Dingin



DINGIN

R,
saat dingin bersijingkat dari sela jendela
dirimukah yang mengetuk seng rumah kita
atau sekedar embun yang kau utus dari sana

Tanpamu R,
gemintang pudar
aku diremas kerinduan
saat menatap langit yang mengelam
geletar nanar dari birahi terdalam

Senja dan Cinta


Judul diatas adalah judul dari kedua tugas perdana yang diberikan oleh Gradien Writer Audition kepada saya. Tugasnya adalah menarasikan senja dan mendeskripsikan cinta. Saya sampai harus mencari-cari lagi apa definisi dari narasi dan deskripsi. Soalnya, kedua kata itu akrab di telinga saya tapi saya hampir tidak bisa membedakan keduanya. Dan akhirnya setelah saya bergelut dengan artikel tentang narasi dan deskripsi dari blog-blog keren di dunia maya, inilah hasil tulisan saya. 

Enjoy....

"Senja"

Angin sepoi membelai anak rambutku. Udara sejuk semilir menelusup sela-sela  daun nyiur yang berbaris di sepanjang pantai. Aku memperhatikan beberapa anak nelayan berlarian telanjang. Dua diantaranya benar-benar telanjang bulat. Kulit mereka yang hitam legam terlihat mengkilat. Mereka begitu riang berenang berkejaran. Kecipak air laut riuh bersahutan dengan ombak yang tidak henti menerjang bibir pantai.

Di ujung horizon sana, sang surya memancarkan warna gemilang jingganya. Semburatnya yang serupa lukisan abstrak, membias kan warna hijau tosca. Kualihkan pandangan pada matahari yang sebentar lagi akan surut ditelan laut. Langit memberi kesempatan padaku untuk mengagumi sang surya. Tak segumpalpun awan disana. Benda langit terbesar di tata surya itu berpendar-pendar. Seolah ingin menebarkan keelokannya pada semesta.

Tiba-tiba tak kuketahui darimana datangnya,  sekelompok burung camar melintas. Mereka terbang melayang, menukik lalu serentak berbelok menjauhi matahari. Perlahan menjadi titik-titik hitam. Lalu menghilang.

Hamparan laut di hadapanku kini serupa benar dengan permadani. Riak-riak ombaknya membentuk serabut warna. Dia hidup. Bergerak-gerak lembut, seraya memantulkan keindahan warnanya ke setiap penjuru angkasa.

Aku melangkahkan kakiku menuju bibir pantai. Kubiarkan buih-buih ombak menjilati kedua kakiku. Pasir putih yang halus di belakangku mencetak jejak telapak kakiku. Sesaat kemudian jejak-jejak kaki itupun memudar disapu ombak yang datang silih berganti. Tak kudengar lagi riuh rendah bocah-bocah pantai yang tadi bercengkrama dengan laut. Rupanya mereka telah menghentikan canda tawa mereka. Baju yang mereka lemparkan sekenanya di pasir telah mereka kenakan kembali. Kemudian dengan sekali hentak, tubuh-tubuh mungil mereka telah bertengger diatas kuda-kuda sandelwood tak berpelana. Lalu serentak memacu tunggangan mereka, berderap-derap menyusuri pantai menuju perkampungan penduduk asli di ujung selatan tepian pantai ini.

Matahari semakin berpendar. Tepian paling bawahnya telah menyentuh horizon. Perlahan  cahaya jingga yang dipancarkan tersaput kilau keemasan. Aku lekat memandangi benda bulat yang berpendar penuh cahaya keemasan itu. Sebentar lagi kilaunya akan sedikit demi sedikit ditelan lautan. Lalu kemudian menghilang untuk memberikan cahayanya pada kehidupan di belahan bumi lain. Riak ombak semakin senyap, seolah ikut beringsut ke kedalaman lautan bersama sang surya. Semilir angin pun terasa lembut membuai.

Dari balik bukit kecil yang menyembul di ujung utara, sekawanan kerbau berjalan gontai digiring penggembalanya. Sesekali terdengar lecutan cemeti disusul lenguhan kerbau ketika  kawanan binatang memamah biak itu tak lagi kompak berjalan.

Semua makhluk  beringsut pulang. Bersama matahari yang usai terbenam di garis ufuk yang membias keemasan. 



"Cinta"

Lonceng jam dinding sudah berdentang dua belas kali. Okky masih belum berhasil tertidur. Sebentar dia miring ke kanan. Tidak lama kemudian dia balik ke kiri. Bantal sudah tidak lagi berada dia tempatnya yang terhormat, di atas kepala, melainkan tersuruk kuyu dipojok tempat tidur tepat di bawah kaki Okky.

Entah berapa ratus kali sudah Okky, menghela nafasnya panjang-panjang. Kedengarannya seperti suara sapi yang lelah mengangkut beban dalam pedati. Matanya nanar memandang ke depan, tetapi pandangan itu jauh menembus dinding tembok kamar kostnya. Ke sebuah cafe di suatu sore ketika ia bertemu dengan gadis berbaju biru itu.

Gadis itu biasa saja. Tapi ada satu kelebihannya yang membuat Okky tidak bisa melupakan gadis itu. Suaranya. Ya suaranya. Suara yang begitu halus tapi tidak lemah. Lembut sekaligus kuat. Mengalun seolah berirama bossa. Mengambang di udara seperti awan. Diiringi sesungging senyum di bibirnya, suara gadis itu hinggap di telinga Okky serupa nyanyian cinta dari surga. Membuat Okky terpana.

Okky menyesal, mengapa dia tidak menanyakan nomer ponselnya, sehingga setiap Okky merindukan suaranya yang indah itu seperti saat ini, dia tinggal menekan ponselnya. Atau paling tidak menanyakan namanya, agar dia bisa mengingat suara lembut gadis itu seraya menggumamkan nama gadis itu. Okky mengutuki kebodohan dirinya, mengapa dia membiarkan gadis itu berlalu dari hadapannya setelah mereka bertabrakan secara tidak sengaja. Mengapa Okky hanya bisa menganga mendengar gadis itu meminta maaf dan menawarkan mengganti minumannya yang tumpah. Ah, dasar bego, Okky membatin, setiap ingat dia tidak mampu mengucapkan sepatah katapun, sampai gadis bersuara lembut itu berlalu.

Sudah tujuh hari berlalu. Sejak detik itu, di benak okky terngiang-ngiang selalu suara gadis itu. Kemanapun Okky melangkahkan kakinya, suara lembut itu seperti terus mengikuti.

Malam ini Okky seresah padang rumput yang merindukan hujan di musim kemarau. Dia dilanda perasaan asing yang menjajah. Ingatannya tumpah hanya pada suara indah gadis itu. Suara itu kini mengalun mengambang di udara dalam kamar kostnya. Okky tak mampu mengenyahkannya. Sementara sang waktu terus berdetak, Okky semakin tak mampu menghentikan geletar-geletar rasa yang menghebat di dadanya. Malam semakin surut, alam sedang menjemput sang pagi yang sebentar lagi datang.

Okky bangkit dari tempat tidurnya. Meninggalkan jejak seprei yang kusut masai. Melangkah gontai menuju kamar mandi, lalu mengambil air wudhu. Okky ingin sejuta rasa yang sekarang melanda di hatinya, entah bagaimana caranya sampai kepada pemilik suara lembut yang entah dimana dia berada. Mungkin dengan sebait doa.

Sejauh Mana Kamu Bertahan, Lik....


Sepulang dari kantor _karena pusing menahan kantuk yang diakibatkan mengkonsumsi obat batuk_ saya rebahan sembari membuka internet. Tadinya karena ingin berburu sarung jok murah yang dijual online, tapi tangan saya bergerak juga menekan google mail. Siapa tahu ada email penting yang datang di inbox saya. 

Blarrr. Dalam sekejap pusing saya hilang. Di layar inbox terpampang subjek: Tugas GWA002. Sungguh di luar dugaan. Ternyata tugas menulis yang saya kerjakan untuk Gradien Writer Audition tidak buruk-buruk amat. Walaupun di email itu tidak ada konfirmasi bahwa tulisan saya memenuhi syarat untuk lolos audisi minggu perdana, tapi dengan adanya tugas GWA02 dikirim ke email saya, mengasumsikan, saya lolos dari eliminasi minggu pertama dalam audisi ini.

Buku Pilihan Icha


Bahkan seorang anak seusia Icha sudah tahu apa yang diinginkannya. 

Sore tadi Icha mendekati saya sementara saya tengah menekuni tulisan saya. Sejak kemaren sebenarnya dia telah menunjukkan kepada saya secarik kertas buram berwarna merah muda, berisi daftar buku-buku dari sebuah penerbit yang saya kurang hafal namanya. Setiap tahun agaknya penerbit itu bergerilya dari sekolah ke sekolah mempromosikan buku-buku hasil terbitannya. Buku-buku saku berharga semurah jajanan di warung. Paling mahal sebelas ribu. Mulai dari rumus-rumus matematika, UUD 1945 dan amandemennya, cerita rakyat dan lain sebagainya. 

Saya melirik agak malas ke arahnya. Karena sudah bisa dipastikan, buku yang dibeli dari penerbit atau salesnya itu hanya akan jadi penghuni lacinya berjejalan dengan mistar, topi, mainan dan ikat rambutnya. Kemudian menjadi kusut karena terlipat-lipat, dan berakhir di ujung pena adik-adik sepupunya. Penuh coretan-coretan. Lalu teronggok sia-sia di sudut kamar.

Tapi, mata memelas Icha membuat saya tidak tega menolak keinginannya.
Lalu saya bertanya, "Ade, mau beli buku apa?"
Matanya berbinar seraya menunjuk satu judul buku. Buku seharga sebelas ribu itu bertajuk Peribahasa, Pantun dan Puisi.
Saya tersenyum lalu berkata padanya, "Ya udah, besok Ade beli buku ini, ya." 

Saya tidak memiliki alasan lagi untuk menolak keinginannya membeli buku murah itu. Apalagi setelah saya tahu bahwa buku yang ingin dibelinya adalah buku yang berkaitan dengan passionnya. Hasratnya pada dunia menulis. 

Tidak pada tempatnya saya under estimate pada sebuah buku murah. Siapa tahu, justru dari situlah Icha menemukan sumber mata air yang jernih dan tak habis-habisnya bagi proses kreatifitasnya. Semoga.

Audisi Menulis, Siapa Takuut....


Empat Agustus yang lalu, secara tidak sengaja saya menemukan sebuah situs di internet yang mengumumkan penyelenggaraan audisi menulis secara online, terbuka bagi siapa saja. Situs itu adalah sebuah blog milik Mbak Nunik Utami. Seorang penulis buku, writing trainer dan editor lepas yang memulai karirnya di tahun 2006. Saya langsung mendaftar. Bagi saya ini adalah media untuk belajar menulis yang intensif, gratis lagi. Jika saya beruntung, saya akan terjaring sebagai penulis yang akan diberi tutorial secara privat untuk menulis sebuah novel fiksi romance via email. Dan kelak setelah novelnya jadi, akan diterbitkan oleh penerbit Gradien Mediatama. 

Ketika saya mengirimkan email pendaftaran, ekspektasi saya tidak muluk. Saya ingin belajar menulis. Itu saja. Saya tahu audisi ini telah dipersiapkan sebaik mungkin untuk menjaring 5-10 orang yang dianggap berbakat. Dan untuk lolos dari audisi ini saya harus mengalahkan 722 pendaftar lainnya. Selama 4 bulan ke depan setiap minggunya, saya bersama seluruh peserta lainnya akan menerima tugas dari penyelenggara. Siapa yang tidak dapat menyelesaikan tugas sesuai ketentuan, akan langsung gugur.

Menulis sebuah novel adalah sebuah proses yang panjang dan cukup sulit untuk orang yang baru belajar menulis. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan. Riset, out line cerita, plot, setting dan semua hal yang menyangkut materi novel itu. Setelah itu mengolah semua persiapan tadi menjadi rangkaian cerita yang mengalir, bernas dan menarik, juga bukan pekerjaan yang mudah. Dari audisi menulis yang diselenggarakan Gradien Mediatama inilah saya akan 'mencuri' ilmunya. 

Mungkin saja saya akan langsung tumbang pada tugas perdana. Tapi setidaknya, saya telah belajar sesuatu dari ajang ini. Sekecil apapun ilmu yang saya dapat dari situ, bisa saya pastikan besar manfaatnya untuk proses kreatif saya. Dan tugas perdana itu telah selesai saya setorkan hari ini pada pukul 08.36 WITA, dua jam dua puluh empat menit sebelum tenggat terakhir. 

Ketika saya bilang kepada teman saya, bahwa saya sedang iseng mengikuti audisi menulis, sesungguhnya saya sedang serius menulis tugas saya. Gimana nggak serius, tugas saya itu ternyata mengharuskan saya benar-benar belajar. Bukan sekedar menulis mengikuti kata hati seperti biasanya. Menarasikan senja dan mendeskripsikan cinta. Itulah tugas perdana saya. Simpel, tetapi ketika saya mengerjakannya ternyata tak sesimpel kelihatannya. 

Baiklah, email tugas saya sudah dikirim. Mari menunggu, apakah saya sudah mengerjakan tugas saya dengan benar. Sehingga saya lolos dari ancaman eliminasi di minggu pertama audisi ini. 

Jodoh

Dalam sebuah kunjungan ke sekolah saya bertemu dengan seorang kawan baik. Kakak Mah, demikian saya memanggil perempuan yang usianya terpaut 4 tahun diatas usia saya. Dulu ketika kami masih sama-sama bekerja sebagai tenaga pengajar honorer di sekolah yang sama, dia masih lajang. Sebuah predikat yang sungguh berat untuk disandang oleh perempuan manapun di dunia, saat usia semakin menjorok ke senja. Siapa yang masih bisa tersenyum ikhlas, menyandang gelar perawan tua?


Sesungguhnya Kakak Mah memiliki hampir semua kriteria yang diinginkan oleh laki-laki. Berparas manis, hidung mancung, badan proporsional untuk ukuran tubuh orang Indonesia, well educated dan garis keturunannya bisa dibilang terhormat di Waikabubak. Namun entah faktor apa yang membuat jodoh lambat bertandang dalam kehidupannya.

Ketika dia akhirnya menikah, semua orang di sekitaran menarik nafas lega. Bersyukur pada akhirnya ada laki-laki baik yang mempersuntingnya menjadi istri. Tidak perlu kuatir dengan bayangan-bayangan akan hidup yang kesepian seumur hidupnya. Tanpa kekasih yang menjadikan hidupnya menjadi lebih berwarna cinta, hidup terasa lebih sunyi dari mati. 

Tapi rupanya jodoh yang datang, menyisakan beban. Beban itu menyangkut di pundak Kakak Mah berupa empat orang anak. Tiga perempuan dan satu laki-laki. Semua masih berusia kanak-kanak yang masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Hanya yang terbesar yang sudah bisa mengurus keperluan pribadinya, tanpa dibantu orang dewasa. sedangkan tiga lainnya masih harus didampingi untuk bisa menyelesaikan keperluannya, apakah mandi, berpakaian, pergi sekolah, makan, belajar bermain dan lain-lain. Bisa dibayangkan betapa sibuknya Kakak Mah setelah menikah, harus bekerja dan mengurusi empat orang anak yang tiba-tiba saja hadir di hidupnya bersama seorang lelaki yang kini menjadi suaminya. Jawaban dari doa-doanya.

Meluncur air mata Kakak Mah, ketika ngobrol di selasar sekolah hari itu. Predikat ibu tiri kadang menerbitkan pandangan yang tak adil. Dan itu yang sekali dua, terdengar di telinga Kakak Mah, dan menorehkan perih di hatinya. Karena dia merasa, ketika pengantin baru yang lain asyik masyuk memadu cinta dengan pasangannya, dia justru harus terseok-seok di pagi buta menyiap keperluan buah hati suaminya pergi sekolah. Ketika pasangan muda lain tengah santai jalan-jalan bermesraan, dia harus sibuk mendampingi keempat anaknya belajar. Sementara suaminya bekerja di kota lain. 

Aku hanya bisa menguatkan. Memberinya pelukan. Jodoh seringkali datang tanpa kita bisa memilih. Ia datang begitu saja di hidup kita. Jika saja bisa, tentu Kakak Mah akan memilih jodohnya seorang laki-laki muda, lajang, berwajah tampan, baik dan mapan. Tanpa embel-embel empat orang anak seperti sekarang. Tapi itulah jodoh. Datang tak duga, dari arah yang tidak disangka-sangka. Tiba-tiba saja hidup terasa berat, ketika dalam hati kita terbersit perasaan kenapa saya harus berjodoh dengan dia. Karenanya, tak perlu lagi mempertanyakan. Berdamailah dengan kenyataan. Dan kelak akan ada saatnya masa-masa sulit berbuah manis. barulah ketika itu kita sadar betapa Tuhan tahu yang kita butuhkan, betapa Tuhan tidak pernah salah memilihkan jodoh untuk kita. Yang ada, seringkali kita lalai melihat dan memahami pasangan kita.

Aku memeluk Kakak Mah. Bayangan suamiku melintas. Diam-diam aku melarungkan doa-doa keselamatan untuknya ke angkasa.


Ultah Teristimewa


"Selamat ulang tahun pernikahan kita, Sayang."

Aku membisikkan kalimat itu di telinga lelaki yang selama tiga belas tahun sudah menjadi orang yang pertama kulihat ketika membuka mata di pagi hari, dan orang terakhir yang ku tatap ketika akan memejamkan mata di malam hari. Lelaki yang setiap inchi tubuhnya,setiap gerak-geriknya, setiap kernyit wajah dan setiap lenguh nafasnya telah kukenali dan melekat di memori.

Tidak ada kue, tidak ada greetings card atau perayaan yang sengaja kita gelar untuk momen ini. Hanya ada sebuah bisikan dariku, dan anggukan yang disertai tatapan sebagai balasannya dari lelaki itu.


Tapi aku, entah mengapa, justru merasa inilah momen perayaan ulang tahun pernikahan kami yang paling membahagiakan. Bahkan ketika ulang tahun itu datang ditengah badai musibah yang tengah mendera kami. Kerugian materi dan tekanan batin yang begitu tinggi karena kerugian itu, nyatanya malah semakin mendewasakan hubungan kami. Mungkin pula mendewasakan diri kami sendiri. Aku dan suami lalu mendapati dan percaya satu hal, musibah itu dikirim kepadaku untuk mengupgrade aku dan suami untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik dan Tuhan hendak menyiapkan sesuatu yang spesial bagi kehidupan kami. Musibah itu adalah satu dari sekian proses yang harus kami lalui. Dan Tuhan menempatkan musibah itu persis disaat menjelang ulang tahun pernikahan kami.

Inilah sesuatu yang berharga yang harus aku ambil dari pelajaran hidup ini. Tuhan menciptakan maslah sekaligus dengan solusinya. Tergantung manusialah solusi itu akan ditemukan atau tidak. Berhasil mengatasi masalah itu atau malah menambah parah. Atau solusi itu dibiarkan tergeletak di suatu tempat tanpa ditemukan. Hingga kemudian tak ada pelajaran yang diambil. Masalah tinggal masalah, diam begitu saja menyesaki hidup kita, tanpa diperjuangkan solusinya.

Aku memilih mencari solusinya. Setelah tentu saja, mengambil sejenak waktu untuk menata hati dan pikiran. Meredakan gejolak yang berkecamuk di dada setelah didera musibah. Bangkit dari kejatuhan. Lalu berdua dengan suami membahas jalan keluar dari masalah yang menelikungku begitu dalam. Aku dan suami banyak berbincang. Menghabiskan waktu untuk menyusun rencana-rencana yang sifatnya teknis. Bagaimana mengganti kerugian itu, bagaimana mengatasi kemelut di hati, bagaimana menyikapi kerugian itu, apakah harus menuntut ganti atau tidak, dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Kami menjadi begitu dekat. Begitu saling membutuhkan. Sekali juga menjadi bertambah-tambah rasa sayang dan cinta kami satu sama lain. Mungkin ini pula salah satu efek positifnya dari musibah yang menimpa kami. Hubungan cinta kami yang sudah berjalan selama tiga belas tahun, tidak memudar dimakan waktu. Melainkan semakin erat melekat di hati dan tumbuh subur merindangi rumah cinta kami.

"Semua pasti ada jalannya, dan kita telah menemukan jalan itu, Sayang," bisikku kemudian.