Hujan dan Kenangan Tentangmu





Saat itu hujan sedang berkunjung
Di tengah desau sabana yang kering dan parau
Kecipak belalang di dahan ilalang menempiaskan butirannya yang berkilau
Kau berdiri di ujung lekuk bukit yang landai
Melangkahkan kaki berbekal seulas senyum yang kau reka sejak pagi
Lalu kita bertemu dan berpisah kembali
Setelah kucecap bibirmu berulang kali
Dalam hati

Kemarin dulu gerimis datang lagi
Menuntunku menelusuri aroma tanah basah yang kau sisakan
Ketika ujung sepatumu menjejakkan tapak pada lukisan hujan
Aku mencium bau lelaki dari semilir angin yang sepertinya tak mau pergi sejak itu hari
Kuhisap kuhirup kualirkan bersama rinai hujan yang menelusup di pori-pori
Dirimu bersenyawa dalam geletar nadi
Aku merasa mencintaimu lagi

Tetiba hujan jatuh begitu saja
Seperti paham betapa rindu bergulung-gulung membuncah-buncah rasa
Dadaku basah oleh air mata lalu kuputuskan untuk menyamarkannya dari pandangan orang
Kilat berkelebat jauh di tepi cakrawala sewaktu rambutku basah
Pundakku basah punggungku basah pinggulku basah tungkaiku basah
dan telapak kaki dalam sepatuku basah
Aku terseok seraya menyajakkan asmara yang ditikam duka
Hujan membeberkan kenangan di genangan yang meluap-luap di comberan

Esok lusa hujan kan kembali lagi
Aku masih saja bergelut kenangan yang bergeming
Diantara bau tubuhmu yang meruap, jejak tanah basah dan sederet puisi

Al Qur'an, Oasis di Tengah Gurun Gersang




Ada peristiwa yang berulang kali diceritakan oleh atasan saya di kantor. Begitu melekatnya ekspresi wajah Beliau ketika mengisahkan pengalamannya ketika menjadi Dewan Hakim pada event Musabaqah Tilawatil Qur’an Tingkat Propinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang pada tahun 2006 di Kupang. Al kisah, ada seorang anak peserta Tahfidzul Qur’an (penghafalan Al Qur’an) yang berusia kurang lebih 13 tahun mengalunkan ayat-ayat suci Al Quran dengan kemerduan dan kebeningan suaranya yang masih murni. Sudah sering kita mendengar Al Qur’an dibaca, namun begitu suara polos itu melantunkan ayat suci yang telah dikuasainya di luar kepala, sontak seluruh Dewan Hakim saat itu berlinangan air mata mengagumi kefasihan dan keindahan bacaan anak tersebut. Begitu beliau menuturkan kisahnya.

Keberadaan Tahfidzul Qur’an pada pelaksanaan MTQ di NTT, bisa dikatakan masih seumur jagung. Karena baru pada saat MTQ terakhir itulah diadakan Tahfidzul Qur’an. Satu hal yang cukup memprihatinkan, karena bila kita menoleh ke propinsi lain, maka banyak kita dapati generasi muda yang penghafal Qur’an atau dikenal dengan sebutan para Hufadz. Fenomena munculnya Tahfidzul Qur’an akhir-akhir ini menorehkan sedikit harapan bahwa akan muncul generasi Qur’ani di tengah gersangnya alam rohani umat Islam di NTT.

Betapa tidak, sangat sedikit umat Islam yang melek Al Qur’an, sebab kebanyakan kaum awam yang tidak mengenyam Pendidikan Agama Islam secara intensif baik di lembaga formal maupun informal dan non formal, hanya mengenal beberapa bacaan surat pendek yang sehari-hari digunakan untuk sholat dan ditambah surat Yasin yang sering digunakan untuk mengisi acara dalam hampir semua pengajian yang diselenggarakan di majlis-majlis ta’lim. Padahal Al Qur’an terdiri dari 114 surat yang di dalamnya terdapat semua pedoman dan petunjuk yang dibutuhkan  umat Islam. Maka dapat kita bayangkan seperberapanya mereka  membaca dibandingkan dengan seluruh isi Al Qur’an. Sayangnya, dari sedikit umat Islam yang dapat membaca Al Qur’an dengan baik pun masih kurang membiasakan membaca Al Qu’an sebagai amalan harian untuk mencintai Al Qur’an sebagaimana yang dianjurkan Rasulullah SAW. Maka tinggallah segelintir orang saja yang masih setia untuk mendawamkan (membiasakan diri untuk secara rutin) membaca Al Qur’an di rumahnya masing-masing ataupun di masjid dan majlis-majlis ta’lim. Dan kitapun dapat memperkirakan berapa orang yang mau mengajarkan Al  Qur’an kepada umat Islam lainnya.

Maka wajarlah jika para Dewan Hakim pada pelaksanaan MTQ di Kupang itu berlinangan air mata mendengar alunan ayat suci yang keluar dari mulut salah seorang pesertanya. Air mata yang menyiratkan banyak perasaan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata. Kekaguman akan kefasihan dan kemerduannya. Keirihatian terhadap kemampuannya menghafal Al Qur’an pada saat umurnya yang masih belia. Kerinduan akan semerbaknya bacaan Al Qur’an yang dilantunkan oleh umat Islam di seantero NTT. Dan kesyahduan akan agungnya Firman-firman Allah dalam Al Qur’an.

Pentingnya mengenal dan mencintai Al Qur’an dapat diupayakan melalui pengajaran-pengajaran membaca Al Qur’an yang dilakukan oleh orang tua secara langsung ataupun  melalui pengajaran yang diselenggarakan oleh Taman Pendidikan Al Qur’an sedini mungkin. Sebab seringkali ditemui, keterlambatan mengajarkan Al Qur’an pada anak akan berakibat anak tidak dapat memunculkan kecintaannya akan Al Qur’an, Sehingga dampaknya lebih jauh, anak enggan manakala orangtua menyuruhnya untuk mempelajari Al Qur’an. Sayangnya, masih banyak  sekali orang tua yang lupa untuk memberikan  pengajaran Al Qur’an kepada anak-anaknya.

Sejatinya, pengajaran Al Qur’an akan lebih efektif bila dilakukan oleh orang tua secara langsung. Tentu kita sudah maklum bahwa anak adalah peniru orangtuanya. Dengan sifatnya yang demikian, anak-anak akan lebih mudah untuk menyerap pengajaran Al Qur’an yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Namun jarang orang tua yang berkesempatan untuk melakukannya. Ada dua  faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, yaitu  pertama, kesibukan atau keengganan bagi orangtua yang sebenarnya mampu mengajarkan Al Qur’an kepada anak-anaknya dan  yang kedua, ketidak tahuan orang tua itu sendiri untuk membaca Al Qur’an sehingga pengajaran membaca Al Qur’an kemudian diwakilkan kepada guru mengaji atau ustadz.

Beberapa contoh hidup menggambarkan betapa pendidikan yang dilakukan secara langsung oleh orangtua kepada anaknya sendiri sangatlah berpengaruh kuat dan menjadi pegangan  si anak dalam menjalani hidupnya. Adalah Dr. Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, dia baru berusia 5 tahun tatkala menghafal Al Qur’an dan sekaligus dengan maknanya. Pada saat ia berusia 7 tahun dia mendapatkan gelar doktor kehormatan dari salah satu Universitas di Inggris. Anak pertama di Iran –dan bisa jadi di dunia-- yang mampu menyampaikan semua keinginannya dan percakapannya dengan mempergunakan ayat-ayat suci Al Qur’an. Kemampuan telah diuji oleh para hufadz, mufassirin, syaikh dan jamaah lain dari seluruh negeri Iran. Sang ayah, menuturkan bahwa ia telah mengajarkan anaknya itu Al Qur’an sejak ia berusia 2 tahun 4 bulan. Dengan merendah ia mengatakan bahwa “Sebenarnya saya sebagai ayah tidak pantas berpesan sebagaimana yang anda inginkan. Tetapi disini saya atas nama pengajar Al Qur’an akan berpesan kepada Bapak Ibu bagaimana saya mengajarkanAl Qur’an kepada anak saya. Yaitu pada awalnya para Bapak Ibu sendiri harus memiliki perhatian khusus terhadap Al Qur’an. Di rumah harus sering membaca Al Qur’an. Kalau tidak, jangan harap anak akan menjadi penghafal Al Qur’an, menjadi qari yang mampu memahami Al Qur’an. Saya di rumah membiasakan berbicara dengan bahasa Al Qur’an dengan Husein dan ibunya, apalagi sebagai hafidz kami harus membaca 2 juz kurang lebih. Selaras dengan keahliannnya di dunia, dia (Husein) berada di lingkungan rumah yang Qur’ani. Berdialogpun dengan al Qur’an, maka iapun mengikutinya. Maka pelajarilah Al Qur’an”. Subhanallah.

Kita mungkin tidak dapat meniru sepenuhnya si anak ajaib Husein Thabathaba’i, yang memperoleh “keajaiban”nya dari didikan orang tuanya sendiri di rumah yang mengajarkan dia untuk membaca, menghafal dan berdialog dengan menggunakan Al Qur’an. Namun bukan lantas kita apriori terhadap kisah tersebut,  paling tidak, kita bisa meneladani untuk mulai menanamkan pemahaman kepada anak-anak kita dan anggota keluarga kita untuk mencintai Al Qur’an, karena ternyata Husein memperoleh keahliannya itu dari hasil didikan orang tuanya dan bukan semata-mata karena ia genius. Dan hal itu harus dimulai dengan mengajarkan membaca Al Qur’an. Tentu saja, kita bisa mengajarkan membaca Al Qur’an kepada anak-anak kita jika kita sendiri bisa membaca Al Qur’an dan yang terpenting kita harus menyisihkan waktu kita untuk itu. 

Bagi orang tua yang karena satu dan lain hal tidak dapat mengajarkan Al Qur’an kepada anak-anaknya, satu-satunya harapan yang dapat mewujudkan keinginan agar anaknya tumbuh sebagai generasi yang Qur’ani adalah dengan mewakilkan pengajaran Al Qur’an tersebut kepada guru mengaji atau ustadz. Kini dengan berkembangnya pendidikan agama, bermunculanlah Taman-taman Pendidikan Al Qur’an. Dengan mengadopsi metode pengajaran Al Qur’an yang modern dan mudah difahami oleh anak-anak, Taman Pendidikan Al Qur’an yang lebih dikenal dengan sebutan TPA/TPQ menjadi suatu wadah bagi proses pembentukan generasi Qur’ani yang komperhensif di Indonesia khususnya di NTT. Keberadaannya menjadi the one and only place untuk menciptakan anak yang memiliki kemampuan membaca Al Qur’an sejajar dengan anak-anak lain di Nusantara.

Kenapa demikian? Mari kita lihat. Selain TPQ, tempat mana saja yang dapat menjadi wadah bagi anak kita untuk belajar Al Qur’an? Sekolah mungkin mengajarkan Pendidikan Agama Islam namun dengan terbatasnya jam pelajaran pada mapel Pendidikan Agama Islam, maka sangat sulit bagi guru untuk mengajarkan baca tulis Al Qur’an dengan intensif. Sebab selain kurikulum untuk Pendidikan Agama Islam telah ditetapkan dengan berbagai muatan keislaman yang beragam, mengajarkan Al Qur’an tak cukup hanya seminggu sekali saja. Sangat tidak menjanjikan menyerahkan pengajaran Al Qur’an kepada sekolah semata.

Masih ada pondok pesantren. Di tempat ini, pengajaran Al Qur’an mendapatkan porsi yang utama dan pertama. Sebab pada dasarnya pondok pesantren adalah sebuah tempat menempa ilmu agama Islam yang sumber utamanya adalah Al Qur’an. Namun bagi umat Islam di NTT, pondok pesantren serasa masih asing terdengar di telinga. Bagi banyak orang barangkali pondok pesantren masih terlalu utopia. Kesan bahwa pondok pesantren adalah tempat dimana waktu hanya diisi dengan belajar, mengaji dan beribadah saja membuatnya jarang mendapat tempat di hati orang tua yang kelewat kuatir anaknya tidak akan mampu menerima beban sedemikian sarat. Namun permasalahannya sebenarnya bukan itu, karena keberadaan pondok pesantren di NTT masih bisa dihitung dengan jari, dan dari semuanya itu mungkin hanya satu dua saja yang benar-benar kredible disebut sebagai pondok pesantren.

Maka dengan kondisi demikian, layaklah bila TPQ disebut sebagai the one and only place. Sekilas memprihatinkan memang. Namun, patut kita beri acungan jempol kepada TPQ-TPQ yang ada di NTT, yang di tengah derasnya arus globalisasi dan minimnya perhatian orang tua terhadap pendidikan agama, ia hadir bak oasis yang menyegarkan dahaga di tengah kegersangan.

Di tengah derasnya era globalisasi, masyarakat kita cenderung rentan untuk tergerus dan hanyut dalam dampak globalisasi yang negatif. Hantaman era keterbukaan yang kadangkala mengancam dekadensi moral sangat mudah mempengaruhi orang yang kurang pendalamannya terhadap agama. Belum lagi arus pergaulan masyarakat yang karena asimilasi budaya menjadi berbaur sedemikian rupa, menyebabkan batasan-batasan agama rapuh dan mudah dilanggar.

Gerangan langkah apa yang bisa kita  lakukan untuk menepis itu semua? Tak lain dan tak bukan, sesegera mungkin kita budayakan gerakan cinta Al Qur’an. Dengan membaca, menghayati dan intens mengamalkan ajaran-ajaran yang terdapat Al Qur’an, maka insya Allah  kita dapat membentengi diri kita dan anak-anak kita dari gencarnya krisis moral yang dapat mengikis kualitas generasi muda kita. Kita tentu tidak menginginkan memiliki anak yang rohaninya kering dari penghayatan agama. Kita tentu tidak mau mendapati suatu saat anak kita terpapar pengaruh salah pergaulan. Kiranya, hanya dengan mencintai Al Qur’an sajalah kita dapat menaruh harapan bahwa kelak anak-anak kita menjadi generasi yang high quality, sholeh dan menjadi kebanggaan. Ingatkah kita akan Firman Allah yang menjanjikan kemuliaan bagi siapa saja yang mau mempelajari Al Qur’an dan mengamalkannya?!

Alangkah indahnya kehidupan kita, bila dalam setiap langkah senantiasa ada ayat-ayat Al Qur’an yang mengalun dari mulut dan hati kita. Betapa tentramnya kita manakala kita mengetahui anak-anak kita tumbuh menjadi generasi yang mencintai Al Qur’an sekaligus mencintai ajaran yang terkandung di dalamnya.




Keluarga Sakinah, Keluarga Sejahtera Lahir Batin




Keluarga sakinah merupakan keluarga yang sangat didambakan oleh setiap umat Islam. Sakinah berarti tenang, terhormat, aman, memperoleh pembelaan dan penuh kasih sayang. Keluarga sakinah merupakan kondisi yang sangat ideal dalam kehidupan berumah tangga. Karena itu ia tidak terjadi secara instan dan mendadak, melainkan lahir dari suatu upaya serius dan memerlukan waktu serta pengorbanan terlebih dahulu dan harus ditopang oleh pilar-pilar yang kokoh.

Membangun keluarga sakinah dimulai jauh sebelum sebuah akad nikah diucapkan oleh mempelai pria. Sebab,  bagaimana sebuah hubungan dijalin dalam rangka menyongsong mahligai rumah tangga, menentukan apakah keluarga yang baru dibangun itu sakinah atau tidak.  Keluarga sakinah merupakan sub sistem dari sistem sosial menurut Al Qur'an. Bukan bangunan yang berdiri diatas lahan kosong. Seluruh unsur dan aspek serta proses yang melandasi sebuah rumah tangga mesti bertolak dari nilai-nilai  Al Qur'an.

Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, di Sumba Barat telah berkiprah suatu lembaga semi pemerintah yang dibentuk dan ditetapkan oleh Bupati Kabupaten Sumba Barat yakni Badan Pembinaan, Penasehatan dan Pelestarian Perkawinan atau biasa disingkat BP4. Lembaga ini diberi tugas dan wewenang dalam hal pembinaan terhadap keluarga-keluarga Muslim di wilayah Sumba Barat.

Seperti yang telah kita maklumi bersama bahwasanya keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Jika kita hendak membangun masyarakat maka hal terpenting yang harus kita lakukan pertama kali adalah membangun keluarga terlebih dahulu. Dalam hal ini, membangun keluarga berarti mempertinggi mutu perkawinan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah. Dengan demikian tugas BP 4 Kabupaten Sumba Barat tidaklah bisa dibilang mudah, sebab pembinaan terhadap keluarga-keluarga muslim tersebut diharapkan mampu menjadikan keluarga sebagai agen-agen perubahan yang bisa memberi implikasi positif terhadap pembangunan masyarakat.

Membangun masyarakat harus dilaksanakan secara proporsional antara membangun kesejahteraan material maupun spiritual. Kesejahteraan material justru seringkali menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan moral, etika, akhlak dan religi suatu masyarakat apabila secara spiritual terjadi kemerosotan.Seperti halnya kondisi material, kondisi spiritual pun mengalami pasang surut dan fluktuasi yang up and down.  Oleh karenanya pembangunan spiritual perlu mendapat perhatian yang lebih serius lagi.

Keluarga yang sejahtera secara material belum tentu menjadi keluarga yang sakinah, yang bahagia. Penyalahgunaan obat, alkohol, perjudian, seks bebas dan penyakit kemasyarakatan hedonis lainnya dapat menyebabkan keluarga menjadi rentan terhadap kehancuran. Bukan suatu ekspektasi yang ingin kita raih bukan?

Maka nilai-nilai agama merupakan drug of choice (obat manjur) dalam melindungi keluarga dari krisis dan ancaman penyakit hedonisyang serba permisif, dalam upaya membangun keluarga sakinah yang sejahtera.

Sebagai masyarakat yang memiliki nilai dan kultur yang sarat asimilisi budaya, keluarga muslim di Sumba Barat berada tepat di tepi jurang kemerosotan akhlakul karimah. Ini dapat kita cermati    dari banyaknya keluarga yang mengalami kasus kehamilan di luar nikah, pertikaian antara keluarga,  orang yang mengkonsumsi alkohol,  perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lain. Kelengahan dan minimnya kesadaran individu muslim untuk menerapkan nilai-nilai Ilahiah dalam kehidupan sehari-hari berpotensi besar untuk menggiring masyarakat menjadi masyarakat yang kering iman dan keyakinannya terhadap ajaran Islam. Kondisi tentu memprihatinkan karena kekeroposan iman menjadi pintu gerbang segala perbuatan yang amoral, tak beretika dan cenderung melawan hukum serta tatanan sosial yang ada.

Hanya dengan menerapkan nilai-nilai agama secara kaffah (menyeluruh) dan secara intensif, kekeroposan iman dapat dicegah. Hal ini bisa diwujudkan bilamana para tokoh agama, lembaga-lembaga agama dan setiap keluarga mengambil sikap proaktif menanggulangi secara dini setiap unsur-unsur yang mengikis iman dan moral masyarakat.

Pembinaan dan penyuluhan agama sangat diperlukan tidak hanya untuk menanamkan kebiasaan beribadah secara ritual belaka. Namun lebih dalam lagi, pembinaan dan penyuluhan mesti menyentuh sisi dimana para keluarga dan masyarakat harus memahami nilai-nilai ilahiah dalam seluruh lingkup kehidupan sosial kemasyarakatan. Bila sekarang minum alkohol bagi kalangan muslim telah dinilai wajar, seks di luar nikah dianggap biasa dan kekerasan dalam rumah tangga hanya dipandang bumbu rumah tangga, maka sesungguhnya nilai-nilai agama yang tertuang dalam Syariat Islam telah diremehkan. Lalu kemana perginya manfaat sholat, puasa  dan zakat serta haji sementara ini? Ataukah masih banyak kaum Muslim yang enggan melaksanakan ibadah ritual tersebut sehingga kemudian merasa tidak terbebani untuk melakukan tindakan-tindakan yang amoral. Wallahu a'lam

Di sisi lain, membangun masyarakat di bidang material pun masih mengalami hambatan yang tidak bisa dianggap enteng. Sumba Barat merupakan daerah tertinggal yang sumber daya alam dan manusianya masih sangat minim. Meski pelan-pelan pembangunan mulai menggeliat namun hasilnya baru dapat dirasakan oleh segelintir orang saja. Masih banyak masyarakat yang tinggal di desa-desa, di tepian bukit dan pantai belum terjamah oleh pembangunan. Dapat dibayangkan pula bagaimana sisi spiritualnya dapat mengalami perkembangan yang signifikan, sementara pembangunan materialpun masih jauh dari bayangan.

Buta aksara, rendahnya pendidikan, rawan gizi dan minimnya sarana pra sarana yang dapat meningkatkan taraf hidup mereka, mengindikasikan bahwa membangun masyarakat yang sakinah mesti berangkat dengan meningkatkan kualitas hidup mereka. Sebagai contoh, Sumba Barat memiliki hampir seluruh wilayah yang rawan gizi. Marasmus atau kekurangan bahan-bahan makanan berenergi dan kwaskioskor atau kekuranagan protein dalam tubuh di Sumba Barat menempati urutan kedua di NTT setelah TTS. Pada tahun 2007 saja terindikasi 27 kasus marasmus dan kwaskioskor, padahal terdapat 1 kasus saja sudah merupakan kejadian luar biasa yang semestinya harus segera ditindak lanjuti oleh pemerintah.

Al Quran surat An Nisa ayat 9 menyerukan agar umat Islam tidak meninggalkan di belakang mereka generasi yang lemah kesejahteraannya. Umat Islam melalui keluarga-keluarga sakinah dianjurkan untuk melakukan tindakan preventif agar generasi mendatang sejahtera dalam artian seutuhnya. Rasulullah SAW menguraikan makna fid dunya hasanah  dalam arti sejahtera lahir dan batin. Sejahtera lahir batin berarti Shihhatul badani, shihhatul aqli, shihhatul qalbi wa ziyaadatul ilmi (sehat jasmani, sehat akal, sehat hati nuraninya dan bertambah ilmunya).

Mengupayakan keluarga-keluarga Muslim agar menjadi keluarga sakinah merupakan hal yang penting dan perlu. Sebab keluarga sakinah (tenang, tenteram, aman dan sentousa) memiliki potensi besar untuk berkembang tanpa kehilangan pegangan hidup. Disinilah peran BP 4 Kabupaten Sumba Barat tertumpu. Membantu pemerintah untuk mewujudkan masyarakat sejahtera melalui pembinaan terhadap keluarga-keluarga agar menjadi keluarga sakinah. Meski minim dana dan sarana BP 4 berupaya secara optimal mengentaskan keluarga pra sakinah menjadi keluarga sakinah melalui pembinaan dan mengingkatkan kualitas rumah tangga melalui Suscatin (Kursus Calon pengantin) dan memotivasi keluarga sakinah dengan melaksanakan kegiatan Pemilihan keluarga sakinah teladan yang diselenggarakan secara annual. Upaya yang telah dilaksanakan oleh BP 4 Kabupaten Sumba Barat diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi pembangunan masyarakat di Sumba Barat tercinta. 

Cinta Adalah Kau dan Aku


Cinta adalah
Hening benakmu dan kemerisik tuturku
Tajam liar tatapmu dan sayu senyap pejamku
Gontai langkahmu dan lincah berjuntai tungkaiku
Rasa terpendammu dan  sahut-menyahut ingin tahuku

Cinta adalah
Geming diammu dan sepak terjang gerakku
Gelegak amarahmu dan bias ketakutanku
Denyar kilat di matamu dan rinai gerimis di pipiku
Lorong panjang senyapmu dan lengkingan kecewaku

Cinta adalah
Geletar ujung jarimu dan buncah dadaku
Hangat meruam pori kulitmu dan desir meriap jantungku
Kerling samar di ujung matamu dan senyum sipu di bibirku
Erat dekapmu dan sendu biru tubuhku
Cinta adalah kau dan aku

Puisi-Puisi Sitok Srengenge




Penghujung Musim Penghujan

Di penghujung musim penghujan
basah tanah dan batang pohonan susut perlahan
Daun-daun mengibas rambut pada terik mentari
dari matamu yang sarat sengkarut membersit pelangi
Menetas burung-burung dalam liang luka tubuh
lantas terbang murung sebagai kata-kata dan jatuh
Jatuh ke dalam gurit yang kuguris untukmu
kicau sembilu bergaung abadi di situ



Cinta Pertama

Udara yang kuhirup kali pertama
kini entah di mana
kadang aku bayangkan ia kekasih
yang akan bersedih
bila aku tiada
Sebab ia tahu, baginya kubuka
rahasiaku kali pertama
Aku tak peduli berapa laksa tubuh
ia masuki sebelum dan sesudahku
pengalaman pertamaku dengannya selalu kuulang
sampai aku mati dan ia akan sedih seperti yang kubayangkan

Menulis Cinta
Kauminta aku menulis cinta
Aku tak tahu huruf apa yang pertama dan seterusnya
Kubolak-balik seluruh abjad
Kata-kata yang cacat yang kudapat
Jangan lagi minta aku menulis cinta
Huruf-hurufku, kau tahu,
bahkan tak cukup untuk namamu
Sebab cinta adalah kau, yang tak mampu kusebut
kecuali dengan denyu


Kereta


1

entah siapa yang ia tunggu
Orang-orang datang dan lalu,
ia cuma termangu
Sepasang orang muda berpelukan
(sebelum pisah) seolah memeluk harapan
Ia mendesis,
serasa mengecap dusta yang manis
Kapankah benih kenangan pertama kali tumbuh,
kenapa ingatan begitu rapuh?
Cinta mungkin sempurna,
tapi asmara sering merana
Ia tatap rel menjauh dan lenyap di dalam gelap
: di mana ujung perjalanan, kapan akhir penantian?
Lengking peluit, roda + roda besi berderit,
tepat ketika jauh di hulu hatinya terasa sisa sakit

2

Andai akulah gerbong kosong itu,
akan kubawa kau dalam seluruh perjalananku
Di antara orang berlalang-lalu,
ada masinis dan para portir
Di antara kenanganku denganmu,
ada yang berpangkal manis berujung getir
Cahaya biru berkelebat dalam gelap,
kunang-kunang di gerumbul malam
Serupa harapanku padamu yang lindap,
tinggal kenang timbul-tenggelam
Dua garis rel itu, seperti kau dan aku,
hanya bersama tapi tak bertemu
Bagai balok-balok bantalan tangan kita bertautan,
terlalu berat menahan beban
Di persimpangan kau akan bertemu garis lain,
begitu pula aku
Kau akan jadi kemarin,
kukenang sebagai pengantar esokku
Mungkin kita hanya penumpang,
duduk berdampingan tapi tak berbincang,
dalam gerbong yang beringsut
ke perhentian berikut
Mungkin kau akan tertidur dan bermimpi tentang bukan aku,
sedang aku terus melantur mencari mata air rindu
Tidak, aku tahu, tak ada kereta menjelang mata air
Mungkin kau petualang yang (semoga tak) menganggapku tempat parkir
Kita berjalan dalam kereta berjalan
Kereta melaju dalam waktu melaju
Kau-aku tak saling tuju
Kau-aku selisipan dalam rindu
Jadilah masinis bagi kereta waktumu,
menembus padang lembah gulita
Tak perlu tangis jika kita sua suatu waktu,
sebab segalanya sudah beda
Aku tak tahu kapan keretaku akan letih,
tapi aku tahu dalam buku harianku kau tak lebih dari sebaris kalimat sedih



Kau Angin
Semula aku sangka kau gelombang
tapi setiap kali aku renangi
kau menggasing bagai angin
Peluh membuncah dan ruh tubuh gelisah
adalah ibadah bagi Cinta tak berjamah
Di situ, kunikmatkan teduhmu
sesekali sebelum kau berhembus pergi
Aku buru suara seruling di jauhan
yang kutemu dedahan bergesekan
Aku termangu tertipu gerakmu
sehening batu di kedalaman rinduku
Kini aku tahu, tak perlu memburumu
Kau hidup di dalam dan di luar diriku
-tak berjarak namun terasa jauh
teramat dekat namun tak tersentuh
Jika benar kaulah angin itu
semauku akan kuhirup kamu
Dalam jantung yang berdegup
kau gairah baru bagi hidup
Mengalirlah darah, mengalir
dalam urat nadi Cintaku
karenamu, Kekasihku!


Peretas

Seumpama pagi, kita pun lekas pergi
Sebagai sore, kita segera sampai
Dari dan ke pangkuan kelam
Di mana kita jadi penelusur gua gelita
Meraba, menaswir gema cinta
Terpisah dari yang selain desah
Raga melenggang bagai ganggang
Sukmaku menggapai sukmamu, bersitaut serupa kiambang
Larut dalam kelucak ombak pasang
Kulumur landai lampingmu sampai pasir menyerpih
Kudentur-dentur ceruk curammu hingga berbuih
Hingga kau-aku terhempas, terlepas, di altar tarikh
Peramlah separuh perih, sampai kaulihat rakit
dinakhodai cahaya fajar pertama dari kaki langit
Selebihnya biar kusemat di jantungku, betapapun sakit
Sebab, selagi selat susut semata kaki,
kita akan mulai saling mencari
Dipandu denyut nadi
Kuharap kita akan bersua di sebuah bukit hening
yang menyimpan mata air bening, di mana letih terbaring
seluruh luka pulih, seiring kita tandai segala yang asing
Dan di tanah yang tabah itu, hidup akan tumbuh
Kau bagian dariku, aku bagian dirimu, dua jiwa satu tubuh
Senantiasa saling butuh. Tanpa yang lain kita tak penuh, tak utuh


Ruang
Aku ceruk cangkir yang membayangkan kau sebagai kopi di pagi hari,
lingkar kalung yang merindu jenjang lehermu,
lubang baju yang butuh merengkuh tubuh

Kau greonggang rahang yang mengulum kelu lidahku,
rongga dada yang menampung paru dan jantung
lurung urat biru yang mengaruskan deru darahku

Aku cekung cangkang yang menginginkan kau menjadi kerang,
lengkung langit andaikan kau gugusan planet,
luas lautan manakala kau pepunuk pulau

Kau bidang padang mengerang gersang jika aku bukan rimbun pohonan,
kitab yang mengutip kisah kesiapku kala pertama kuintip wajah kekasih,
manik mata yang mendekap dunia, kakus yang tulus menadah limbah

Aku rangkum rahim di mana kau dulu mukim, rentang tangan yang selalu
menjagamu, kubebaskan kau bergerak dan berbiak dalam diriku
Aku kosong abadi yang menghendaki kau sebagai isi

Aku penuh oleh kau yang tak membiarkanku menghampar hampa
Aku takjub pada hidup yang berdegup, cinta yang bergema


 Kebun

boleh aku berkebun dalam dirimu?
padang pasir itu akan kucangkul,
kugaruk, kusemai
bila putik telah muncul
akan kusiram, kupupuk, kusiangi
akan kuundang angin sepoi
akan kupanggil hujan rinai
agar kau sejuk segar dan damai
kubiarkan tubuhmu menari
menakzimi gerak matahari
dedaunmu lembut dirahmati warna laut
kelopak-kelopak kembangmu
rekah dengan harum meruap
seperti luka yang pelahan malih jadi harap
kubayangkan kau padang luas
tempat pepohon besar berdaun rimbun
dan aku seorang kerdil yang bernaung
di bawah teduhmu nan anggun
kubiarkan serangga dan unggas
bercengkerama akur
di cecabang dan rerantingmu
yang kuat dan lentur
aku akan menjaga dan merawatmu
sebab kau telah memberiku bahagia
dan mengajariku perihal rindu
kelak jika aku mati
jasadku akan berbaring tenang di kebun itu
itulah saat aku kembali
dan kekal menyatu dengan dirimu


Kata Berkata
Panggil aku kata
Akulah asal mula
Jangan tanya siapa si pertama mengatakanku
Aku malu tak mampu memberi tahu
Walau dengan sepenuh daya
Aku tak sanggup sebut namanya
Aku cuma kata
Asal mula segala


Bunyi Sunyi
Parafrase atas musik Tony Prabowo
Bunyi-bunyi ganjil itu, kawanku, memanggilmu sampai kelu
Jiwa terkucil yang ragu, bersandar bilah bayang-bayang,
melawan arus waktu yang menderas
menggerus mimpi-mimpimu
Kibaskan rambutmu, biar debu gemerincing mengusir sepi
yang selalu menyemai di sela seloroh orang ramai
Biar gairah berpijar bagai putik bunga api,
membakar hari-harimu yang memar
Kudengar derit derita, senyaring rasa sakit paling purba,
mungkin senar-senar syaraf berdenyar didera duka,
atau raung rindu dari ruang gelap tubuh
tak tersentuh
Kata-kata gagu meniru bunyi-bunyimu, cahaya redup,
tak sanggup menjelmakan sosokmu yang gagap-gugup
Hanya hening, membentang antara damba dan hampa,
selengang padang gersang
Kau melenggang, sendiri, meracik benih bunyi:
rintih ringkik raung ricik—menjadi sunyi
Tumbuh liar di tepi-tepi, serupa lantana
merekah jingga: kelopak-kelopak luka
Bunyi-bunyi ganjil itu menyeru namamu:
derit derita, jerit sakit, denyar duka,
ringkik rindu, sengal ajal
nan kekal



Lidah Ibu
Cahaya yang pendar dalam kata, bukan percik api bintang pagi
Bayang samar yang gemetar di sana,
bukan geliat muslihat fatamorgana
Ini sajak menampik suara yang disumbar para pendusta
Di sesela konsonan-vokal menggema cinta tak terlafal
Huruf-hurufku bersembulan bagai gairah bebunga,
mencerap cerah cahaya
Di bawah tanah kaki-kaki mereka menjalar seliar akar,
menjangkau sumber air
Kata-kataku menautkan daya renggut inti bumi
dan medan magnet yang dilancit lambung langit,
menggerakkan yang diam, meneriakkan yang bungkam
Larik-larikku dirimai rindu pada pencinta
yang datang tanpa predikat tanpa belati di belikat
Nafasnya meraba rabu,
kelembutannya membelai betak benakmu
Lidah ibu menyalakan lampu dalam kataku
Benda-benda yang tersentuh cahayanya pun mengada:
riuh menyebut nama-nama, piuh merajut semesta
Di semesta sajak ini tak sebiji benci semi bagi pendengki
Lidah ibuku menjelma pohon pengasih buah hati



Kata Asing
: Sylvia Plath
Di negeriku, Sylvi, saat ini matahari masih rendah,
mimpiku masih basah, puisi belum usai meraut wajah
Tak perlu terburu,
bangku kayu di taman khayalmu, di mana kau inginkan aku
duduk berderet dengan kata-kata lain dari kamusmu,
masih bertabur serbuk salju, mungkin kotor
oleh tai burung dan gugur daun sikamor
Sebentar lagi, segeliat tubuh lagi
Aku akan datang dengan separuh ruh matahari tropis
bagi rerumpun perdu yang meranggas di ranjang ranjaumu
Jemariku rindu bebunyi yang menggema dari sentuhan,
selirih pekik dandelion ditakik angin muson
Bawalah, seperti biasa, roti bakar selai marmalad
tapi kumohon jangan lagi berkelakar tentang kiamat
Kami, kata-kata yang kaupingit demi mengungkit sakit,
lebih senang kausiapkan kertas merang dan pencil arang
Sebab, jika nanti kaulansir puisi kabut dan bulan ranum,
kami ingin menaswir wajahmu yang semuram tarum
Semoga kau tak lupa, Sylvi, saat itu 23 Februari:
cuaca berangin meski suhu udara tak begitu dingin,
aku tiba di taman itu tapi kau tak kutemu
Hanya perempuan sunyi, tubuh rapuh berperancah duri
mengurai benang tangis merajut repih jiwa,
seperti linguis letih merunut siapa
yang pertama melafal kata
Tapi aku menunggu. Menunggu kisah-kisahmu,
sepenggal demi sepenggal, yang membuatku kian rapat ke ajal
Sampai kutahu: kau tak lagi menginginkanku,
pun semua kata yang berbaris rapi
yang selama ini kausapa puisi
Sebab telah kaukatupkan semua pintu dan jendela,
kausumbat ventilasi dan lubang kunci, sebelum gegas
ke negeri nirkata yang kaucipta dari dengus gas



Ular dan Penyair
Di Taman Edan, aku bersua sesosok kata terpuruk mabuk di pojok kalimat jorok. Rambut gimbal akar gantung beringin tua, pakaian kumal sarang kepinding dan kecoa, mulut busuk comberan mampat, tubuh gembrot burik berborok
Kusapa ia dengan cinta. Mata bara menjelang padam, kerjap binal bintang zohal. Kutawari ia mandi, pakaian bersih-rapi, sebotol minyak wangi. Siapa tahu kelak, ketika nasib tak lagi congkak, seorang penyair yang sedang cari inspirasi memungutnya sebagai anak asuh dan memberinya rumah dalam puisi yang teduh
Aku ingin kau mampus, ia mendengus ketus. Bau mulutnya alkohol kakilima. Lidah bercabang, kata-kata terucap sumbang. Kudengar ia kentut, udara pun semaput. Lalu ia muntah, menumpahkan bangkai kawan-kawannya sendiri yang ia telan sembari masturbasi
Tak ada sajak cukup kupijak, ia berlagak. Aku terlalu besar. Aku bukan kata sekadar. Segala sesuatu bermula dariku. Aku penyebab penyair lahir. Firmanku suci, perintahku dipatuhi para nabi. Penyair tak lebih dari pendusta nyinyir, bertualang dari remang ke temaram, tanpa kitab keabadian. Aku kutuk mereka: mendamba cahaya, didera derita
Mungkin saat itu tuhan pulas di selembar daun apel yang lepas. Angin berdesir, muncul si penyair. Rambut tersisir klimis, dandanan necis. Sambil mengelap ujung sepatu ia ucap salam rindu kepadaku. Kata- katanya terdengar lain, sesahdu irama latin. Aku terpukau, dalam dirinya bebukit hijau, bentang kebun kakao, kemilau danau
Sambil menimang apel malang, si penyair bilang: Aku sedang menyusun ulang kata-kata yang sengaja tak diucapkan Adam kepada Eva, tentang Lilith istri pertamanya. Kelak akan gamblang, mengapa dunia dipenuhi para pecundang. Mereka pencemburu yang tak doyan mengunyah sajak, lebih gemar memburu dan mengenyah orang bijak, bersenjata pedang dusta
Kata busuk yang terpuruk mabuk di pojok kalimat jorok itu seketika kuyu. Ia beringsut kecut, melata pergi, lalu lesap ke kobar api, jauh di luar sajak ini


Separuh Kromosom

Kau, suara yang sayup kudengar saat mula selaput telinga tergetar,
senandung kidung segugup degup jantung, membisikkan fajar
sejenak setelah aku sadar, mengajar mengeja semesta cinta
sampai sangkakala melengking melengkapkan usia
Kau, wujud yang lamat kulihat kali pertama pelupuk mata terbuka,
cerlang sejernih pandang kekasih, sabar menjalar di langit nalar,
mengelus santun ubun, menuntun tangan menatah nisan
sebelum cahaya dan apiku padam di sumbu kalbu
Dan aroma asing yang paling dulu kuhirup, tiada lain selain kau,
seharum hawa lembab di lembah susu, melecut kelepak paru,
mengulur nafas mengalirkan nafsu, ke muara rahasiamu
kelak ketika udara henti di hulu nadi
Siapa lebih setia dibanding kau – jiwa yang tak jeri mengembarai diri
sendiri, detikmu serentak detakku, harimu sehiruk haru-huraku,
rasaku meraba rabumu, tak tanggung kautunggui aku
hingga hapus air mataku dari mata airmu
Kukecup-kecap cintamu, kupagut pagi-petang, kusesap siang-malam,
kau bertahun bertahan, tanpa alpa tugasmu: menumbuh-rubuh-rapuhkan
kenanganku, sampai aku melupakanmu ketika tanah
memintaku kembali ke Entah

Di Hamburg Sepi Menghambur


 Kecuali kelam cuma angin compang-camping,
       seusai sepi merajamkan sejuta taring
       Hawa jekut bersalto di perut gelandangan,
    bayang-bayang maut dari ghetto masa silam
                     Sepi menjalar, mendesis di lurung-lurung gedung,
       lidahnya menjilati patung-patung di taman
              Udara menggelepar, menanggung gaung,
   menebar bau rawan peraduan
                          Dan di danau yang menyerupai genangan mimpi,
                  sulur-sulur cahaya seakan pendar fosfor akar kuldi
                    Gesau Gestapo telah lama tenggelam di dasar danau itu,
       tapi masih tersisa isyarat yang mengeruhkan kalbu:
        di lorong-lorong Metro, ketika rinding riuh kehilangan echo,
                        lolong sengau dan kerling menjauh bagi kulit sawo
   Sepi meringkuk berselimut kabut tebal
      di pucuk menara katedral,
 dengkur lembut yang ngalir dari alam bawah sadarnya
   melantunkan Talmud dan mimpinya sinagoga
                    Riap tunas kembang menyingkap jangat bumi:
              ada yang sedang berdandan, barangkali musim semi
      Busut-busut salju mulai memuai,
         bagai lisut seprai. Rambut angin kusut masai
   Yang berlanjut cuma kelam,
   merajut kelamin ke kelambu malam
                        Nafsu yang menggerakkan waktu,
                               nafas yang menafikan belenggu beku
      Tubuh yang melimbak,
          butuh yang meliur
          Ke dalam sajak
                sepi menghambur
                       

Kenangan Scheveningen   
                             
 Ada yang senantiasa melukisi daun dan buah,
        lihat jejaknya menggaris di batuan tanah
Aku daun yang tanggal, terbasuh embun         
            sebelum luruh dibantun taifun
Kau buah yang mengkal, tersepuh ranum       
sebelum jatuh dikulum alum
Kita tumbuh dari akar berbeda,
meski mencecap air dari sumber yang sama      
Aku datang dari perih yang diguritkan angin  
dan angin mengibarkan rambutmu yang perak
Lihat tapaknya mengering di bangkai musim, 
                               sebagian abadi dalam sajak
   Kita saksikan laut
melalui nyala lilin dan rekahan kembang         
Pulau-pulau bagai bangkai hanyut,                    
jerit di jauhan menyusun bukit karang     
Kapal-kapal beringsut                                    
memasuki kelabu kabut,                                        
kau melambai                      
ke pemuda kusut masai                                         
"Kelak ia kembali membawa buah pala             
             dan seorang putri Minahasa.
                        Aku adalah cucu mereka."
                           Jauh di tepi danau gubuk-gubuk gipsy diperam perih waktu
                                                                 hingga udara dan air payau sama membeku,
tapi pohon-pohon putih menanggalkan baju
             dan aku tertindih tumbang tubuhmu




Musim

Tak pernah henti cinta mencintai
sampai usai tak letih silih mengisi
Dulu
sebelum menyatu
aku bergelar lapar
kau bernama dahaga
Sama-sama baru tiba dari hampa
Lalu
dibimbing waktu
aku melahapmu
kau meregukku
Sejak itu kita bukan lagi yang sediakala
Betapa perkasa cinta
Ia jelmakan kita jadi manusia
Kuhasratkan kau rebah di tanah
sebab aku petani yang tabah
setia membajak dan mencangkulimu
memupuk dan mengairimu
Hingga kau bunting
melahirkan nasi ribuan piring
Kadangkala aku pekerja pabrik gula
merawat ladang tebu
atau menjaga gerak mesin gilingmu
Agar tak cuma aku
tapi semua yang dekat kita
tetap bisa menikmati manismu
Dalam dambaku kau seindah musim basah
selalu murung dan menangis
setiap kausaksikan kawanan burung
meninggalkan hutan tropis yang hampir habis
Kubuka sawah dan kebun
menadah gairah yang rimbun
sebelum kau berpaling sebagai musim kering
membuatku gering rindu peluhmu
Aku bergantung padamu
Tak perlu kuminta kau jadi yang kumau
sudah itu layu lalu luruh demi buah
Petani dan musim
tak terpisah