Requim Cinta





Senja mulai memerah. Angin mengelus tengkuk Eily. Meremangkan bulu kuduk ketika kakinya yang panjang menapaki koridor rumah sakit swasta itu. Dia merapatkan jaketnya. Musim hampir bergeser ke musim kemarau. Di kota kecil yang lanskapnya menyerupai kuali raksasa itu, musim kemarau selalu membuat udara sedingin embun subuh.

Bergegas Eily menuju bangsal rawat inap kelas 3. Tangannya menenteng parsel berisi buah-buahan. Senyumnya sesekali mengembang tipis saat berpapasan dengan perawat dan beberapa pelayat yang hendak pulang. Agak ragu, dia mendorong pintu ruang rawat inap yang sedikit terbuka. Eily melayangkan pandangan ke sebuah sudut. Terbaring di ujung sana laki-laki berwajah tirus yang sudah lama dia ingin lupakan.

Sejenak Eily terdiam. Tapi seorang perempuan paruh baya menganggukkan kepalanya. Eily menghampiri kedua anak beranak itu.

“Sore, Tante. Maaf, saya baru sempat datang.” Eily mencium pipi perempuan yang dia panggil tante itu. Kemudian dia meletakkan parsel yang dia bawa di atas meja kecil yang dipenuhi sebotol air mineral, gelas, sebungkus biskuit dan obat-obatan.

Eily memandang wajah yang kuyu terbaring di depannya. Dia memperhatikan dada laki-laki itu yang bergerak naik turun pelan. Sebersit perih singgah di hatinya.

“Beberapa kali, Reza menyebut-nyebut namamu saat dia tidur. Tante berpikir, mungkin kalian harus bertemu untuk saling bicara.”

Eily menunduk. Dia menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Seakan ingin menghemat oksigen di dadanya yang tiba-tiba terasa sesak.

“Tante tinggal dulu keluar ya, ada yang harus tante beli.” Sembari mengusap pundak Eily, perempuan anggun itu beranjak pergi.

Suasana hening menyergap Eily. Dia tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ada keinginan yang menyelinap dalam hatinya untuk menyentuh wajah Reza yang tengah tertidur. Dia sudah mengangkat tangannya untuk meluluskan keinginan hatinya itu, ketika tanpa dia duga Reza membuka matanya pelan. Eily sontak terkejut. Ah, hampir saja, batinnya sambil menenangkan degup jantungnya yang gemuruh.

“Eily, aku tidak mengira kamu datang menjengukku.” Ada getar pelan dalam suara lemah Reza. Sepasang mata saling menatap. Kilatan entah apa berkelabatan di dalamnya. Reza memperbaiki posisinya. Berusaha terlihat tegak, menaikkan tubuhnya sedikit dengan bantal sebagai penopangnya.

“Maafkan aku, saat itu aku harus memutuskan untuk pergi. Dan sekarang, di saat seharusnya kamu sudah melupakan kepergianku, justru kamu harus menemui aku…” Reza terdiam sesaat. “…dalam keadaan aku seperti ini pula.”

“Reza, sudahlah. I’m fine. Kamu tidak perlu mengkhawatir aku.Fokuslah untuk kesembuhanmu.” Eily menyentuh pundak Reza sekedar untuk menampakkan ketegarannya. Dia menyembunyikan gundahnya di balik selubung hatinya. Perlahan nyeri yang lama dia rawat dengan air mata, berdenyut lagi.

“Aku ingin sekali memberikanmu ini.”

“Untuk apa ini, Reza? Kamu tidak perlu memberiku apa-apa.”

“Seharusnya aku melakukannya dulu, saat kita menunggu senja di Lapale. Anggaplah ini permintaan maaf dariku. Atau sekedar tanda bahwa aku pernah ada.” Ujar Reza sedikit terengah-engah.

“Please, don’t talk like that. Aku sudah memaafkanmu sedari dulu. Aku sudah melupakan bahwa kamu pernah pergi menjauh dariku.”  Kini Eily benar-benar merasakan perih mengiris-iris di sekujur tubuhnya. Perlahan perih itu menelusup memanjat setiap urat yang mengarah ke sepasang kelenjar dan mendesak cairan bening keluar dari sudut mata. Meleleh seperti magma. Eily merasakan matanya memanas. Entah karena dia berusaha menahan air mata atau karena luka yang dia rasa. Atau mungkin karena dua-duanya.

Reza meraih tangan Eily, membawanya di dada. Seperti hendak meyakinkan Eily tentang besarnya penyesalan yang dia rasa. Layaknya sentuhan tangan di dada itu bisa mengenyahkan segala luka perih di hati Eily. Reza tahu ini bisa menjadi sentuhannya yang terakhir untuk Eily. Dia ingin waktunya yang tidak lama itu betul-betul habis untuk menghapus cerita kelam di antara mereka berdua. Jika saja tidak ada penyakit yang bercokol di tubuhnya, saat itu juga Reza ingin meminta Eily untuk menerimanya kembali. Dia rela menghabiskan seluruh sisa hidupnya untuk memunguti setiap keping luka yang terserak dalam jiwa Eily, demi membahagiakan perempuan yang pernah terluka karena sikapnya yang pengecut.

Langit sedang menelan senja. Tinggal semburat jingga yang terlukis di cakrawala. Sementara Eily masih menggenggam jemari panjang yang kurus milik Reza. Dia belum lupa jemari itulah yang pernah menggeletarkan jantungnya dalam rinai gerimis di salah satu siang  bulan Mei dua tahun lalu. Itu saat pertama kali Reza mengajaknya makan siang saat istirahat kerja di kantornya. Reza menggenggam tangan Eily, menembus titik-titik air yang berjatuhan. Agaknya siang  bergerimis itu menyuburkan benih asmara keduanya.

Eily memutuskan untuk pulang. Dilihatnya Reza sudah kembali tertidur. Sepertinya percakapan pendek mereka terlalu melelahkan untuk tubuh lemah Reza. Eily pun diterpa lelah yang sama. Mungkin bahkan jauh lebih lelah ketimbang Reza. Lelah yang terakumulasi dari penat rutinitas pekerjaannya, dua tahun berkubang dalam luka dan kecewa pada kepergian Reza,  lalu pertemuannya dengan Reza hari ini. Ditambah sebentuk cincin emas putih bertahtakan berlian di kepalan tangannya. Untuk apa dia menerima cincin itu dari Reza, Eily tidak persis tahu.

Sebagai penanda bahwa Reza pernah ada? Eily menggeleng, ada duka di balik kalimat Reza itu. Sepenggal duka yang lain. Biar bagaimanapun Eily lebih memilih ingin mengetahui bahwa Reza ada di belahan tempat lain terpisah dari dirinya, daripada harus menemui kenyataan pahit Reza sudah tinggal nama. Jauh di kedalaman hatinya, Eily masih menyimpan rasa yang diam-diam berkelindan setiap kali Eily menatap senja di balik jendela kamarnya. Mungkin itulah alasan sebenarnya.

Malam ini Eily memejamkan matanya lebih awal dari biasanya. Dengan begitu Eily bisa menyusupkan kenangan-kenangan tentang Reza dalam gelapnya alam tidur. Secangkir kopi yang sudah dia seduh, dibiarkan tak disentuh. Sejurus kemudian, Eily terlelap. Cincin yang dari tadi dia kepal, kini sudah berpindah di jari manis kirinya.

*

Rasa sakit meringkus seluruh tubuh Reza. Seribu jarum seolah menancapi setiap senti kulitnya. Sakit yang jauh menembus sumsum. Reza mengerang, mengaduh. Tetapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Kecuali lenguhan dan sengalan nafas di ujung leher.

Kini selain nyeri seperti tusukan jarum karatan di sekujur tubuhnya, Reza sekuat tenaga menyebutkan sebuah nama. Dia ingin seandainya ini adalah akhir hidupnya di dunia, nama itulah yang terucap hingga bibirnya berhenti bergerak. Jika matanya kuasa terbuka ketika sakit sedikit jeda, hanya seraut wajah yang terbentang di lensanya sampai kemudian kembali terpejam. Dan dalam mimpi, dimana Reza terbebas dari deraan penyakitnya, nama dan raut wajah perempuan yang dulu pernah jadi miliknya itu, terus menari-nari.

“Eily….Eily….”

Reza ingin meraih wajah Eily. Seperti sebatang kayu yang hanyut dalam derasnya riak sungai, Eily  muncul tenggelam dalam mimpinya. Tangan Reza menggapai-gapai hingga seluruh persendiannya melemas. Lalu lunglai.

Reza menangis. Dia ingat saat-saat paling memilukan dalam hidupnya. Bukan, bukan dalam hidupnya, melainkan dalam hidup Eily.

“Reza, jangan pergi. Aku membutuhkanmu. Aku mencintaimu. Please….dont go.”

Reza masih bisa merasakan getirnya suara Eily yang memohon, menghiba dan meratapinya untuk tidak pergi meninggalkannya. Dia masih mengingat dengan jernih, Eily merengkuh tubuhnya. Berharap rengkuhan itu masih berdaya menahan kepergian dirinya. Tapi tidak. Reza tak ingin lebih lama bertahan. Dia menepis pelukan Eily. Dia menutup telinganya. Lalu berpaling dan bergegas pergi.

Reza mengabaikan tangisan Eily yang meneriakkan sejuta perih ke angkasa.

Apalah gunanya dia memperjuangkan hubungan muskil ini. Reza menghadapi tembok raksasa. Di sebalik tembok itulah Eily berada. Meskipun Eily selalu meyakinkannya. Selalu memperlihatkan betapa besar cinta Eily untuknya. Namun Reza merasa terlalu kerdil untuk melawan tembok keangkuhan itu sendirian. Reza sudah seringkali terpental dan jatuh dalam keterpurukan saat berhadapan dengan tembok penghalang itu.

Dia tak ingin meruntuhkan tembok itu. Dia hanya ingin bisa menaklukkannya, dengan menembus batas yang dibentangkan tembok itu. Tapi sudah saatnya menyerah pada takdir, begitu pikirnya. Tembok itu terlalu liat untuk ditembus.

Kini, Reza justru menyesali keputusannya untuk pergi. Sudah terlambat? Memang kenapa? Biarlah terlambat, Reza akan semakin menyesal jika dirinya tak pernah merasakan peyesalan yang sudah terlambat itu. Jadi biarlah sekarang Reza bergumul dengan segunung penyesalannya.

Reza ingin penyesalannya menjadi penebus kesalahannya. Membiarkan perempuan yang sangat dia cintai tergugu di ujung jalan akhir hubungan mereka. Seorang diri.

Seberkas sinar menyilaukan Reza. Dia mengerang lirih. Lalu memanggil lagi nama Eily. Kali ini dia mendengar namanya disebut. Diantara sedu sedan isakan pilu yang terdengar jauh.

“Eily…Eily…”

*

Perempuan belia namun berkepribadian matang itu menyeka seluruh air mata. Mula-mula dengan sapu tangan. Kemudian sapu tangan yang sudah lembab basah itu hanya di remas-remasnya. Sementara air mata yang terus mengalir seperti hujan deras, disekanya dengan punggung tangannya.

Dia telah telah kehabisan tenaga untuk mengeluarkan suara. Lehernya tegang. Tapi dalam isak tangisnya, masih bisa terbaca sebuah nama.

“Reza…Reza…aku mencintaimu, aku membutuhkanmu.”

Tubuhnya seperti kapal karam terdampar di batu karang. Teronggok di jalan aspal depan rumahnya. Sudah setengah jam, dia masih belum beranjak dari situ. Masih berharap sosok laki-laki muncul dari ujung jalan yang berkabut.

Langit seperti runtuh menimpa dirinya yang sekarang merasa jadi orang yang paling sendirian. Sampai lebam matanya menangis, namun laki-laki itu tak kunjung kembali.

Entah mendapat kekuatan dari mana, Eily bangkit. Terseok menyeret tubuh remuk redamnya. Dia ingin tidur. Melupakan perih di pelupuk matanya yang membengkak. Melupakan perih di sekujur hatinya. Melupakan laki-laki yang baru saja angkat kaki dari kehidupannya.

Dia ingin tidur lama sekali. Sampai dia tidak ingat sedikitpun peristiwa itu, dan seluruh kenangan yang merangkai pertemuannya dengan Reza hingga kejadian yang dialaminya tadi.

*

Siang begitu murung, mendung. Langit hanya tinggal menunggu komando alam untuk menumpahkan hujan ke bumi. Angin diam tak bergerak, mengantar pelayat terakhir meninggalkan tempat suram dimana jiwa-jiwa yang sudah meninggalkan raga bersemayam.

Reza ada di sana. Berbaring di kedalaman pusara. Kini hanya ditemani bumi, tanah tempat dia berpijak mengelana sampai ke perbatasan Atambua. Semasa hidup, Reza melarikan seluruh gundahnya dengan mendatangi tempat-tempat jauh. Menjauh secara fisik, namun nyatanya sampai dia meregang nyawa, hatinya tak pernah bisa jauh dari perempuan sumber kegundahannya.

Perempuan itu juga ada di sana. Berdiri mematung dan membiarkan hujan di matanya turun deras mendahului langit. Terus menangis tak memedulikan sebuah suara memanggil-manggil dirinya. Seperti ingin menguras habis air matanya yang tersisa. Hingga saat dia melangkahkan kaki meninggalkan pusara itu, tidak ada lagi duka berlinangan di pipinya.

“Ini adalah akhir beban deritaku selama dua tahun,” begitu bisiknya lirih entah ditujukan pada siapa.

“Selamat jalan Reza.” Eily menundukkan tubuhnya meraba nisan yang dingin, seolah dia menyentuh tangan dingin Reza terakhir kalinya  tiga hari yang lalu.

“Mamaaa, puyang,” suara cadel kanak-kanak memecah sunyi.

“Iya sayang, ayuk pulang,” Eily merengkuh tubuh bocah lucu itu ke dalam pelukannya. Membawanya pulang, setelah mengabarkan keberadaan bocah itu diam-diam kepada pusara Reza. Bocah yang turut Reza tinggalkan bersama dirinya. Buah cintanya bersama Reza.

Di ujung cakrawala, mendung menggumpal.


Waikabubak, 25 Maret 2012

MC Pengajian Umum

الحمد لله وشكر لله على نعم الله والصلا ة والسلا م على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه لا حول ولا قوة الا باالله. أمّا بعد فقد قال الله تعالى في كتابه الكريم. أعوذباالله من الشيطان الرجيم. بسم الرحمن الرحيم. لًئٍن شًكًرتٌُم لًئًزٍيدًنّكُم وًلًئٍن كًفًرتُم إٍنّ عًذًابٍي لًشًدٍيدٌ. صًدًقً اللهُ العًظٍيم

1.
 Yang kami mulyakan, Para Asatidz, Para Imam Masjid, Para Sesepuh, wabil khusus al mukarram wal muhtaram Bpk. Dr Suwendi  (Direktorat PD Pontren Kementerian Agama RI), Bapak KH Asror Muhammad (Pimpinan Pontren Kebon Jambu dari Cirebon Jawa Barat) dan Ibunda Nyai Hj. Masriyah Amva, yang insya Allah pada malam hari ini akan menyampaikan maui'dzah hasanah.

2.
 Yang kami mulyakan al-Mukarrom Bapak. Drs. H. Pua Monto Umbu Nay dan Ibu.

3.
 Yang kami mulyakan Pimpinan Majelis Taklim se Waikabubak beserta jamaahnya.

4.  Yang kami sayangi dan banggakan para santri pondok pesantren Baitul Hikmah Waikabubak.

 Untaian kata syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, Sang Maha Pengasih nan tak pernah pilih kasih, Tuhan Penyayang seluruh umat sepanjang zaman, yang selalu melimpahkan Rahmat kepada kita semua sehingga pada malam hari ini kita dapat melangkahkan kaki, mengayunkan tangan, bersambung rasa berkait hati, duduk simpuh, untuk mengikuti acara Pengajian Umum yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Baitul Hikmah Waikabubak.

Sholawat maa'ssalam tidak lupa kita haturkan kepada seorang nabi, yang tinggi martabatnya bagai langit biru membentang, indah bagai rembulan bercahaya terang, semerbak bagaikan wangi bunga melati, beliaulah nabi akhirul zaman, baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang syafa'atnya kita nantikan di hari kiamat kelak.

Hadirin Rohimakumulloh ……

Dengan senantiasa memohon Taufiq dan Hidayah serta Keridhoan Allah SWT, marilah kita buka acara Pengajian Umum ini, kita buka bersama–sama dengan membaca Ummul Kitab.

......... لرضاء الله تعالى ولشفاعة رسول الله على هذه النية وعلى كل نية صالحة الفاتحة 
Terima kasih, semoga dengan bacaan umul kitab tadi, acara pada malam hari ini dapat berjalan dengan lancar tanpa halangan suatu apapun dan dapat membuka hati kita untuk menerima ajaran Allah dan RasulNya.

Mengawali acara kita malam ini, marilah kita dengar lantunan ayat suci Al Quran yang akan dibawakan oleh ananda kita Nurmi Hermansyah.
Bapak Ibu yang saya hormati, selanjutnya mari kita bersama-sama dengan para Santriwati untuk melantunkan shalawat badar. Kami mohon kita semua untuk berdiri.

Sebelum kita menyimak mauidzoh hasanah yang akan disampaikan oleh Bapak Kyai dan Ibu Nyai yang telah jauh-jauh terbang dari Jawa ke tanah Sumba ini, marilah kita terlebih dahulu sambut sekapur sirih yang akan disampaikan oleh Pimpinan Pondok Pesantren Baitul Hikmah Waikabubak.
Kepada Al Mukarrom, Bapak Drs H. Pua Monto Umbu Nay, kami persilahkan.
Bapak Ibu, Hadirin yang dicintai oleh Allah.
Kini kita tiba di acara inti. Yakni penyampaian mauidzoh hasanah yang berturut-turut –dengan tanpa mengurangi rasa hormat kami-- akan disampaikan oleh Bapak Dr. Suwendi (salah satu pejabat inti di Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI di Jakarta)
Kemudian,  Bapak KH. Asror Muhammad akan pula memberikan wejangan-wejangannya yang amat sangat dirindukan oleh kita semua yang telah hadir di sini.
Dan Berikutnya, Ibunda Nyai Hajjah Masriyah Amva, Tak lupa kami mohon untuk menyampaikan  nasehat dan bimbingan2nya kepada kita sekalian, terutama bagi ibu-ibu majelis taklim yang sudah menanti-nanti momentum ini.

Bapak Ibu yang berbahagia, mari sambut Bapak dr Suwendi….
Terimakasih Bapak dr Suwendi yang telah memberikan siraman air sejuk bagi rohani kita.
Berikutnya, Bapak KH Asror Muhammad kami persilahkan.
Kepada Bapak KH Asror Muhammad, kami ucapkan limpah terima kasih, atas wejangan2nya yang insya Allah amat bermanfaat bagi kita sekalian.
Sebuah Puisi dari Ibunda Masriyah Amva

Telaga Indah

Telaga indah ini…
Kucipta dari air mata

Kuteteskan di setiap lara
Kuperas di setiap duka

Telaga indah ini
Melahirkan cerita legenda

Dan menjadi saksi…
Saat-saat aku peluk erat diri-Mu

Erat
Sangat Erat

Dan tak mau terpisahkan
Dan tak mau terlepaskan

Pelukan itu…
Adalah lambing ketentraman

Air mata itu…
Adalah lambing kedamaian

Sampai kini…
Pelukan itu tak pernah terpudarkan

Sampai kini…
Air mata itu tak pernah kuhentikan.


Hadirin yang berbahagia, mari kita sambut Ibunda Nyai Hajjah Masriyah Amva.
Terima kasih Ibunda. Terima kasih sedalam-dalamnya kami haturkan kepada Bapak Suwendi, Bapak KH Asror dan Ibunda Masriyah Amva yang telah sudi meluangkan waktunya untuk mengisi ruang kosong dalam sanubari kami.
Insya Allah apa yang telah Bapak dan Ibu sampaikan pada malam ini, akan senantiasa kami kenang, kami ingat dan kami praktekkan dalam kehidupan kami semua.
Tak terasa, malam semakin menebarkan hawa dinginnya, Detak jam bergerak tiada terhentikan. Ingin rasanya hati berlama-lama menuntaskan kerinduan ini. Namun sang waktu telah membatasi.
Marilah kita tutup acara kita ini dengan doa yang akan dibawakan oleh Al Ustadz, H. Makmur Rodli, BA.
Kalau ada sumur di ladang bolehlah kita menumpang mandi, kalau ada umur yang  panjang bolehlah kita berjumpa  lagi.
Tiada gading yang tak retak. Tiada sungai yang tak berriak.  Kami ucapkan terima kasih seraya memohon maaf bilamana ada kata dan sikap yang tidak berkenan.


والله الجزيل إلى أقوم السبيل
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

Ketika Hasrat Menulis Beku


Sangat sulit mempertahankan gairah untuk menulis. Terutama saat aku merasa sibuk oleh pekerjaan. Padahal sebenarnya untuk menulis tidak butuh waktu seharian. Menulis apa saja yang ringan dan terjadi di keseharian, bisa menjembatani kekosongan ide. Paling tidak bisa membuatku terhindar dari kekakuan karena terlalu lama tidak menulis sesuatu.

Kesannya jadi asal-asalan aja sih. Tapi memang inilah yang harus dilakukan agar aku bisa intens menulis. Natalie Goldberg pernah mengatakan bahwa dia terus menulis setiap hari meski tulisan itu tidak berarti apa-apa. Ia sekedar menuliskan apa yang ada di pikirannya, apa yang dilihatnya, apa yang dialaminya. Semua itu ia lakukan demi membiasakan diri menulis. Menulis secara bebas. Tidak perlu memikirkan kualitas tulisan, tidak perlu memikirkan siapa yang akan membaca tulisannya, tidak perlu memikirkan untuk apa tulisan itu dibuat. Just write.

Jadi sekarang, aku menulis tentang ini. Entah apa isinya sebenarnya. Yang jelas, ini kuibaratkan pemanasan sebelum latihan inti dalam olahraga. Sudah lama aku libur menulis. Aku sempat mengikrarkan One Day One Poetry, yang ternyata dengan sukses aku ingkari. Terakhir aku merasa menulis beneran adalah saat aku menulis Romantisme Sendu Setoples Cengkeh. Aku menjadi malas menulis berdalihkan aku harus mengikuti diklat. Lalu demi tidak kosongnya otakku, aku menulis catatan untuk adikku di sela-sela materi diklat yang membosankan itu. Dan memposting ulang cerpen SGA, penulis favoritku, yang kutemukan saat iseng browsing. Itu berarti aku hanya menulis dua catatan harian saja selama rentang waktu yang panjang itu. Aku tidak menghitung postingan cerpen SGA karena itu bukan tulisanku.

Hitung-hitung, melemaskan jari-jari yang sudah kaku. Jika saja jari-jari ini otomatis mengetikkan kalimat-demi kalimat yang terlintas di otakku, betapa senangnya. Tapi itu kan cuma khayalan saja. Menulis adalah kerja keras. Aku harus memaksakan diri. Dan mengumpulkan seluruh energiku agar bisa menulis lagi.

Aku juga ingin berterima kasih pada semua guru-guruku sejak TK sampai Perguruan Tinggi, yang mengajarkanku aksara-aksara yang jika kita pandai merangkainya dapat kita gubah menjadi tulisan yang indah dan menginspirasi. Aku lupa terlalu lama untuk menyebut jasa mereka. Meski belum apa-apa, dan belum menghasilkan apa-apa, tapi aku berkat mereka telah merasakan nikmatnya menulis.

Sudahlah...cukup meracaunya. Berdoa saja, besok satu atau dua buah cerpen bisa aku tulis. Tadi sudah mencoba, tapi urung di paragraf ketiga. Ada yang masih mengganjal di pikiranku. Seseorang yang mungkin telah completely erased me from his memory... Hallaaahh semakin ngawur saja....

Demikianlah...pemanasan ini. Maaf jika harus terpaksa membully mata anda untuk membaca tulisan nggak karu-karuan ini. Maaf satu trilyun kali.

Menemukan Tuhan


Tuhan itu dekat. Bahkan lebih dekat dari urat nadi di lehermu.

Begitulah yang tertera dalam kitab suci. Begitulah yang dikatakan oleh orang-orang suci. Orang-orang yang sejak zaman azali telah Tuhan tetapkan untuk bernafas, berjalan dan hidup sepenuhnya di jalan Tuhan. Bagi mereka, mudah sekali untuk menemukan Tuhan. Sebab sejak ruh ditiupkan ke dalam raganya, telah disemayamkan dalam detak pertama jantungnya keagungan nama Tuhan. Selanjutnya, begitu saja, mudah saja, seperti telah digerakkan oleh mesin, bibir mereka --orang-orang suci itu-- selalu basah oleh nama Tuhan.

Tapi bagi orang-orang yang pernah tersesat, orang-orang yang kehilangan jalan, orang-orang yang menyimpan tanda tanya besar akan 'wujud' Tuhan, pertanyaan dimana Tuhan adalah perjalanan panjang yang bahkan kerap menghabiskan seluruh waktu pencariannya. Tak jarang orang-orang itu, harus berjibaku, dengan perang batin dan petualangan yang mencengangkan. Dan ketika sampai pada saat mereka menemukan bahwa Tuhan selalu bersemayam di dalam dirinya, mereka telah sampai di ujung nyawa. Meski demikian, di akhir nafasnya, merekalah yang sesungguhnya paling bahagia.

Mereka adalah para pencari Tuhan. Orang yang dianugerahi jiwa penjemput hidayah. Bukan hanya sekedar menjalankan tradisi dan ritual yang telah ada sejak lahir. Mereka memilih jalan untuk menelusuri keberadaan Tuhan. Mencari kebesaran kuasa Tuhan melalui pertanyaan-pertanyaan yang menggema dalam hatinya. Lalu berjalan menyeruak keramaian orang-orang. Bercampur dengan hitam dan kerasnya kehidupan. Menghirup bau mulut orang mabuk. Berkeliaran dan melanggar aturan.
Meretas jalan terjal yang mungkin menghantarkan dirinya kepada penemuan akan kehadiran Tuhan.

Di saat mereka tenggelam dalam wilayah yang dianggap hitam, justru mereka sesungguhnya tengah meneriakkan nama Tuhan. Tengah berbicara dan memohon, Tuhan temukan aku... Tuhan bawalah aku dalam rengkuhanMu...Tuhan jangan tinggalkan aku.

Berbahagialah mereka yang tidak pernah mengalami, apa yang sering orang sebut sebagai jalan sesat. Namun sejatinya, orang yang pernah tersesat saat mencari kebenaran, yang tersaruk-saruk menemukan Tuhan, adalah mereka yang lebih disayang oleh Tuhan...atas semua yang telah mereka lalui.