, mereka akan saling mengagumi dan saling menyukai. Sebuah awal yang agak mendebarkan bagiku sendiri. Rupanya hatiku tak cukup kokoh untuk menerima kejutan yang akan hadir pada setiap episode dari kisah perjodohan ini. Kecemasan bahwa pemuda itu ternyata tidak menyukai adikku, atau ternyata dia telah menemukan seseorang yang istimewa di hatinya, mendera pikiranku. Ini lebih sulit dari yang kuduga. Bahkan menyamai cemasnya hatiku saat ingin memperkenalkan kekasihku pada kedua orang tuaku. Akankah orang tuaku, terutama sekali ibuku akan menyukai dan jatuh hati pada kekasihku, atau sebaliknya malah membekukan wajahnya dan mengatakan dia bukan laki-laki yang pantas untukmu.

Kusebut nama-Mu Yang Agung, Tuhanku, saat aku memberikan kontak adikku kepada pemuda itu. Aku benar- benar jatuh hati pada pemuda itu. Sampai- sampai aku mengesampingkan perasaan malu dan sungkanku kepada-Mu untuk menitipkan sepenggal keinginan ini kepada-Mu. Mungkin saat itu Engkaupun tersenyum geli kepadaku. Seorang yang selalu lupa dan melalaikan-Mu, kini mengemis cinta-Mu agar sepasang pemuda dan pemudi yang terpisah ribuan mil bisa bersatu dalam ikatan kasih sayang. Aku yakin Engkau tahu benar isi hatiku. Karena setiap yang bergolak dan berkecamuk dalam hati ini semua adalah kehendak-Mu Yang Sejati. Maka aku, dengan setumpuk rasa tak karuan datang menghadap-Mu, mengadukan masalah ini kepada-Mu. Kiranya Engkau berkenan menyambung rantai kisah ini dengan menautkan sebentuk rasa yang indah pada hati adikku dan pemuda itu.

Tuhan, Yang Maha Baik.
Sebenarnya aku telah meletakkan kembali peran yang kulakonkan ini. Aku ternyata tak kuasa menahan naik turunnya suasana hati dalam mengarungi perjalanan yang kukira tadinya akan singkat dan pasti. Aku sepertinya lupa bahwa hati seseorang seringkali serupa labirin yang berliku-liku dan membingungkan. Terkadang aku menyesali mengapa dulu aku tak memikirkan seribu kali terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mengatakan ide ini pada pemuda itu. Meskipun saat itu pemuda itu merespon secara positif , namun bisa jadi itu karena dia ingin menjaga perasaanku dan suamiku – mereka berasal dari satu kota yang sama-- dan pikiran itu yang membuatku semakin tak menentu. Tentu sangat menyiksa hati pemuda itu, bersikap seolah mengatakan ya padahal hatinya ingin lugas mengatakan tidak. Begitu baiknya pemuda itu hingga mungkin kini ia tak sanggup mengatakan sesuatu yang bisa melukai perasaan adikku.

Namun membiarkan hati adikku menggelepar sendiri karena ketidak jelasan arah cerita ini tentu bukan sikap yang baik sebagai seorang kakak. Sedapat mungkin aku harus berusaha menemani adikku menapaki sisa perjalanan yang mulai berliku. Ikut tersenyum saat ia bahagia, dan memeluknya saat keraguan menerpa.

Ah, Tuhan.
Andai saja hati manusia serupa dasar telaga yang bening, akan mudah bagiku untuk menerawang isi hatinya. Membaca apa yang ia pikirkan ketika ia tersenyum saat mengatakan padaku: “Umi, Lilis datang ya?” tentu gamblang dan tidak perlu menerka-nerka seperti sekarang ini. Lalu saat ia datang menjemput adikku untuk menemaninya jalan-jalan memutari kota, aku pasti tidak ragu untuk menyimpulkan bahwa memang ada rasa yang mengalun syahdu di lubuk bening telaga hati pemuda itu.

Tetapi hati manusia adalah susunan rasa dan getar-getar emosi yang sulit diterka. Hati manusia selalu bergelinjang setiap waktu, tak pernah tetap diam pada satu sisi. Tidak jarang hati manusia membentuk kamuflase yang sempurna menipu penglihatan orang. Aku ngeri membayangkan pemuda itu sengaja bersikap baik untuk menutupi hatinya yang kelabu.

Rasanya aku hampir percaya ada sinyal-sinyal yang dipancarkan dari pemuda itu. Sinyal yang akan membuat adikku melayang-layang dalam atmosfer kebahagiaan. Entahlah. Engkau Yang Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di ruang gelap hati manusia. Aku sungguh tak ingin ada air mata yang menetes dari kelopak mata adikku. Sudikah Engkau mengirimkan selarik cahaya agar terang jelas maksud dan tutur kata pemuda itu, Tuhanku?

Duhai Tuhanku.
Cinta memang hak prerogatif-Mu. Manusia tak pernah bisa tahu dari mana arahnya cinta datang. Pun tak bisa memilih dari hati siapa cinta itu akan hadir menghiasi hari-harinya. Namun boleh kan aku memohon, Tuhan, untuk kali ini saja. Tumbuhkan cinta di atas hamparan sanubari pemuda itu untuk adikku. Aku meminta ini untuk kebahagiaan adikku. Adikku telah menaruh harapan indah pada pemuda itu. Dan sepertinya aku telah melihat masa depan mereka berdua adalah dua tangan yang selalu bergenggaman erat, empat mata yang senantiasa saling menatap rindu, degup dua jantung yang tak pernah reda saat hati saling bicara.

Aku yakin dan tunduk pada Kuasa-Mu Ya Tuhanku Yang Maha Pengasih.
Telah tuntas kuungkapkan kegalauanku. Biarlah tiga hari terakhir adikku berada di pulauku ini, kuserahkan pada Kuasa-Mu. Cintakan mereka berdua Ya Tuhan, atau tidak sama sekali. Engkau Maha Mengetahui yang terbaik untuk umat-Mu.

Waikabubak, 5 Juli 2011 saat pagi menggigil.

Sajak Buku



SAJAK BUKU

Membaca buku seperti membaca matamu
Aku meminjam bukumu, tapi sebenarnya aku meminjam hatimu
Setiap kata yang kubaca dari bukumu, menasbihkan namamu dalam relung-relung kalbu
Serupa buku, engkau melesat lesat dalam pikiranku
Esok lusa bukumu tamat kubaca, namun namamu tak kan tamat kueja.








Untuk Ibu


Dini hari ini lebih dingin dari biasanya. Kakiku mengkerut dan kram waktu menyentuh lantai yang beku. Namun selalu saja, serta merta hawa nyaman yang hangat menyelusuri hatiku. Teratur, pelan dan pasti, kehangatan itu lalu mengalir ke cabang dan ranting aliran darah di seluruh tubuhku. Membuat dingin embun pagi di kota kecil ini, serasa sirna. Yang tinggal hanya kehangatan yang membuatku enggan menanggalkan kenangan tentang kisah seorang ibu.


Mengenang ibu adalah mengenang hidup. Karena  ibu adalah kehidupan itu sendiri. Ia membawa kehidupan dalam tubuh ringkihnya. Ia memelihara kehidupan sepanjang usianya, Ia mengajarkan kehidupan kepada setiap kehidupan baru yang ia lahirkan. Ibu hidup untuk memberi kehidupan pada kita.


Ibuku adalah seorang perempuan bersahaja. Perempuan yang mempersembahkan sisa umurnya untuk mengantar enam orang anaknya mencapai cita-cita. Bagi ibu, cita-cita adalah barang termewah yang tidak mungkin ia gapai lagi. Kecuali ia menggadaikan hidupnya, menyita umurnya, memeras keringatnya agar dapat menobatkan anak-anaknya sebagai peraih  cita-cita. Cita-citanya adalah cita-cita anaknya.


Shubuh ini begitu hangat saat ku kenang ibuku. Di setiap dini hari seperti ini, dengan terseok-seok menahan kantuk, ibu bangun, meraih handuk dan bergegas menuju pancuran di belakang rumah, untuk membersihkan dirinya. Dengan air wudhu yang masih menetes di keningnya, segera ia menghadap Sang Maha Hidup, untuk sholat dan melambungkan doa-doanya. Doa untuk anaknya. Menetes air matanya mengingat perjalanan yang masih panjang, biaya yang berat dan  ringkihnya tenaga yang beranjak tua.


Ketika matahari mulai bersinar di balik rimbun pepohonan, ibu mulai berbenah menyiapkan segala sesuatunya. Sarapan untuk seisi rumah, pakaian untuk suaminya bekerja dan anaknya bersekolah, mengantarkan mereka berangkat di beranda rumah, lalu secepat kilat memberesi kembali sisa-sisa kekacauan pagi hari itu. Kemudian ia mulai menyiapkan perangkat kerjanya, bermeter-meter kain untuk dijahit dan dibordir. Menekuri mesin jahit yang  berdecak keras sepanjang siang, mengikuti alur-alur pola yang telah direka sebelumnya, menjahitnya hingga menjadi selembar pakaian.


Siang hari itu , keletihannya dilengkapi dengan menyiapkan makan siang untuk suami dan anak-anaknya yang akan segera pulang. Belum sempat beristirahat. Setelah semua perut mendapatkan jatah makan siangnya, kembali ibu harus menguras tenaganya, berjalan berkeliling dari rumah ke rumah untuk menjual sepotong dua potong kain sarung, batik, daster dan pakaian anak-anak.


Semua itu ia lakukan dengan semangat, tanpa mengeluh dan menyerah pada keadaan yang sulit. Air mata dan keringat yang ia teteskan, telah menjadi bahan bakar yang menyengat energinya kembali. Ia jalani kehidupan yang terjal itu selama dua dasawarsa. Sedikitpun lelah tidak membuatnya  berhenti sebelum ia melihat anak-anaknya menjadi seperti apa yang ia citakan.


Aku selalu terlecut bagai kuda yang lari lintang pukang. Ketegaran ibu  selalu berhasil membuat aku bangkit dari kemalasan dan keengganan belajar. Lalu berusaha terbirit-birit mengejar apa yang tertinggal, mempertipis kebodohan  dan berusaha sekuat tenaga untuk cinta pada deretan huruf-huruf di buku pelajaran. Aku terpesona oleh senyum bahagia ibu, setiap kali ia melihat anak-anaknya tekun belajar. Lebih lagi saat melihat senyum ibu itu terkembang setiap kali menghadiri wisuda anaknya yang telah menjadi sarjana.


Pagi ini seindah pemandangan setiap pagi di masa itu. Saat ibuku mengenggam kitab suci, menderesnya tenang. Setenang udara yang mengalun pelan menyejukkan. Ada perasaan yang hening , jauh dan bergema di lubuk hatiku, saat mengingat ibu membaca buku untuk menghilangkan keletihan. Sosoknya bagai Dewi Sri di mataku. Daya hidup, ketegaran, keanggunan menyelimuti auranya yang cinta ilmu.


Karena ibu aku menjadi sebuah kehidupan, dari ibu aku  belajar tentang kehidupan.


"Waikabubak di awal pagi ke 15 bulan Mei tahun 2011".


Repost.

Mimpi

Beberapa hari yang lalu saya “ditantang” oleh seorang teman untuk belajar menulis.  Suatu hal cukup sulit untuk dilakukan, karena saya belum pernah sekalipun membuat tulisan, kecuali skripsi, makalah, paper atau ringkasan kuliah. Itupun sudah belasan tahun yang lalu aku lakukan. Untuk memulainya lagi, serasa bagai seorang ibu tua yang lama tidak melahirkan lagi, lalu karena ingin punya anak lagi, melahirkan jabang orok itu memerlukan perjuangan yang berat, mempertaruhkan nyawa. Ah, mungkin terlalu berlebihan metaphor itu.  Tapi pasti engkau tahu kan bagaimana sulitnya bagi saya untuk menulis.


Untuk memudahkan proses percobaan proyek tulisan saya ini, mungkin mengenang masa remaja adalah cara termudah untuk membangkitkan semangat saya. Walaupun cuma dengan menulis buku diary,  yang berisi curhatan dan cerita perjalanan hidup, saya ingat, semangat yang runtuh dapat kembali tegak, gairah yang redup entah bagaimana bisa berbinar lagi, keinginan yang memudar serta merta  mencuat, membuat saya bisa mendongakkan kepala dan berkata: “ya, saya pasti bisa”.

Tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang kelihatan mustahil. Apalagi jika itu adalah mimpi tertinggi kita. Sudah banyak orang sukses yang mengawali semuanya dari sebuah mimpi yang muskil. Orang tersebut berhasil karena bersedia menggantungkan mimpinya di langit tertinggi. Sebuah episode Kick Andy menceritakan kisah seorang pengusaha muda. Ia mengelola usahanya di bidang penjualan pulsa elektronik hingga omsetnya mencapai milyaran rupiah perbulan.  Awalnya ia cuma bermimpi memiliki uang satu milyar dan menuliskannya sendiri di buku rekeningnya yang isinya waktu itu hanya seratus dua ratus ribu rupiah, hingga ia ditegur oleh teller banknya karena tulisan itu. Kelihatan konyol, tapi lihatlah kini, apa yang tidak bisa ia miliki sekarang dengan kekayaannya yang ia peroleh dengan bermimpi memiliki uang semilyar itu.

Siapa pula yang tidak kenal Andrea Hirata, penulis tetralogi Laskar Pelangi. Berkubang dengan lumpur kemiskinan membuatnya tergetar oleh candu pendidikan, menisbahkan keinginannya yang tertinggi untuk belajar di Universitas Sorbonne. Membaca novelnya membuat saya merinding dan gemetar. Demikian besar daya hidup sebuah mimpi hingga bisa melecut semangat seorang anak “ngambat” yang bangun setiap dini hari untuk memikuli ikan. Tersengat gairahnya untuk belajar di sekolah. Hilang segala penat karena terpikat indahnya sastra dan peliknya rumus eksakta. Demi mimpinya, menjelajahi Eropa.

Dan saya sendiri, mengenal seorang ibu yang tidak tamat SMP, bermimpi menyekolahkan ke-enam anaknya hingga menjadi sarjana. Beratnya biaya pendidikan di negara ini, bukan alasan untuk menyerah pada nasib. Segala upaya Ia jalankan demi mewujudkan mimpinya melihat anak-anaknya menjadi sarjana. Mimpinya itu telah mengubah segala kepenatan menjadi senyum yang mengembang setiap kali Ia menghadiri wisuda anaknya menjadi sarjana.
Indah bukan?

Baiklah, saya akan mencobanya. Bagi kebanyakan orang, menulis mungkin tidak menarik hati. Tapi bagiku menulis, seperti menghirup udara segar di pagi hari di pegunungan Alpen yang asri. Seperti menginjakkan kaki di pelataran Colloseum yang megah. Seperti berkendara dengan kecepatan 180 kilometer perjam di sirkuit balap, atau menaiki gondola bersama seorang laki-laki menyusuri riak sungai di Venezia diiringi suara merdu sang pengemudi gondola. Amazing.

Inilah mimpiku yang terpendam. Sempat berkhayal mengunjungi  Granada, melihat sisa-sisa kejayaan Islam di masa lampau, ternyata menulis terasa jauh lebih menggairahkan untuk saya. Dengan menulis saya bisa belajar  menghargai setiap huruf. Karena huruf yang menjelma kata-kata, mampu mempengaruhi orang yang membacanya. Kalimat yang terangkai dengan rapi,  indah dan penuh makna berpotensi mengubah cara perpikir seseorang yang mungkin sedang putus asa menghadapi sulitnya hidup.  Bahkan ide-ide dan gagasan  hebat yang disusun oleh kalimat, mampu mengubah peradaban dunia.

Tentu masih jauh panggang dari api, saya belum apa-apa untuk menuju menuju kesana. Tapi minimal saya mau mencobanya. Mustahil, saat ini jadi kata yang tidak relevan dalam kamus saya. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini selama kita berusaha untuk mencapainya. Tantangan dari teman telah memotivasi saya untuk belajar sesuatu. Bahwa hidup adalah selamanya belajar.  Menukil ucapan Saheela, gadis 15 tahun yang diterima kuliah di Harvard sementara di saat  yang sama,13 Universitas lain menerimanya pula menjadi mahasiswinya, “anyone who’s motivated, can work wonders”, acapkali kita perlu motivasi dalam meraih sesuatu.

Maka disinilah saya. Berdiri di depan pintu gerbang mimpi saya untuk menjelajahi negeri terindah. Negeri yang bisa dikunjungi oleh siapapun tanpa harus beranjak dari tempatnya, negeri yang penuh hikmah dan filosofi yang mengajarkan setiap inti kehidupan. Negeri kata-kata.


Repost again :D
14 Mei 2011

Lelaki Malamku


Lelakiku, maaf kali ini ku mengganggumu lagi. Seperti malam-malam yang telah lalu. Kala aku mendatangimu dengan leher yang tercekik karena menahan jeratan pilu. Sungguh, aku bukan bermaksud membuatmu berpaling dari apa yang menjadi kesenanganmu. Menghabiskan malam dengan menghitungi berapa puntung rokok yang telah kau habiskan dan mereguk secangkir teh manis yang kubuatkan untukmu Isya tadi.

Bukan, sayangku. Aku bukan ingin memintamu untuk berhenti mendentingkan gitar itu. Kemudian memenggal lagu yang baru setengah kau nyanyikan di dangau kita yang baru. Untuk sekedar membaringkan tubuhmu di sampingku, di saat denyut nadimu masih menuntut matamu untuk berjaga.  Karena nada yang keluar dari dawai-dawai gitar itu sejatinya kau persembahkan untukku, meski kau bentangkan jarak padaku malam ini.

Aku telah membasahi sepertiga malam-malam kita dengan air mataku. Tidak, kali ini aku tak ingin meluruhkannya lagi di depanmu. Aku akan segera menghapusnya begitu ia mengambang di kelopak mata. Tak perlu kuatir, kau harus menyediakan dada dan pundakmu untuk tempatku memeluk sesuatu. Usah pula kau gerakkan tanganmu dingin terpapar embun itu, untuk melerai anak sungai yang membanjiri pipiku.

Aku tak ingin engkau gundah. Karena aku tahu pasti, engkau bukan lelaki yang tahan melihat air mata yang mengalir di pipi seorang perempuan, seperti aku. Kau membenci airmataku. Air mata yang membuat hatimu merasa kalah dalam pertandingan memberikan kebahagiaan kepada perempuan. Dan membuatmu memicingkan matamu, menekan gemuruh dada dan lalu membekukan seluruh tubuhmu.

Tak pernah kusangsikan, ketegaran dan kekokohanmu telah melapisi seinci demi seinci tubuhku yang rapuh. Kini meski terombang ambing oleh angin badai. Kau akan dapati aku berdiri di sampingmu setegar  bunga ephorbia dihantam kemarau panjang. Ia akan tetap tersenyum. Menghiasi tubuhnya dengan rimbunan kelopaknya yang merah jingga. Dan menyembunyikan batangnya yang ringkih dengan menempelkan duri-duri disekujur tubuhnya.

Lelakiku, semoga kau tak pernah jera. Menerima kata cinta yang terucap begitu saja dari bibirku, setiap aku menatap matamu. Lima huruf indah itu telah bersenyawa dengan nafasku. Setiap kuhembuskan nafasku, kata cinta itu turut terhembus dari bibirku. Waktu  kau memagutku hingga nafasku memburu, seketika itu huruf huruf itu berdesakan di atas lidahku mencari cara untuk menyeruak di wajahmu..

Kau telah begitu lama merebahkan tubuhmu hanya untuk sekedar menemani pembaringanku. Melepaskan segala hal yang penting dalam hidupmu demi membantuku mengeringkan air mataku. Betapa keakuanku terlalu menuntutmu berada disisiku selalu. Padahal panggilan jiwamu adalah malam yang panjang yang tak hendak kau tinggalkan.



Waikabubak, 20 Mei 2011 repost from my facebook notes

Senyum Pengantar Tidur

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya aku menyempatkan mengantarkan gadis kecilku memejamkan matanya. Gadis kecil yang hitam manis seperti abinya itu seperti masih enggan menempati kasurnya. Mulutnya yang mungil terus berceloteh riang menceritakan pengalamannya di sekolah, tadi siang, kemarin, kemarinnya lagi dan kemarin dulu. Terasa ada momen yang berbeda malam ini.

Senang rasanya mendengar celotehannya yang lepas. Sedikit tidak rela menyuruhnya segera tidur, sementara aku masih ingin mendengar suaranya riang berkisah. Namun dia, gadis kecilku itu harus segera tidur., menabung tenaganya untuk menjalaninya aktifitasnya sebagai bocah, belajar, bermain, bermain, dan bermain. Setelah aku merapatkan selimutnya dan memintanyanya untuk merapalkan sebaris doa, anakku pun segera terlelap. Rupanya kantuk yang tadi disembunyikannya itu langsung menguasai matanya. Terlelap dengan mengulum senyum, , sesaat setelah aku mengucapkan selamat tidur untuknya.

Kini tinggal aku sendirian menunggu kantuk datang. Ingatanku pun terlempar jauh ke masa saat aku menjalani masa bocahku sebagai yang agak pendiam. Beda dengan anakku yang sanggup bercerita tentang apa saja kepadaku dengan deskripsi yang jelas, aku adalah anak yang cenderung menyimpan apa yang ada di pikiranku untuk diriku sendiri. Jika aku hendak mengungkapkan pikiranku, maka otakku akan mengulang-ulang kalimat yang hendak kusampaikan hingga pada akhirnya, seringkali aku urung berbicara.

Ibuku bukan tidak tahu, anak perempuan sulungnya, sedikit mengalami “kesulitan” berbicara. Tapi beliau tak pernah memaksaku berbicara. Alih-alih memaksaku berbicara, beliau malah tak pernah bosan mengajakku ngobrol. Tentang apa saja. Walaupun lebih sering obrolan ibu dan anak itu berlangsung seperti pentas monolog. Ibuku sebagai pemeran utamanya, dan aku sebagai penontonnya.

Mendengar ibuku bercerita, membuatku merasa jadi orang paling penting sedunia. Ibuku hanya ada untukku. Apalagi bila malam tiba, ibu selalu datang untuk mengeloniku sambil menyanyi lagu lama, masih lekat kuingat  sebait syair lagu itu, yang dinyanyikan dengan suara merdu mendayu-dayu.

“Inginkah kawan tahu, siapa daku, Minah gadis dari dusun di gunung…”

Lalu ibuku memceritakan dongeng kancil mencuri ketimun, atau raja hutan yang terjepit bambu, kura-kura yang lamban dan monyet yang jahil atau timun mas dan banyak dongeng lainnya. Sering aku memintanya mengulang-ulang cerita yang aku suka. Dan ibuku tak pernah bosan menceritakannya.

Ketika mataku mulai berat dan kesadaranku mulai memudar, ibuku segera mengganti dongengnya dengan membacakan surat-surat pendek dalam Al Qur’an. Tangannya mengelus-elus rambutku. Dan tidak lama kemudian akupun terlelap dalam senyuman, karena ibuku menutup bacaannya dengan sebuah kecupan dan ucapan selamat tidur untukku.

Kenangan itu, menyadarkan aku bahwa ternyata aku telah banyak melewatkan sepenggal malam yang seharusnya menjadi milik anakku. Selama ini aku lebih sering mengantarnya tidur hanya dengan sapaan ringan: “tidurlah, sayang, sudah malam nanti kamu terlambat bangun dan pergi ke sekolah”. Datar dan kaku.

Tidak ada nyanyian, tidak ada dongeng, tidak juga bacaan-bacaan surat pendek seperti kebiasaan yang ibuku selalu lakukan kepadaku. Berlindung di balik kesibukanku, hanya membuatku malu terutama kepada ibuku. Tak sebanding kelelahanku dengan kelelahan ibuku yang harus berjalan keluar masuk rumah menjajakan kain dan baju batik dagangannya, mengurus tiga orang anak, tapi masih tetap mengutamakan waktu sepenggal di malam hari itu untuk mengantarkan tidurku.

Bisa kubayangkan betapa kecewanya ibuku, kalau beliau tahu, cucunya mendengar nyanyian dari mulut televisi, bukan dari mulutku, mennyaksikan dongeng dan cerita dari layar televisi, bukan dari tatapan mataku kala mendongengkannya, menghapal bacaan-bacaan surat pendek dari guru ngajinya bukan dari aku, ibunya.

Malam ini, anakku tidur dengan senyuman dikulum. Tapi bukan karena aku yang mendongengkan kisah-kisah fabel dan cerita rakyat untuknya, melainkan karena dia yang telah mendongengkan kisahnya sendiri di sekolah kepadaku. Bukan pula karena aku menyanyikan lagu-lagu untuknya, melainkan dia yang mendendangkan lagu sambil melenggak-lenggok lucu. Dan bahkan bukan karena aku yang membacakan surat –surat pendek untuknya, melainkan dia yang lirih membacakan sepotong doa untukku.

Kurasa, malam ini aku baru menyadari, bahwa aku begitu beruntung memiliki ibuku. Sementara anakku tak begitu beruntung memiliki ibu yang sepertiku. Walau setidaknya aku merasa lega, masih bisa memberikan anakku  sepotong senyum pengantar tidur.

Untuk ibuku dan dua gadis kecilku.

Repost tulisan lama, 19 Mei 2011.

Finally....


Gimana yah, mengekspresikan perasaan aku setelah berhasil membuat blog aku pribadi, by my self....?! Tanpa panduan dari siapapun, tanpa bimbingan dari pakar blog. Fuiiifh, berbulan-bulan yang lalu, nampak sudah mentok. Dead end. Namun rupanya hujan gerimis sore yang syahdu ini, seperti mengantarku menelusup ke relung ilham nan cemerlang. Dan, ta raaaaaa..... I have my own blog. Fantastic. Its unspeakable, undescribeable. Waaaah, sejuta rasanya.

Believe me, honey. Sesuatu yang kamu hasilkan dari cucur peluhmu sendiri akan sangat berarti buat kamu. Menjadi sebuah kebanggaan dan satu tugu pencapaian di hidupmu. Itu akan kamu ingat seumur hidupmu, dengan senyum. Sesuatu banget deh pokoknya.

Tapi rupanya, aku harus juga ingat bahwa segala sesuatu ada karena memiliki sebab akibat. Jika tidak aku bisa bisa dicap kepedean, narsis, atau lebay. Hehehe. Karena bila dirunut dari awalnya, ketertarikanku untuk menjadi blogger (jiahhhhhh), itu karena ada hasutan-hasutan manis dari temen-temen Kompasianer dan blogger yang aku follow akun twitternya. Dari awalnya cuma ledek-ledekan di twit, mention, sampe akhirnya aku coba untuk ngetwit yang rada-rada puitis gitu. Hmmmh, rupanya ada juga yang suka twit-twitku. Agak ragu sih, jangan-jangan orang itu baca twitku sambil ngelindur. Heheheh.

Interaksi antara aku dengan tweep yang hampir semuanya berstatus penulis, penyair, penerbit, motivator, rupanya membuat aku secara sadar terhasut untuk mencoba menulis. Jadi teringat pepatah orang tua, "siapa yang bergaul dengan penjual minyak wangi akan ikut terkena wanginya, siapa yang bergaul dengan penjual terasi ya akan terkena bau terasinya".  Mudah-mudahan berkecimpungnya aku di dunia para blogger, membuat aku jadi wangi. Bukannya malah bau terasi.

This is it. My Blog. My window to the world.