Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta


Pada sebuah telepon umum, seorang wanita berbicara dengan wajah gelisah.
“Katakanlah sekali lagi, kamu cinta padaku.”
Mendengar kalimat itu, orang yang mengantre di belakangnya memberengut, sambil melihat arlojinya. Pengalaman menunjukkan, orang tidak bias berbicara tentang cinta kurang dari 15 menit. Namun, sungguh terlalu kalau wanita itu masih juga bertanya tentang cinta setelah 30 menit. Apalagi sudah ada beberapa orang berdatangan ke telepon umum itu, sambil sengaja mengecrek-gecrekkan koin di tangannya.
“Kamu benar-benar cinta padaku? Sampai kapan?”
Orang-orang mendengar kalimat itu dengan jelas. Wanita yang menelepon dengan wajah gelisah itu memang terlihat berusaha menahan suaranya, tapi rupanya perasaannya berteriak lebih keras. Menjadi tidak penting lagi baginya, apakah orang-orang itu mendengar atau tidak. Mereka toh tidak tahu siapa dirinya. Di kota besar seperti ini, kita tidak selalu bertemu orang yang sama di jalanan. Begitu juga di telepon umum.
“Kamu gombal, kamu juga mengatakan hal yang sama pada pacar-pacarmu.”
Wanita itu melirik kea rah orang-orang yang menunggu, kemudian melihat arlojinya, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia bukan tidak tahu tentang waktu yang dihabiskannya. Tapi, kemudian ia menyembunyikan wajahnya ke dalam kotak kuning, berbicara pelan-pelan dan tersendat-sendat. Barangkali lelaki di seberang sana itu memberikan jawaban yang kurang berkenan.
“Aku Cuma salah satu di antara mereka, aku Cuma salah satu dari wanita-wanita itu, aku tidak ada artinya bagimu.”
Wajah wanita yang tadi gelisah itu kini tampak menderita. Matanya penuh cinta, tapi memancarkan rasa takut kehilangan.
“Ternyata kamu bohong, kamu tidak mencintaiku,” katanya.
Para pengantre berdecak-decak gelisah. Mulut mereka memperdengarkan bunyi ‘ck’ yang sengaja dikeras-keraskan. Sebagian menggeser-geser dan menghentak-hentakkan sepatunya. Sebagian, untuk kesekian kalinya, melihat arloji. Sebagian lagi terus terang menggerutu.
“Siang-siang panas begini bicara tentang cinta, seperti tidak ada waktu lain.”
“Terlalu.”
“Sudah setengah jam.”
“Kalau pergi ke telepon umum yang di sana, sudah sampai dari tadi, tapi sekarang jadi tanggung!”
“Berapa lama lagi dia selesai?”
“Ini sudah setengah jam.”
“Paling lama sepuluh menit lagi, dia kan tahu dari tadi kita menunggu.”
“Saya Cuma perlu menelepon setengah menit, penting sekali.”
“Saya juga Cuma sebentar, tapi penting sekali.”
“Saya harus segera telepon, sangat penting, kalau tidak, saya bisa celaka.”
***
Kemudian, terdengar suara wanita itu, yang tanpa disadarinya sudah menjadi jauh lebih keras.
“Kamu ini bagaimana, sih? Kamu tahu kan aku sayang padamu, aku selalu kangen padamu. Aku cinta sekali padamu, kamu jangan begitu, dong!”
Wanita itu sudah memasukkan koin lagi, dua sekaligus. Artinya percakapan masih akan berlangsung, setidaknya 12 menit lagi. Kalau setelah itu masih juga bicara, sungguh-sungguh keterlaluan, karena pengantre yang paling dekat dengannya sudah menunggu selama 42 menit. Sebagian orang yang datang belakangan sudah pergi. Mereka bisa memperkirakan waktu yang lama melihat banyaknya para penunggu. Namun, yang sudah terlanjur menunggu lama agaknya merasa rugi jika pergi. Mereka masih menunggu dengan wajah yang disabar-sabarkan.
“Aku ingin yakin bahwa kamu memang cinta padaku. Aku harus yakin kamu memang cinta, kamu memang sayang, kamu memang selalu memikirkan aku. Apakah kamu selalu memikirkan aku? Katakan padaku kamu cinta, cinta, cinta…”
Apakah yang dikatakan lelaku di telepon sebelah sana? Wanita yang menelepon dengan wajah gelisah itu kini untuk pertama kalinya tersenyum. Pasti yang disebut cinta itu ajaib sekali, karena bisa menelusuri kabel telepon dan mengubah wajah seorang wanita yang gelisah jadi bahagia. Menjadi cantik, dan menyegarkan, meski di siang panas terik yang melelehkan aspal jalanan. Mata wanita itu berbinar-binar, bagaikan mata kanak-kanak di sebuah dunia fantasi.
Pemandangan ini agak melegakan para pengantre. Pasangan yang bercinta di telepon biasa memutuskan percakapan mereka pada saat-saat terbaik. Mata wanita itu menunjukkan kebahagiaan. Pada saat seperti itu ia bisa berpisah di telepon dengan senang, dengan perasaan seolah-olah dunia sudah menjadi miliknya. Tinggal sebentar lagi, pikir orang-orang yang menunggu itu, sambil lagi-lagi melihat arlojinya.
“Satu koin lagi, ya? Ngomong cinta lagi, dong.”
Meluncur satu koin lagi. Berarti enam menit lagi. Orang-orang mengerutkan dahi. Alangkah memabukkannya cinta yang bergelora itu. Tapi, sudahlah, enam menit bukan waktu yang lama.
“Kamu masih akan mencintaiku kalau aku sudah tua?”
“Kamu masih akan mencintaiku, meskipun ada seorang wanita cantik merayumu?”
“Benarkah cuma aku seorang di dunia ini yang ada di dalam hatimu?”
“Masih cintakah kamu pada istrimu?”
***
Semua orang menoleh. Wajah wanita itu sudah gelisah lagi.
“Masih cintakah kamu pada istrimu?”
Meluncur lagi satu koin.
“Gila! Hampir satu jam!” Seseorang berteriak dengan marah.
“He! Mbak! Ini telepon umum! Gantian, dong.”
Pengantre yang paling lama mendekatkan kepalanya ke kotak kuning, sengaja memperlihatkan dirinya di depan mata wanita itu, sambil mengetuk-ngetukkan koinnya dari luar kotak. Wanita itu berkata pada yang diteleponnya.
“Sebentar, sebentar.”
Lantas ia mendekapkan telepon itu ke dadanya, dan berkata pada pengantre yang terdekat dengannya.
“Maaf, sebentar lagi, ya, Pak? Sebentaaar saja.”
Kemudian, ia menolehkan kepalanya ke arah lain. Berbicara setengah berbisik, maunya, karena yang terjadi adalah ia berteriak tertahan.
“Katakan yang jelas, apakah kamu masih mencintainya?”
Angin berhembus. Mega menutupi matahari. Langit mendung.
Orang-orang yang menunggu hanya melihat wanita itu mengeluarkan tissue dari tasnya, dan mulai mengeluarkan ingus. Matanya basah.
“Kamu masih tidur dengan dia?”
Orang yang berada di dekatnya menjauh. Mencari tempat untuk duduk. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, selain menunggu. Angin makin kencang berhembus. Daun-daun berguguran.
“Kamu kok bisa, sih? Kamu terga sekali padaku. Sebetulnya kamu tidak mencintai aku.”
Seseorang pura-pura batuk, mengingatkan, tapi wanita itu sudah tidak peduli. Ia meluncurkan satu koin lagi.
“Apa sih artinya aku buat kamu? Apa sih artinya aku?”
Wanita itu membuang tissue ke bawah, dan mengambil lagi tissue yang lain. Sambil menjepit telepon dengan kepalanya, ia mendenguskan ingusnya. Tiada yang lebih sendu selain wanita yang menangis karena cinta.
“Jadi, kamu bisa mencintai lebih dari satu orang? Kamu bisa mencintai dua orang sekaligus?”
Ia seorang wanita yang cantik, menarik, dan indah. Wajahnya gelisah dan sendu, tapi ini membuatnya semakin lama semakin indah. Apakah cinta yang membuat seorang wanita menjadi indah? Mungkinkah seorang wanita menjadi indah tanpa cinta? Apakah artinya cinta bagi seorang wanita?
“Jadi, apa artinya hubungan kita? Apa artinya?”
Debu cinta bertebaran. Suatu ketika di suatu tempat, entah kapan dan di mana, seseorang bisa begitu saja saling jatuh cinta dengan seseorang yang lain. Ah, ah, ah-lelaki macam apakah kiranya yang berada di seberang telepon itu, yang telah membuat seorang wanita yang indah menjadi gelisah?
“Apa sih artinya cinta untukmu? Coba jelaskan padaku. Apa sih artinya cinta?”
Jeglek! Tuuuuuuttt…
Koinnya habis. Hubungan pun terputus. Wanita itu tertegun. Ia merogoh dompetnya. Tak ada lagi koin di sana. Ia banting gagang telepon itu dengan kesal.
Pengantre yang sejak tadi menunggu segera menyerobot dengan setengah memaksa. Pengantre yang lain pun mendekat dengan wajah mengancam. Semua orang punya keperluan penting. Tak seorang pun peduli dengan wanita itu, yang setelah menukarkan uang kertasnya dengan setumpuk koin di kios rokok, segera ikut menunggu kembali, meskipun hujan kini turun dengan deras.
Wanita indah yang wajahnya gelisah itu tidak lari berteduh-ia tetap menunggu, sampai basah kuyup. Ia juga punya keperluan penting. Ia masih menyimpan sebuah pertanyaan untuk cinta.
Taman Manggu, 21 Maret 1993
Seno Gumira Ajidarma

Selamat Ultah Liz....



Liz......ini teteh. Dari jauh mengucapkan selamat padamu atas usiamu yang bertambah satu. Atau berkurang satu dari jatah usiamu di dunia ini....

Masih kuingat dulu, dua puluh tiga tahun yang lalu. Sosokmu yang lucu menggemaskan, membuat aku diam-diam bangga memiliki seorang adik sepertimu. Pipi gembil kemerahan seperti tomat yang dijual di pinggir jalan sepanjang Lembang. Rambut hitam lebat panjang berponi. Tawamu yang lucu. Dan matamu yang sedikit sipit sehingga semua orang di sekitar kita memanggilmu Oshin.

Mungkin dirimu tak pernah tahu, aku meskipun diam-diam membanggakan dirimu, namun pernah sesekali aku mencubitmu. Bukan karena gemas, tapi karena jengkel ketika dirimu yang masih kanak-kanak itu menangis meminta perhatianku. Lalu suaramu yang melengking membuat Mamah, memarahiku. Ketika itu, aku hanya bisa memendam sebel, yang kini sudah berubah menjadi sebuah kenangan yang membuatku senyumku simetris.

Sebagai kakak, menggendong tubuhmu yang mungil dan lucu, sungguh menyenangkan. Seperti menggendong boneka barbie yang tak pernah aku miliki. Sebuah pengalaman yang kemudian aku temukan kembali sensasinya tatkala aku menimang anak-anakku. Salah satunya yaitu yang kedua, pada suatu saat tertentu, seperti menjelma menyerupai dirimu saat bayi dulu.



Lama waktu berlalu. Mengubah sosokmu menjadi seorang gadis. Dan aku seorang ibu yang beranjak menjadi perempuan paruh baya. Apa yang bisa ku perbuat untukmu, tanya batinku saat memandang tubuhmu yang semampai dan wajahmu yang selalu menyiratkan kemanjaan. Lalu terjadilah peristiwa yang tak kan pernah kulupakan seumur hidupmu. Sebuah pertemuan yang mungkin mengakibatkan air matamu sulit kering tahun terakhir ini.

Kadang aku menyesali mengapa aku harus ceroboh dan terlalu yakin bahwa keinginanku juga keinginanmu, akan menemukan akhir bahagia. Happy ending ever lasting. Tapi kenyataan berbicara lain. Dirimu harus terluka oleh uluran tanganku. Dan tak berhenti hatiku menyalahkan diriku atas itu, hingga aku tak pernah punya keberanian untuk berbicara denganmu bahkan sampai saat ini.

Adikku....
Maafkan kakakmu ini. Sepanjang hidupmu yang telah mencapai seperempat abad, mungkin aku tak pernah berhasil membuat dirimu tersenyum bahagia dan bangga menyebut namaku dan mengatakan itulah kakakku. Entah mungkin jejak kenangan yang terekam dalam sanubarimu hanyalah jejak-jejak lusuh dan kotor yang tak indah untuk kau kenang.

Namun meskipun begitu, izinkanlah kakakmu ini mendoakan keselamatanmu, kebahagiaanmu, kesuksesanmu di masa yang akan datang. Karena hanya doalah yang bisa aku berikan untukmu. Hanya kepada Tuhan Yang Maha Memberi-lah aku titipkan dirimu. Semoga Dia selalu mengiringi setiap desah nafas dan kedipan matamu. Menaburimu dengan kasih sayang yang tak sempat aku curahkan kepadamu. Dan melindungi perjalananmu mengarungi kehidupan di sisa usiamu.

Selamat adikku. Engkau kini sudah bukan lagi kanak-kanak. Kini dirimu adalah seorang perempuan dewasa. Tak lama lagi, di sisimu akan ada lelaki tepat yang akan selalu merasa dirimulah perempuan terbaik di dunia ini.


Puisi-Puisi Chairil Anwar


Semasa kanak-kanak dulu, ketika masih duduk di bangku kelas 4 SD, saya tersihir oleh puisi Diponegoro gubahan Sang Pujangga Indonesia, Chairil Anwar. Saya seolah dirasuki semangat berperang yang disebarkan oleh bait teraakhir puisi itu. Untuk bocah sekecil itu, kata:
Maju
Serbu
Serang
Terjang, itu terasa sangat magis. Masih ingat betul rasanya saat saya membaca kata-kata itu. Merinding.

Tapi tak lama kemudian, sebagaimana bocah lainnya, saya kembali sibuk dengan bermain, bercanda dan main gila. Saya lupa dengan puisi itu. Sampai saat saya harus memberikan kelas puisi pada anak-anak santri Ponpes Baitul Hikmah, saya harus menelusuri lagi ingatan-ingatan saya tentang puisi yang pernah saya baca. Puisi Diponegoro ini salah satunya. 

Ada baiknya bagi saya, untuk mengumpulkan puisi-puisi Chairil Anwar yang pernah saya tahu, saya baca dulu, agar saya sesekali bisa menyedot semangat darinya dengan mudah. Terutama di usia saya seperti sekarang ini, yang sudah sering merasa letih.



PUISI KEHIDUPAN

Hari hari lewat, pelan tapi pasti
Hari ini aku menuju satu puncak tangga yang baru
Karena aku akan membuka lembaran baru
Untuk sisa jatah umurku yang baru
Daun gugur satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Umurku bertambah satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Tapi… coba aku tengok kebelakang
Ternyata aku masih banyak berhutang
Ya, berhutang pada diriku
Karena ibadahku masih pas-pasan
Kuraba dahiku
Astagfirullah, sujudku masih jauh dari khusyuk
Kutimbang keinginanku….
Hmm… masih lebih besar duniawiku
Ya Allah
Akankah aku masih bertemu tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Akankah aku masih merasakan rasa ini pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Masihkah aku diberi kesempatan?
Ya Allah….
Tetes airmataku adalah tanda kelemahanku
Rasa sedih yang mendalam adalah penyesalanku
Astagfirullah…
Jika Engkau ijinkan hamba bertemu tahun depan
Ijinkan hambaMU ini, mulai hari ini lebih khusyuk dalam ibadah…
Timbangan dunia dan akhirat hamba seimbang…
Sehingga hamba bisa sempurna sebagai khalifahMu…
Hamba sangat ingin melihat wajahMu di sana…
Hamba sangat ingin melihat senyumMu di sana…
Ya Allah,
Ijinkanlah



PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !


AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi


KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi


HAMPA

kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti


SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah 


DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang


CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.


YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku


PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh


DERAI DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah



SENJA DI PELABUHAN KECIL 

buat: Sri Ajati 
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

Romantisme Sendu Setoples Cengkeh


Adakah kita pernah begitu mencinta seseorang yang jauh dan tak terjangkau oleh angan sekalipun? Begitu dalam dan sunyinya rasa itu tenggelam di dasar hati kita, sehingga gelora dan buncah-buncah gairah yang awalnya menerbitkan sebersit senyum, kemudian berubah menjadi seleret sendu. Bahkan ia terlalu kelabu untuk bisa berubah menjadi warna-warna yang hidup. Cinta sendu yang terbawa hingga mati.

Saya baru sampai ke halaman 145 pada lembar-lembar novel "Amba" yang berat dan tebal. Untuk saya yang jarang sekali membaca buku bermutu seperti itu, banyak udara yang harus saya sesap terlebih dahulu untuk memberi jeda pada otak yang keliyengan membacai rentetan kalimat yang bersayap-sayap. Kalimat yang penuh diksi yang ketat. Saya bertekad untuk mengkhatamkannya dalam beberapa hari ini. Jika saya bisa. Sebab saya tergoda untuk mengetahui adakah cinta yang teramat sendu seperti itu pada diri Amba pada Bhisma. Sebagaimana halnya cinta Dimas Suryo pada Surti Anandari dalam "Pulang", novel Leila S. Chudori.

Kedua novel itu sama-sama mengupas sejarah kelam era tahun 65-an. Sejarah yang tak pernah habis dikuliti oleh siapapun yang tak habis mengerti bagaimana peristiwa termuram sepanjang abad itu bisa terjadi dan membawa luka perih yang tak kunjung kering meneteskan darah. Sebab di sebuah sudut kota asing di luar negeri sana, di celah gang sempit sebuah pemukiman padat, di senyap sebuah desa terpencil yang terapung di pulau nan entah, bertebaran orang-orang yang hingga akhir hayatnya dicekam ketakutan. Didera teror paling menyeramkan. Diberi cap di dahinya yang tak terhapuskan, lalu dikenali sebagai orang sesat yang mesti dilenyapkan.

Namun, saya selalu tersedot oleh pesona kisah lain, yang ibarat cokelat --ia lumer di mulut begitu kita kulum-- dalam novel "Pulang". Ada sesuatu yang sangat romantis, setidaknya bagi saya, di keseluruhan kalimat-kalimatnya, sehingga saya terpalingkan dari pembahasan tentang kelamnya latar belakang cerita sang Dimas Suryo. Sebuah poin yang membuat novel ini bernas karena Leila melakukan riset mendalam bertahun-tahun tentang itu, dan membuat saya tetap tak menurunkan acungan dua jempol saya pada nilai historis dalam novel itu.

Namun, sekali lagi saya dibetot oleh pesona lain. Romantisme setoples cengkeh yang dipajang Dimas Suryo di rumahnya. Mungkin karena saya perempuan dan seperti perempuan lain, saya suka cokelat dan romantisme.

Dimas Suryo, lelaki yang menyimpan sendu di dadanya. Terbuang. Asing dan sepi. Ia terlempar jauh dari tanah air karena nasib menggoreskan ia harus dikelompokkan oleh penguasa sebagai penganut haluan kiri, meskipun sebenernya ia bukan. Di masa itu semua mesti jelas dan pasti. Engkau memihak siapa? Adalah pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan ragu. Warnamu harus jelas. Hitam atau putih. Menjadi kelabu berarti sama dengan bersekongkol dengan lawan penguasa. Dan sebagai akibantnya, Dimas harus merasakan getirnya hidup tanpa kewarganegaraan. Orang yang tak diterima di tanah airnya sendiri.

Di sana. Di sudut kota Paris, Dimas Suryo merawat kenangan dalam toples berisi cengkeh dan juga bubuk kunyit. Dua hal eksotik yang membuatnya tetap terhubung dengan tanah air. Aroma rempah itu meredakan rindu yang bergulung-gulung menghantamnya. Menjaga rasa cintanya agar senantiasa membuncah meski ia telah dikhianati separah-parahnya. Bukan oleh tanah airnya, melainkan oleh penggenggam kekuasaan di sana. Bukan oleh gadis yang amat dicintainya, melainkan oleh panggilan jiwanya sendiri yang serupa kapal yang enggan berlabuh selama-lamanya.

Ia mencintai Surti Anandari sedemikian, hingga ia selalu mencium sekilas bau melati setiap ingat pada kekasihnya itu. Tapi jiwa lelakinya meronta, ketika usai bercinta, Surti menyiratkan sesuatu untuk ia berhenti berpetualang. Menetap dan tinggal. Ia kuatir akan banyak buku-buku terlewatkan untuk dibaca. Akan ada puisi-puisi dan sastra yang tertinggal jauh di belakang. Dan dalam kegamangannya ia membiarkan Surti pergi dalam tangisnya.

Tidak ada yang bisa dilakukan untuk mentahtakan cintanya bagi Surti. Ia hanya mampu untuk memelihara semua kenangan tentang Surti, wangi melati, percintaan yang membara dan tiga nama indah yang ia sematkan suatu saat jika mereka punya anak. Yang ternyata tidak terjadi. Semua itu hanya jadi kenangan yang membeku dan membuat Dimas dirajam sembilu. Ia menelan semuanya. Dalam keterasingan. Di tengah hiruk pikuk keramaian Paris dan rumitnya kehidupan rumah tangganya dengan Vivienne, perempuan Paris yang selalu meredam gejolak birahinya dengan segenap cinta.

Hanya pada toples cengkeh dan bubuk kunyit itu, Dimas meluapkan kesenduannya. Kerinduannya. Pada tanah airnya. Dan pada Surti. Perempuan yang dulu sering ia kirimi puisi. Perempuan yang menempatkan dirinya serupa udara. Bukan hanya ada di dapur --tempat mereka dulu pertama bercinta--, di warna kuning kunyit, di aroma cengkeh. Tapi di mana-mana. Selama-lamanya.

Saya membayang-bayangkan, romantisme "gila" yang mencecar-cecar dalam kisah "Pulang" itu benarkah ada? Jika ada, betapa ingin saya sedikit saja merasakannya....





Tugu Peringatan

hidup dengannya
bercengkrama dan kemudian menangis bersama
aku menertawakan kehadirannya yang tak kupinta
tapi kemudian ku elu-elukan
sebab di detik lain kusadari ia tidak datang tanpa sebuah amar
dari langit tertinggi tempat asal catatan sejarah suci
ia menjadi tugu peringatan
agar aku tak kebablasan
ia dikirim sebagai sinyal penanda
yang pada akhirnya akan memekikkan kematian
jika aku abai dan bersikeras menafikan iman
aku harus hidup dengannya
yang mencengkeram maut di tangan kanannya
dan membelai hati dengan tangan kirinya
mungkin tidak lama
pisau tajam akan mengenyahkannya
atau
rohku lah yang berpisah raga

Setumpuk Malu

dialog dengan Tuhan
:
aku datang lagi dengan setumpuk malu
mengapa dirimu harus malu? Aku selalu menunggu kunjunganmu
tidakkah Engkau segan dan jemu, sebab aku bukan pengikutmu yang setia?
Aku terlampau mencintai makhlukKu untuk bisa segan dan jemu
bagaimana mungkin aku bisa mengadu dan menadahkan tangan ini dengan segala keluhuranMu itu
sebab Aku menginginkannya sedemikian rupa, setiap kali kau remuk hancur dan tak berdaya
Engkau sudah tahu
ya, meski begitu aku tetap ingin kau menyedu padaku
Tuhan
ungkaplah, Aku selalu ada untuk semua umatKu
aku tak kuasa berkata, kecuali melalui deraian air mata
maka menangislah, pundakKu tak pernah alpa bagi siapa yang memerlukannya



Kulakukan Segala














Seandainya aku boleh meminta
ingin aku menjelma
sebagai rama-rama
menjelajah kedalaman hutan dan belukar berbunga
dan sujud bersimpuh di seutas putiknya
lalu setelahnya meregang nyawa

Jika aku boleh memilih
niscaya aku akan menjadi buih
hanyut mengikuti kelok sungai tanpa jerih
terbentur batu, kayu mati dan bercampur kemih
jauh melayat kota-kota yang bersedih
hingga aku larut berkecamuk
dalam kancah samudera yang mengamuk
hilang bentuk
remuk

Kalau bisa aku memaksa
akan kuhela nafas agar tubuhku terbang
melayang
sebagai burung elang
bersenda gurau dengan kesendirian yang nyalang
sejauh mata memandang
menantang nyawa diujung senapan yang meradang
orang-orang yang tertawa garang

Seandainya
Jika
Kalau
Aku bisa menjadi segala
agar engkau sudi mencinta


One Day One Poetry



Tahniah. Ini bulan April...!

Apa istimewanya dengan bulan April? Apa karena di bulan ini seratus tiga puluh empat tahun yang lalu RA. Kartini lahir, lalu karenanya kita dapat menikmati kumpulan surat-suratnya yang ajaib dalam 'Habis Gelap Terbitlah Terang'? Atau karena peraih nobel sastra asal Prancis Anatole France lahir tiga puluh empat tahun sebelumnya? Atau karena William Shakespeare, sastrawan besar dunia dari Inggris itu terlahir pada 23 April 1564 silam, sehingga kemudian kita bisa mengenal kisah tragis Romeo dan Juliet yang masyhur itu....

Bukan. Bukan karena itu April kali ini sedikit ingin saya maknai. Biarlah mereka, para pembesar dunia mewarnai April dengan kemunculannya ke alam fana ini lalu dengan jenius menorehkan karya-karya yang menakjubkan dunia. Saya hanya ingin memproklamirkan sebuah resolusi di awal April yang penuh hawa iseng ini. A single simple resolution of mine.

Agak aneh memang meluncurkan sebuah resolusi di saat orang sedunia tengah jail-jailnya membodohi, menipu dan membuat panik orang di sekelilingnya. Tapi saya harus melakukan sesuatu sekarang juga. Meskipun bukan sesuatu yang besar dan berarti, setidaknya berbuat sesuatu meski kecil lebih baik ketimbang melewatkan waktu secara sia-sia. Begitu saja. Sederhana saja. Maka jadilah, Resolusi April.

Kemarin saya merasakan pendar yang hangat dan mencengangkan, saat seorang santri putri binaan saya menyerahkan selarik puisi gubahannya. Puisinya begitu sahaja, menemakan gundah saat didera perihnya cinta. Khas remaja. Namun ada yang memikat hati saya. Diksinya mulai ranum. Rimanya terlihat serupa tunas-tunas muda pada sebatang pohon, bermunculan pelan tapi pasti. Dan iramanya, ahai...saya hampir tidak dapat menahan pekik girang saya saat itu. Begitu bernas seperti padi yang mulai berisi. Lihat saja DISINI.....

Sebuah sensasi yang mendebarkan menyelinap ke sudut-sudut relung dada saya. Lalu begitu saja tercetus ide untuk membuat resolusi itu. 

One Day One Poetry. Satu Hari Satu Puisi.Saya merasa dibangunkan oleh sebuah cahaya. Saya begitu tergugah dan berpikir betapa sia-sia selama ini saya melewatkan waktu begitu saja. Padahal ada sebuah keajaiban yang menunggu di ujung senja. Keajaiban yang muncul dalam wujud kata-kata. Keajaiban yang hanya muncul jika kita merapalkan mantra dalam wujud goresan pena, torehan aksara yang ditulis dengan tangan saya.

Sedangkan seorang kanak-kanak yang baru saja tumbuh, telah menjemput keajaibannya sendiri melalui sebuah puisi. Betapa naifnya saya, memberi segala dalih dan alasan untuk melindungi kemalasan dalam menulis. Dan ini tidak boleh dibiarkan.

Hanya dengan Resolusi inilah saya meneguhkan tiang pancang keteguhan dan ketabahan hati dalam menulis. Tidak besar. Bukan sesuatu yang mengguncang dunia. Hanya menulis sebuah puisi dalam satu hari selama April. Namun saya tahu saya memerlukan ini sebagai ganti tangan seseorang untuk memeluk, menenangkan dan meneguhkan hati saya di kala penat melanda.

Waikabubak, 1 April 2013.

Sepenggal Siang di Bulan Maret












Awan mengambang pelan dan gamang.
Di bulan Maret segala terasa berjalan lambat.
Siang seringkali berdansa tanpa terik matahari yang bergelora
...muram
...lengang
serupa telaga yang dipeluk beku udara
Denging serangga yang menggali liangnya di pematang sawah
menusuk telinga seperti hendak diam mengendap
dan bersarang di dalamnya
Hanya di Maret kelabu menjadi selimut dataran
dan langit menjelma mahkota awan hitam
Padahal sepoi angin terasa gersang
menggarang hingga kerontang hati yang dirundung kelam
hujan enggan datang
bertengger segan di remang kabut jarang
di kejauhan
di suatu tempat yang entah
Maret, di bulan Maret
segala titik jenuh bersekutu
saling bercumbu



Waikabubak, 2 April 2013

Puisi Kasmiyati


Di Saat Musim Hujan


Di musim hujan tanah becek dan pepohonan basah
Daun-daun mulai meneteskan air-air hujan
Seakan-akan air mata yang jatuh di tangan

Menetes kupu-kupu di dalam alam
Lantas terbang kupu-kupu sebagai kata-kata  indah
Jatuh sebagai titik-titik hujan
Kicauan burung yang seakan menyatakan musim hujan



Bersamamu

Aku ingin bersamamu
menjadamu dengan sepenuh jiwaku
ingin mengucapkan kata indah
yang belum sempat dikatakan
kupu-kupu kepada bunga yang memberikannya madu

Aku ingin bersamamu
menemanimu setiap saat
dengan suara lembut yang tak sempat dilantunkan
angin kepada alam yang memberikannya kesejukan