Ah....



Diterkam sepi 
dalam muram
lengang
membentang

Yang tergugu dan terdiam
yang menyesak dan yang menyergap
sama-sama menyeruak
lalu terhenyak

Luruh
Runtuh
Jatuh
Dua tubuh berpeluh
Mengaduh



Denpasar, 20 Juni 2013

Mata-mata Maut


Terbaring,
kering,
miring,
suara tak lagi nyaring,
Si Sakit mengaduh, menjerit, mengerang lalu mengaing,
bak anjing merapalkan makian karena dilempar beling.

Di rumah yang penuh oleh penyakit,
maut mengintai.
Dari balik dinding,
seringai 
melunglai
tungkai-tungkai

Desah kesakitan
serbuan suntikan yang menjalar ke vena 
obat-obat yang dijejalkan
suara mesin pemanggil antrian
obrolan ringan orang berjas putih di sela tawa
mata-mata maut 
beringas mencari mangsa

Di pojok sana
aku melihat
seorang tersenyum
dan berkata:
Kau, belum saatnya.


Denpasar, 20 Juni 2013

Requim Cinta





Senja mulai memerah. Angin mengelus tengkuk Eily. Meremangkan bulu kuduk ketika kakinya yang panjang menapaki koridor rumah sakit swasta itu. Dia merapatkan jaketnya. Musim hampir bergeser ke musim kemarau. Di kota kecil yang lanskapnya menyerupai kuali raksasa itu, musim kemarau selalu membuat udara sedingin embun subuh.

Bergegas Eily menuju bangsal rawat inap kelas 3. Tangannya menenteng parsel berisi buah-buahan. Senyumnya sesekali mengembang tipis saat berpapasan dengan perawat dan beberapa pelayat yang hendak pulang. Agak ragu, dia mendorong pintu ruang rawat inap yang sedikit terbuka. Eily melayangkan pandangan ke sebuah sudut. Terbaring di ujung sana laki-laki berwajah tirus yang sudah lama dia ingin lupakan.

Sejenak Eily terdiam. Tapi seorang perempuan paruh baya menganggukkan kepalanya. Eily menghampiri kedua anak beranak itu.

“Sore, Tante. Maaf, saya baru sempat datang.” Eily mencium pipi perempuan yang dia panggil tante itu. Kemudian dia meletakkan parsel yang dia bawa di atas meja kecil yang dipenuhi sebotol air mineral, gelas, sebungkus biskuit dan obat-obatan.

Eily memandang wajah yang kuyu terbaring di depannya. Dia memperhatikan dada laki-laki itu yang bergerak naik turun pelan. Sebersit perih singgah di hatinya.

“Beberapa kali, Reza menyebut-nyebut namamu saat dia tidur. Tante berpikir, mungkin kalian harus bertemu untuk saling bicara.”

Eily menunduk. Dia menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Seakan ingin menghemat oksigen di dadanya yang tiba-tiba terasa sesak.

“Tante tinggal dulu keluar ya, ada yang harus tante beli.” Sembari mengusap pundak Eily, perempuan anggun itu beranjak pergi.

Suasana hening menyergap Eily. Dia tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ada keinginan yang menyelinap dalam hatinya untuk menyentuh wajah Reza yang tengah tertidur. Dia sudah mengangkat tangannya untuk meluluskan keinginan hatinya itu, ketika tanpa dia duga Reza membuka matanya pelan. Eily sontak terkejut. Ah, hampir saja, batinnya sambil menenangkan degup jantungnya yang gemuruh.

“Eily, aku tidak mengira kamu datang menjengukku.” Ada getar pelan dalam suara lemah Reza. Sepasang mata saling menatap. Kilatan entah apa berkelabatan di dalamnya. Reza memperbaiki posisinya. Berusaha terlihat tegak, menaikkan tubuhnya sedikit dengan bantal sebagai penopangnya.

“Maafkan aku, saat itu aku harus memutuskan untuk pergi. Dan sekarang, di saat seharusnya kamu sudah melupakan kepergianku, justru kamu harus menemui aku…” Reza terdiam sesaat. “…dalam keadaan aku seperti ini pula.”

“Reza, sudahlah. I’m fine. Kamu tidak perlu mengkhawatir aku.Fokuslah untuk kesembuhanmu.” Eily menyentuh pundak Reza sekedar untuk menampakkan ketegarannya. Dia menyembunyikan gundahnya di balik selubung hatinya. Perlahan nyeri yang lama dia rawat dengan air mata, berdenyut lagi.

“Aku ingin sekali memberikanmu ini.”

“Untuk apa ini, Reza? Kamu tidak perlu memberiku apa-apa.”

“Seharusnya aku melakukannya dulu, saat kita menunggu senja di Lapale. Anggaplah ini permintaan maaf dariku. Atau sekedar tanda bahwa aku pernah ada.” Ujar Reza sedikit terengah-engah.

“Please, don’t talk like that. Aku sudah memaafkanmu sedari dulu. Aku sudah melupakan bahwa kamu pernah pergi menjauh dariku.”  Kini Eily benar-benar merasakan perih mengiris-iris di sekujur tubuhnya. Perlahan perih itu menelusup memanjat setiap urat yang mengarah ke sepasang kelenjar dan mendesak cairan bening keluar dari sudut mata. Meleleh seperti magma. Eily merasakan matanya memanas. Entah karena dia berusaha menahan air mata atau karena luka yang dia rasa. Atau mungkin karena dua-duanya.

Reza meraih tangan Eily, membawanya di dada. Seperti hendak meyakinkan Eily tentang besarnya penyesalan yang dia rasa. Layaknya sentuhan tangan di dada itu bisa mengenyahkan segala luka perih di hati Eily. Reza tahu ini bisa menjadi sentuhannya yang terakhir untuk Eily. Dia ingin waktunya yang tidak lama itu betul-betul habis untuk menghapus cerita kelam di antara mereka berdua. Jika saja tidak ada penyakit yang bercokol di tubuhnya, saat itu juga Reza ingin meminta Eily untuk menerimanya kembali. Dia rela menghabiskan seluruh sisa hidupnya untuk memunguti setiap keping luka yang terserak dalam jiwa Eily, demi membahagiakan perempuan yang pernah terluka karena sikapnya yang pengecut.

Langit sedang menelan senja. Tinggal semburat jingga yang terlukis di cakrawala. Sementara Eily masih menggenggam jemari panjang yang kurus milik Reza. Dia belum lupa jemari itulah yang pernah menggeletarkan jantungnya dalam rinai gerimis di salah satu siang  bulan Mei dua tahun lalu. Itu saat pertama kali Reza mengajaknya makan siang saat istirahat kerja di kantornya. Reza menggenggam tangan Eily, menembus titik-titik air yang berjatuhan. Agaknya siang  bergerimis itu menyuburkan benih asmara keduanya.

Eily memutuskan untuk pulang. Dilihatnya Reza sudah kembali tertidur. Sepertinya percakapan pendek mereka terlalu melelahkan untuk tubuh lemah Reza. Eily pun diterpa lelah yang sama. Mungkin bahkan jauh lebih lelah ketimbang Reza. Lelah yang terakumulasi dari penat rutinitas pekerjaannya, dua tahun berkubang dalam luka dan kecewa pada kepergian Reza,  lalu pertemuannya dengan Reza hari ini. Ditambah sebentuk cincin emas putih bertahtakan berlian di kepalan tangannya. Untuk apa dia menerima cincin itu dari Reza, Eily tidak persis tahu.

Sebagai penanda bahwa Reza pernah ada? Eily menggeleng, ada duka di balik kalimat Reza itu. Sepenggal duka yang lain. Biar bagaimanapun Eily lebih memilih ingin mengetahui bahwa Reza ada di belahan tempat lain terpisah dari dirinya, daripada harus menemui kenyataan pahit Reza sudah tinggal nama. Jauh di kedalaman hatinya, Eily masih menyimpan rasa yang diam-diam berkelindan setiap kali Eily menatap senja di balik jendela kamarnya. Mungkin itulah alasan sebenarnya.

Malam ini Eily memejamkan matanya lebih awal dari biasanya. Dengan begitu Eily bisa menyusupkan kenangan-kenangan tentang Reza dalam gelapnya alam tidur. Secangkir kopi yang sudah dia seduh, dibiarkan tak disentuh. Sejurus kemudian, Eily terlelap. Cincin yang dari tadi dia kepal, kini sudah berpindah di jari manis kirinya.

*

Rasa sakit meringkus seluruh tubuh Reza. Seribu jarum seolah menancapi setiap senti kulitnya. Sakit yang jauh menembus sumsum. Reza mengerang, mengaduh. Tetapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Kecuali lenguhan dan sengalan nafas di ujung leher.

Kini selain nyeri seperti tusukan jarum karatan di sekujur tubuhnya, Reza sekuat tenaga menyebutkan sebuah nama. Dia ingin seandainya ini adalah akhir hidupnya di dunia, nama itulah yang terucap hingga bibirnya berhenti bergerak. Jika matanya kuasa terbuka ketika sakit sedikit jeda, hanya seraut wajah yang terbentang di lensanya sampai kemudian kembali terpejam. Dan dalam mimpi, dimana Reza terbebas dari deraan penyakitnya, nama dan raut wajah perempuan yang dulu pernah jadi miliknya itu, terus menari-nari.

“Eily….Eily….”

Reza ingin meraih wajah Eily. Seperti sebatang kayu yang hanyut dalam derasnya riak sungai, Eily  muncul tenggelam dalam mimpinya. Tangan Reza menggapai-gapai hingga seluruh persendiannya melemas. Lalu lunglai.

Reza menangis. Dia ingat saat-saat paling memilukan dalam hidupnya. Bukan, bukan dalam hidupnya, melainkan dalam hidup Eily.

“Reza, jangan pergi. Aku membutuhkanmu. Aku mencintaimu. Please….dont go.”

Reza masih bisa merasakan getirnya suara Eily yang memohon, menghiba dan meratapinya untuk tidak pergi meninggalkannya. Dia masih mengingat dengan jernih, Eily merengkuh tubuhnya. Berharap rengkuhan itu masih berdaya menahan kepergian dirinya. Tapi tidak. Reza tak ingin lebih lama bertahan. Dia menepis pelukan Eily. Dia menutup telinganya. Lalu berpaling dan bergegas pergi.

Reza mengabaikan tangisan Eily yang meneriakkan sejuta perih ke angkasa.

Apalah gunanya dia memperjuangkan hubungan muskil ini. Reza menghadapi tembok raksasa. Di sebalik tembok itulah Eily berada. Meskipun Eily selalu meyakinkannya. Selalu memperlihatkan betapa besar cinta Eily untuknya. Namun Reza merasa terlalu kerdil untuk melawan tembok keangkuhan itu sendirian. Reza sudah seringkali terpental dan jatuh dalam keterpurukan saat berhadapan dengan tembok penghalang itu.

Dia tak ingin meruntuhkan tembok itu. Dia hanya ingin bisa menaklukkannya, dengan menembus batas yang dibentangkan tembok itu. Tapi sudah saatnya menyerah pada takdir, begitu pikirnya. Tembok itu terlalu liat untuk ditembus.

Kini, Reza justru menyesali keputusannya untuk pergi. Sudah terlambat? Memang kenapa? Biarlah terlambat, Reza akan semakin menyesal jika dirinya tak pernah merasakan peyesalan yang sudah terlambat itu. Jadi biarlah sekarang Reza bergumul dengan segunung penyesalannya.

Reza ingin penyesalannya menjadi penebus kesalahannya. Membiarkan perempuan yang sangat dia cintai tergugu di ujung jalan akhir hubungan mereka. Seorang diri.

Seberkas sinar menyilaukan Reza. Dia mengerang lirih. Lalu memanggil lagi nama Eily. Kali ini dia mendengar namanya disebut. Diantara sedu sedan isakan pilu yang terdengar jauh.

“Eily…Eily…”

*

Perempuan belia namun berkepribadian matang itu menyeka seluruh air mata. Mula-mula dengan sapu tangan. Kemudian sapu tangan yang sudah lembab basah itu hanya di remas-remasnya. Sementara air mata yang terus mengalir seperti hujan deras, disekanya dengan punggung tangannya.

Dia telah telah kehabisan tenaga untuk mengeluarkan suara. Lehernya tegang. Tapi dalam isak tangisnya, masih bisa terbaca sebuah nama.

“Reza…Reza…aku mencintaimu, aku membutuhkanmu.”

Tubuhnya seperti kapal karam terdampar di batu karang. Teronggok di jalan aspal depan rumahnya. Sudah setengah jam, dia masih belum beranjak dari situ. Masih berharap sosok laki-laki muncul dari ujung jalan yang berkabut.

Langit seperti runtuh menimpa dirinya yang sekarang merasa jadi orang yang paling sendirian. Sampai lebam matanya menangis, namun laki-laki itu tak kunjung kembali.

Entah mendapat kekuatan dari mana, Eily bangkit. Terseok menyeret tubuh remuk redamnya. Dia ingin tidur. Melupakan perih di pelupuk matanya yang membengkak. Melupakan perih di sekujur hatinya. Melupakan laki-laki yang baru saja angkat kaki dari kehidupannya.

Dia ingin tidur lama sekali. Sampai dia tidak ingat sedikitpun peristiwa itu, dan seluruh kenangan yang merangkai pertemuannya dengan Reza hingga kejadian yang dialaminya tadi.

*

Siang begitu murung, mendung. Langit hanya tinggal menunggu komando alam untuk menumpahkan hujan ke bumi. Angin diam tak bergerak, mengantar pelayat terakhir meninggalkan tempat suram dimana jiwa-jiwa yang sudah meninggalkan raga bersemayam.

Reza ada di sana. Berbaring di kedalaman pusara. Kini hanya ditemani bumi, tanah tempat dia berpijak mengelana sampai ke perbatasan Atambua. Semasa hidup, Reza melarikan seluruh gundahnya dengan mendatangi tempat-tempat jauh. Menjauh secara fisik, namun nyatanya sampai dia meregang nyawa, hatinya tak pernah bisa jauh dari perempuan sumber kegundahannya.

Perempuan itu juga ada di sana. Berdiri mematung dan membiarkan hujan di matanya turun deras mendahului langit. Terus menangis tak memedulikan sebuah suara memanggil-manggil dirinya. Seperti ingin menguras habis air matanya yang tersisa. Hingga saat dia melangkahkan kaki meninggalkan pusara itu, tidak ada lagi duka berlinangan di pipinya.

“Ini adalah akhir beban deritaku selama dua tahun,” begitu bisiknya lirih entah ditujukan pada siapa.

“Selamat jalan Reza.” Eily menundukkan tubuhnya meraba nisan yang dingin, seolah dia menyentuh tangan dingin Reza terakhir kalinya  tiga hari yang lalu.

“Mamaaa, puyang,” suara cadel kanak-kanak memecah sunyi.

“Iya sayang, ayuk pulang,” Eily merengkuh tubuh bocah lucu itu ke dalam pelukannya. Membawanya pulang, setelah mengabarkan keberadaan bocah itu diam-diam kepada pusara Reza. Bocah yang turut Reza tinggalkan bersama dirinya. Buah cintanya bersama Reza.

Di ujung cakrawala, mendung menggumpal.


Waikabubak, 25 Maret 2012

MC Pengajian Umum

الحمد لله وشكر لله على نعم الله والصلا ة والسلا م على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه لا حول ولا قوة الا باالله. أمّا بعد فقد قال الله تعالى في كتابه الكريم. أعوذباالله من الشيطان الرجيم. بسم الرحمن الرحيم. لًئٍن شًكًرتٌُم لًئًزٍيدًنّكُم وًلًئٍن كًفًرتُم إٍنّ عًذًابٍي لًشًدٍيدٌ. صًدًقً اللهُ العًظٍيم

1.
 Yang kami mulyakan, Para Asatidz, Para Imam Masjid, Para Sesepuh, wabil khusus al mukarram wal muhtaram Bpk. Dr Suwendi  (Direktorat PD Pontren Kementerian Agama RI), Bapak KH Asror Muhammad (Pimpinan Pontren Kebon Jambu dari Cirebon Jawa Barat) dan Ibunda Nyai Hj. Masriyah Amva, yang insya Allah pada malam hari ini akan menyampaikan maui'dzah hasanah.

2.
 Yang kami mulyakan al-Mukarrom Bapak. Drs. H. Pua Monto Umbu Nay dan Ibu.

3.
 Yang kami mulyakan Pimpinan Majelis Taklim se Waikabubak beserta jamaahnya.

4.  Yang kami sayangi dan banggakan para santri pondok pesantren Baitul Hikmah Waikabubak.

 Untaian kata syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, Sang Maha Pengasih nan tak pernah pilih kasih, Tuhan Penyayang seluruh umat sepanjang zaman, yang selalu melimpahkan Rahmat kepada kita semua sehingga pada malam hari ini kita dapat melangkahkan kaki, mengayunkan tangan, bersambung rasa berkait hati, duduk simpuh, untuk mengikuti acara Pengajian Umum yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Baitul Hikmah Waikabubak.

Sholawat maa'ssalam tidak lupa kita haturkan kepada seorang nabi, yang tinggi martabatnya bagai langit biru membentang, indah bagai rembulan bercahaya terang, semerbak bagaikan wangi bunga melati, beliaulah nabi akhirul zaman, baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang syafa'atnya kita nantikan di hari kiamat kelak.

Hadirin Rohimakumulloh ……

Dengan senantiasa memohon Taufiq dan Hidayah serta Keridhoan Allah SWT, marilah kita buka acara Pengajian Umum ini, kita buka bersama–sama dengan membaca Ummul Kitab.

......... لرضاء الله تعالى ولشفاعة رسول الله على هذه النية وعلى كل نية صالحة الفاتحة 
Terima kasih, semoga dengan bacaan umul kitab tadi, acara pada malam hari ini dapat berjalan dengan lancar tanpa halangan suatu apapun dan dapat membuka hati kita untuk menerima ajaran Allah dan RasulNya.

Mengawali acara kita malam ini, marilah kita dengar lantunan ayat suci Al Quran yang akan dibawakan oleh ananda kita Nurmi Hermansyah.
Bapak Ibu yang saya hormati, selanjutnya mari kita bersama-sama dengan para Santriwati untuk melantunkan shalawat badar. Kami mohon kita semua untuk berdiri.

Sebelum kita menyimak mauidzoh hasanah yang akan disampaikan oleh Bapak Kyai dan Ibu Nyai yang telah jauh-jauh terbang dari Jawa ke tanah Sumba ini, marilah kita terlebih dahulu sambut sekapur sirih yang akan disampaikan oleh Pimpinan Pondok Pesantren Baitul Hikmah Waikabubak.
Kepada Al Mukarrom, Bapak Drs H. Pua Monto Umbu Nay, kami persilahkan.
Bapak Ibu, Hadirin yang dicintai oleh Allah.
Kini kita tiba di acara inti. Yakni penyampaian mauidzoh hasanah yang berturut-turut –dengan tanpa mengurangi rasa hormat kami-- akan disampaikan oleh Bapak Dr. Suwendi (salah satu pejabat inti di Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI di Jakarta)
Kemudian,  Bapak KH. Asror Muhammad akan pula memberikan wejangan-wejangannya yang amat sangat dirindukan oleh kita semua yang telah hadir di sini.
Dan Berikutnya, Ibunda Nyai Hajjah Masriyah Amva, Tak lupa kami mohon untuk menyampaikan  nasehat dan bimbingan2nya kepada kita sekalian, terutama bagi ibu-ibu majelis taklim yang sudah menanti-nanti momentum ini.

Bapak Ibu yang berbahagia, mari sambut Bapak dr Suwendi….
Terimakasih Bapak dr Suwendi yang telah memberikan siraman air sejuk bagi rohani kita.
Berikutnya, Bapak KH Asror Muhammad kami persilahkan.
Kepada Bapak KH Asror Muhammad, kami ucapkan limpah terima kasih, atas wejangan2nya yang insya Allah amat bermanfaat bagi kita sekalian.
Sebuah Puisi dari Ibunda Masriyah Amva

Telaga Indah

Telaga indah ini…
Kucipta dari air mata

Kuteteskan di setiap lara
Kuperas di setiap duka

Telaga indah ini
Melahirkan cerita legenda

Dan menjadi saksi…
Saat-saat aku peluk erat diri-Mu

Erat
Sangat Erat

Dan tak mau terpisahkan
Dan tak mau terlepaskan

Pelukan itu…
Adalah lambing ketentraman

Air mata itu…
Adalah lambing kedamaian

Sampai kini…
Pelukan itu tak pernah terpudarkan

Sampai kini…
Air mata itu tak pernah kuhentikan.


Hadirin yang berbahagia, mari kita sambut Ibunda Nyai Hajjah Masriyah Amva.
Terima kasih Ibunda. Terima kasih sedalam-dalamnya kami haturkan kepada Bapak Suwendi, Bapak KH Asror dan Ibunda Masriyah Amva yang telah sudi meluangkan waktunya untuk mengisi ruang kosong dalam sanubari kami.
Insya Allah apa yang telah Bapak dan Ibu sampaikan pada malam ini, akan senantiasa kami kenang, kami ingat dan kami praktekkan dalam kehidupan kami semua.
Tak terasa, malam semakin menebarkan hawa dinginnya, Detak jam bergerak tiada terhentikan. Ingin rasanya hati berlama-lama menuntaskan kerinduan ini. Namun sang waktu telah membatasi.
Marilah kita tutup acara kita ini dengan doa yang akan dibawakan oleh Al Ustadz, H. Makmur Rodli, BA.
Kalau ada sumur di ladang bolehlah kita menumpang mandi, kalau ada umur yang  panjang bolehlah kita berjumpa  lagi.
Tiada gading yang tak retak. Tiada sungai yang tak berriak.  Kami ucapkan terima kasih seraya memohon maaf bilamana ada kata dan sikap yang tidak berkenan.


والله الجزيل إلى أقوم السبيل
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

Ketika Hasrat Menulis Beku


Sangat sulit mempertahankan gairah untuk menulis. Terutama saat aku merasa sibuk oleh pekerjaan. Padahal sebenarnya untuk menulis tidak butuh waktu seharian. Menulis apa saja yang ringan dan terjadi di keseharian, bisa menjembatani kekosongan ide. Paling tidak bisa membuatku terhindar dari kekakuan karena terlalu lama tidak menulis sesuatu.

Kesannya jadi asal-asalan aja sih. Tapi memang inilah yang harus dilakukan agar aku bisa intens menulis. Natalie Goldberg pernah mengatakan bahwa dia terus menulis setiap hari meski tulisan itu tidak berarti apa-apa. Ia sekedar menuliskan apa yang ada di pikirannya, apa yang dilihatnya, apa yang dialaminya. Semua itu ia lakukan demi membiasakan diri menulis. Menulis secara bebas. Tidak perlu memikirkan kualitas tulisan, tidak perlu memikirkan siapa yang akan membaca tulisannya, tidak perlu memikirkan untuk apa tulisan itu dibuat. Just write.

Jadi sekarang, aku menulis tentang ini. Entah apa isinya sebenarnya. Yang jelas, ini kuibaratkan pemanasan sebelum latihan inti dalam olahraga. Sudah lama aku libur menulis. Aku sempat mengikrarkan One Day One Poetry, yang ternyata dengan sukses aku ingkari. Terakhir aku merasa menulis beneran adalah saat aku menulis Romantisme Sendu Setoples Cengkeh. Aku menjadi malas menulis berdalihkan aku harus mengikuti diklat. Lalu demi tidak kosongnya otakku, aku menulis catatan untuk adikku di sela-sela materi diklat yang membosankan itu. Dan memposting ulang cerpen SGA, penulis favoritku, yang kutemukan saat iseng browsing. Itu berarti aku hanya menulis dua catatan harian saja selama rentang waktu yang panjang itu. Aku tidak menghitung postingan cerpen SGA karena itu bukan tulisanku.

Hitung-hitung, melemaskan jari-jari yang sudah kaku. Jika saja jari-jari ini otomatis mengetikkan kalimat-demi kalimat yang terlintas di otakku, betapa senangnya. Tapi itu kan cuma khayalan saja. Menulis adalah kerja keras. Aku harus memaksakan diri. Dan mengumpulkan seluruh energiku agar bisa menulis lagi.

Aku juga ingin berterima kasih pada semua guru-guruku sejak TK sampai Perguruan Tinggi, yang mengajarkanku aksara-aksara yang jika kita pandai merangkainya dapat kita gubah menjadi tulisan yang indah dan menginspirasi. Aku lupa terlalu lama untuk menyebut jasa mereka. Meski belum apa-apa, dan belum menghasilkan apa-apa, tapi aku berkat mereka telah merasakan nikmatnya menulis.

Sudahlah...cukup meracaunya. Berdoa saja, besok satu atau dua buah cerpen bisa aku tulis. Tadi sudah mencoba, tapi urung di paragraf ketiga. Ada yang masih mengganjal di pikiranku. Seseorang yang mungkin telah completely erased me from his memory... Hallaaahh semakin ngawur saja....

Demikianlah...pemanasan ini. Maaf jika harus terpaksa membully mata anda untuk membaca tulisan nggak karu-karuan ini. Maaf satu trilyun kali.

Menemukan Tuhan


Tuhan itu dekat. Bahkan lebih dekat dari urat nadi di lehermu.

Begitulah yang tertera dalam kitab suci. Begitulah yang dikatakan oleh orang-orang suci. Orang-orang yang sejak zaman azali telah Tuhan tetapkan untuk bernafas, berjalan dan hidup sepenuhnya di jalan Tuhan. Bagi mereka, mudah sekali untuk menemukan Tuhan. Sebab sejak ruh ditiupkan ke dalam raganya, telah disemayamkan dalam detak pertama jantungnya keagungan nama Tuhan. Selanjutnya, begitu saja, mudah saja, seperti telah digerakkan oleh mesin, bibir mereka --orang-orang suci itu-- selalu basah oleh nama Tuhan.

Tapi bagi orang-orang yang pernah tersesat, orang-orang yang kehilangan jalan, orang-orang yang menyimpan tanda tanya besar akan 'wujud' Tuhan, pertanyaan dimana Tuhan adalah perjalanan panjang yang bahkan kerap menghabiskan seluruh waktu pencariannya. Tak jarang orang-orang itu, harus berjibaku, dengan perang batin dan petualangan yang mencengangkan. Dan ketika sampai pada saat mereka menemukan bahwa Tuhan selalu bersemayam di dalam dirinya, mereka telah sampai di ujung nyawa. Meski demikian, di akhir nafasnya, merekalah yang sesungguhnya paling bahagia.

Mereka adalah para pencari Tuhan. Orang yang dianugerahi jiwa penjemput hidayah. Bukan hanya sekedar menjalankan tradisi dan ritual yang telah ada sejak lahir. Mereka memilih jalan untuk menelusuri keberadaan Tuhan. Mencari kebesaran kuasa Tuhan melalui pertanyaan-pertanyaan yang menggema dalam hatinya. Lalu berjalan menyeruak keramaian orang-orang. Bercampur dengan hitam dan kerasnya kehidupan. Menghirup bau mulut orang mabuk. Berkeliaran dan melanggar aturan.
Meretas jalan terjal yang mungkin menghantarkan dirinya kepada penemuan akan kehadiran Tuhan.

Di saat mereka tenggelam dalam wilayah yang dianggap hitam, justru mereka sesungguhnya tengah meneriakkan nama Tuhan. Tengah berbicara dan memohon, Tuhan temukan aku... Tuhan bawalah aku dalam rengkuhanMu...Tuhan jangan tinggalkan aku.

Berbahagialah mereka yang tidak pernah mengalami, apa yang sering orang sebut sebagai jalan sesat. Namun sejatinya, orang yang pernah tersesat saat mencari kebenaran, yang tersaruk-saruk menemukan Tuhan, adalah mereka yang lebih disayang oleh Tuhan...atas semua yang telah mereka lalui.

Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta


Pada sebuah telepon umum, seorang wanita berbicara dengan wajah gelisah.
“Katakanlah sekali lagi, kamu cinta padaku.”
Mendengar kalimat itu, orang yang mengantre di belakangnya memberengut, sambil melihat arlojinya. Pengalaman menunjukkan, orang tidak bias berbicara tentang cinta kurang dari 15 menit. Namun, sungguh terlalu kalau wanita itu masih juga bertanya tentang cinta setelah 30 menit. Apalagi sudah ada beberapa orang berdatangan ke telepon umum itu, sambil sengaja mengecrek-gecrekkan koin di tangannya.
“Kamu benar-benar cinta padaku? Sampai kapan?”
Orang-orang mendengar kalimat itu dengan jelas. Wanita yang menelepon dengan wajah gelisah itu memang terlihat berusaha menahan suaranya, tapi rupanya perasaannya berteriak lebih keras. Menjadi tidak penting lagi baginya, apakah orang-orang itu mendengar atau tidak. Mereka toh tidak tahu siapa dirinya. Di kota besar seperti ini, kita tidak selalu bertemu orang yang sama di jalanan. Begitu juga di telepon umum.
“Kamu gombal, kamu juga mengatakan hal yang sama pada pacar-pacarmu.”
Wanita itu melirik kea rah orang-orang yang menunggu, kemudian melihat arlojinya, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia bukan tidak tahu tentang waktu yang dihabiskannya. Tapi, kemudian ia menyembunyikan wajahnya ke dalam kotak kuning, berbicara pelan-pelan dan tersendat-sendat. Barangkali lelaki di seberang sana itu memberikan jawaban yang kurang berkenan.
“Aku Cuma salah satu di antara mereka, aku Cuma salah satu dari wanita-wanita itu, aku tidak ada artinya bagimu.”
Wajah wanita yang tadi gelisah itu kini tampak menderita. Matanya penuh cinta, tapi memancarkan rasa takut kehilangan.
“Ternyata kamu bohong, kamu tidak mencintaiku,” katanya.
Para pengantre berdecak-decak gelisah. Mulut mereka memperdengarkan bunyi ‘ck’ yang sengaja dikeras-keraskan. Sebagian menggeser-geser dan menghentak-hentakkan sepatunya. Sebagian, untuk kesekian kalinya, melihat arloji. Sebagian lagi terus terang menggerutu.
“Siang-siang panas begini bicara tentang cinta, seperti tidak ada waktu lain.”
“Terlalu.”
“Sudah setengah jam.”
“Kalau pergi ke telepon umum yang di sana, sudah sampai dari tadi, tapi sekarang jadi tanggung!”
“Berapa lama lagi dia selesai?”
“Ini sudah setengah jam.”
“Paling lama sepuluh menit lagi, dia kan tahu dari tadi kita menunggu.”
“Saya Cuma perlu menelepon setengah menit, penting sekali.”
“Saya juga Cuma sebentar, tapi penting sekali.”
“Saya harus segera telepon, sangat penting, kalau tidak, saya bisa celaka.”
***
Kemudian, terdengar suara wanita itu, yang tanpa disadarinya sudah menjadi jauh lebih keras.
“Kamu ini bagaimana, sih? Kamu tahu kan aku sayang padamu, aku selalu kangen padamu. Aku cinta sekali padamu, kamu jangan begitu, dong!”
Wanita itu sudah memasukkan koin lagi, dua sekaligus. Artinya percakapan masih akan berlangsung, setidaknya 12 menit lagi. Kalau setelah itu masih juga bicara, sungguh-sungguh keterlaluan, karena pengantre yang paling dekat dengannya sudah menunggu selama 42 menit. Sebagian orang yang datang belakangan sudah pergi. Mereka bisa memperkirakan waktu yang lama melihat banyaknya para penunggu. Namun, yang sudah terlanjur menunggu lama agaknya merasa rugi jika pergi. Mereka masih menunggu dengan wajah yang disabar-sabarkan.
“Aku ingin yakin bahwa kamu memang cinta padaku. Aku harus yakin kamu memang cinta, kamu memang sayang, kamu memang selalu memikirkan aku. Apakah kamu selalu memikirkan aku? Katakan padaku kamu cinta, cinta, cinta…”
Apakah yang dikatakan lelaku di telepon sebelah sana? Wanita yang menelepon dengan wajah gelisah itu kini untuk pertama kalinya tersenyum. Pasti yang disebut cinta itu ajaib sekali, karena bisa menelusuri kabel telepon dan mengubah wajah seorang wanita yang gelisah jadi bahagia. Menjadi cantik, dan menyegarkan, meski di siang panas terik yang melelehkan aspal jalanan. Mata wanita itu berbinar-binar, bagaikan mata kanak-kanak di sebuah dunia fantasi.
Pemandangan ini agak melegakan para pengantre. Pasangan yang bercinta di telepon biasa memutuskan percakapan mereka pada saat-saat terbaik. Mata wanita itu menunjukkan kebahagiaan. Pada saat seperti itu ia bisa berpisah di telepon dengan senang, dengan perasaan seolah-olah dunia sudah menjadi miliknya. Tinggal sebentar lagi, pikir orang-orang yang menunggu itu, sambil lagi-lagi melihat arlojinya.
“Satu koin lagi, ya? Ngomong cinta lagi, dong.”
Meluncur satu koin lagi. Berarti enam menit lagi. Orang-orang mengerutkan dahi. Alangkah memabukkannya cinta yang bergelora itu. Tapi, sudahlah, enam menit bukan waktu yang lama.
“Kamu masih akan mencintaiku kalau aku sudah tua?”
“Kamu masih akan mencintaiku, meskipun ada seorang wanita cantik merayumu?”
“Benarkah cuma aku seorang di dunia ini yang ada di dalam hatimu?”
“Masih cintakah kamu pada istrimu?”
***
Semua orang menoleh. Wajah wanita itu sudah gelisah lagi.
“Masih cintakah kamu pada istrimu?”
Meluncur lagi satu koin.
“Gila! Hampir satu jam!” Seseorang berteriak dengan marah.
“He! Mbak! Ini telepon umum! Gantian, dong.”
Pengantre yang paling lama mendekatkan kepalanya ke kotak kuning, sengaja memperlihatkan dirinya di depan mata wanita itu, sambil mengetuk-ngetukkan koinnya dari luar kotak. Wanita itu berkata pada yang diteleponnya.
“Sebentar, sebentar.”
Lantas ia mendekapkan telepon itu ke dadanya, dan berkata pada pengantre yang terdekat dengannya.
“Maaf, sebentar lagi, ya, Pak? Sebentaaar saja.”
Kemudian, ia menolehkan kepalanya ke arah lain. Berbicara setengah berbisik, maunya, karena yang terjadi adalah ia berteriak tertahan.
“Katakan yang jelas, apakah kamu masih mencintainya?”
Angin berhembus. Mega menutupi matahari. Langit mendung.
Orang-orang yang menunggu hanya melihat wanita itu mengeluarkan tissue dari tasnya, dan mulai mengeluarkan ingus. Matanya basah.
“Kamu masih tidur dengan dia?”
Orang yang berada di dekatnya menjauh. Mencari tempat untuk duduk. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, selain menunggu. Angin makin kencang berhembus. Daun-daun berguguran.
“Kamu kok bisa, sih? Kamu terga sekali padaku. Sebetulnya kamu tidak mencintai aku.”
Seseorang pura-pura batuk, mengingatkan, tapi wanita itu sudah tidak peduli. Ia meluncurkan satu koin lagi.
“Apa sih artinya aku buat kamu? Apa sih artinya aku?”
Wanita itu membuang tissue ke bawah, dan mengambil lagi tissue yang lain. Sambil menjepit telepon dengan kepalanya, ia mendenguskan ingusnya. Tiada yang lebih sendu selain wanita yang menangis karena cinta.
“Jadi, kamu bisa mencintai lebih dari satu orang? Kamu bisa mencintai dua orang sekaligus?”
Ia seorang wanita yang cantik, menarik, dan indah. Wajahnya gelisah dan sendu, tapi ini membuatnya semakin lama semakin indah. Apakah cinta yang membuat seorang wanita menjadi indah? Mungkinkah seorang wanita menjadi indah tanpa cinta? Apakah artinya cinta bagi seorang wanita?
“Jadi, apa artinya hubungan kita? Apa artinya?”
Debu cinta bertebaran. Suatu ketika di suatu tempat, entah kapan dan di mana, seseorang bisa begitu saja saling jatuh cinta dengan seseorang yang lain. Ah, ah, ah-lelaki macam apakah kiranya yang berada di seberang telepon itu, yang telah membuat seorang wanita yang indah menjadi gelisah?
“Apa sih artinya cinta untukmu? Coba jelaskan padaku. Apa sih artinya cinta?”
Jeglek! Tuuuuuuttt…
Koinnya habis. Hubungan pun terputus. Wanita itu tertegun. Ia merogoh dompetnya. Tak ada lagi koin di sana. Ia banting gagang telepon itu dengan kesal.
Pengantre yang sejak tadi menunggu segera menyerobot dengan setengah memaksa. Pengantre yang lain pun mendekat dengan wajah mengancam. Semua orang punya keperluan penting. Tak seorang pun peduli dengan wanita itu, yang setelah menukarkan uang kertasnya dengan setumpuk koin di kios rokok, segera ikut menunggu kembali, meskipun hujan kini turun dengan deras.
Wanita indah yang wajahnya gelisah itu tidak lari berteduh-ia tetap menunggu, sampai basah kuyup. Ia juga punya keperluan penting. Ia masih menyimpan sebuah pertanyaan untuk cinta.
Taman Manggu, 21 Maret 1993
Seno Gumira Ajidarma

Selamat Ultah Liz....



Liz......ini teteh. Dari jauh mengucapkan selamat padamu atas usiamu yang bertambah satu. Atau berkurang satu dari jatah usiamu di dunia ini....

Masih kuingat dulu, dua puluh tiga tahun yang lalu. Sosokmu yang lucu menggemaskan, membuat aku diam-diam bangga memiliki seorang adik sepertimu. Pipi gembil kemerahan seperti tomat yang dijual di pinggir jalan sepanjang Lembang. Rambut hitam lebat panjang berponi. Tawamu yang lucu. Dan matamu yang sedikit sipit sehingga semua orang di sekitar kita memanggilmu Oshin.

Mungkin dirimu tak pernah tahu, aku meskipun diam-diam membanggakan dirimu, namun pernah sesekali aku mencubitmu. Bukan karena gemas, tapi karena jengkel ketika dirimu yang masih kanak-kanak itu menangis meminta perhatianku. Lalu suaramu yang melengking membuat Mamah, memarahiku. Ketika itu, aku hanya bisa memendam sebel, yang kini sudah berubah menjadi sebuah kenangan yang membuatku senyumku simetris.

Sebagai kakak, menggendong tubuhmu yang mungil dan lucu, sungguh menyenangkan. Seperti menggendong boneka barbie yang tak pernah aku miliki. Sebuah pengalaman yang kemudian aku temukan kembali sensasinya tatkala aku menimang anak-anakku. Salah satunya yaitu yang kedua, pada suatu saat tertentu, seperti menjelma menyerupai dirimu saat bayi dulu.



Lama waktu berlalu. Mengubah sosokmu menjadi seorang gadis. Dan aku seorang ibu yang beranjak menjadi perempuan paruh baya. Apa yang bisa ku perbuat untukmu, tanya batinku saat memandang tubuhmu yang semampai dan wajahmu yang selalu menyiratkan kemanjaan. Lalu terjadilah peristiwa yang tak kan pernah kulupakan seumur hidupmu. Sebuah pertemuan yang mungkin mengakibatkan air matamu sulit kering tahun terakhir ini.

Kadang aku menyesali mengapa aku harus ceroboh dan terlalu yakin bahwa keinginanku juga keinginanmu, akan menemukan akhir bahagia. Happy ending ever lasting. Tapi kenyataan berbicara lain. Dirimu harus terluka oleh uluran tanganku. Dan tak berhenti hatiku menyalahkan diriku atas itu, hingga aku tak pernah punya keberanian untuk berbicara denganmu bahkan sampai saat ini.

Adikku....
Maafkan kakakmu ini. Sepanjang hidupmu yang telah mencapai seperempat abad, mungkin aku tak pernah berhasil membuat dirimu tersenyum bahagia dan bangga menyebut namaku dan mengatakan itulah kakakku. Entah mungkin jejak kenangan yang terekam dalam sanubarimu hanyalah jejak-jejak lusuh dan kotor yang tak indah untuk kau kenang.

Namun meskipun begitu, izinkanlah kakakmu ini mendoakan keselamatanmu, kebahagiaanmu, kesuksesanmu di masa yang akan datang. Karena hanya doalah yang bisa aku berikan untukmu. Hanya kepada Tuhan Yang Maha Memberi-lah aku titipkan dirimu. Semoga Dia selalu mengiringi setiap desah nafas dan kedipan matamu. Menaburimu dengan kasih sayang yang tak sempat aku curahkan kepadamu. Dan melindungi perjalananmu mengarungi kehidupan di sisa usiamu.

Selamat adikku. Engkau kini sudah bukan lagi kanak-kanak. Kini dirimu adalah seorang perempuan dewasa. Tak lama lagi, di sisimu akan ada lelaki tepat yang akan selalu merasa dirimulah perempuan terbaik di dunia ini.


Puisi-Puisi Chairil Anwar


Semasa kanak-kanak dulu, ketika masih duduk di bangku kelas 4 SD, saya tersihir oleh puisi Diponegoro gubahan Sang Pujangga Indonesia, Chairil Anwar. Saya seolah dirasuki semangat berperang yang disebarkan oleh bait teraakhir puisi itu. Untuk bocah sekecil itu, kata:
Maju
Serbu
Serang
Terjang, itu terasa sangat magis. Masih ingat betul rasanya saat saya membaca kata-kata itu. Merinding.

Tapi tak lama kemudian, sebagaimana bocah lainnya, saya kembali sibuk dengan bermain, bercanda dan main gila. Saya lupa dengan puisi itu. Sampai saat saya harus memberikan kelas puisi pada anak-anak santri Ponpes Baitul Hikmah, saya harus menelusuri lagi ingatan-ingatan saya tentang puisi yang pernah saya baca. Puisi Diponegoro ini salah satunya. 

Ada baiknya bagi saya, untuk mengumpulkan puisi-puisi Chairil Anwar yang pernah saya tahu, saya baca dulu, agar saya sesekali bisa menyedot semangat darinya dengan mudah. Terutama di usia saya seperti sekarang ini, yang sudah sering merasa letih.



PUISI KEHIDUPAN

Hari hari lewat, pelan tapi pasti
Hari ini aku menuju satu puncak tangga yang baru
Karena aku akan membuka lembaran baru
Untuk sisa jatah umurku yang baru
Daun gugur satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Umurku bertambah satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Tapi… coba aku tengok kebelakang
Ternyata aku masih banyak berhutang
Ya, berhutang pada diriku
Karena ibadahku masih pas-pasan
Kuraba dahiku
Astagfirullah, sujudku masih jauh dari khusyuk
Kutimbang keinginanku….
Hmm… masih lebih besar duniawiku
Ya Allah
Akankah aku masih bertemu tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Akankah aku masih merasakan rasa ini pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Masihkah aku diberi kesempatan?
Ya Allah….
Tetes airmataku adalah tanda kelemahanku
Rasa sedih yang mendalam adalah penyesalanku
Astagfirullah…
Jika Engkau ijinkan hamba bertemu tahun depan
Ijinkan hambaMU ini, mulai hari ini lebih khusyuk dalam ibadah…
Timbangan dunia dan akhirat hamba seimbang…
Sehingga hamba bisa sempurna sebagai khalifahMu…
Hamba sangat ingin melihat wajahMu di sana…
Hamba sangat ingin melihat senyumMu di sana…
Ya Allah,
Ijinkanlah



PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !


AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi


KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi


HAMPA

kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti


SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah 


DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang


CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.


YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku


PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh


DERAI DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah



SENJA DI PELABUHAN KECIL 

buat: Sri Ajati 
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap