Bahwa saya adalah seorang yang lebih berbakat untuk menulis ketimbang untuk berbicara, hari ini terbukti sudah. Dengan segala desakan situasi, saya tidak mungkin lagi menghindar dari permintaan atasan saya; Drs. H. Pua Monto Umbu Nay untuk menjadi pembicara pada sebuah kegiatan orientasi di kantor. Jika dulu-dulu, jika ditawari saya selalu berhasil mengelak dengan dalih masih ada orang lain yang lebih berkompeten. Maka untuk kali ini tidak.
Dalam catatan saya yang lalu, saya pernah menulis tentang kepergian seorang ulama di Waikabubak yang amat sangat membuat kehilangan banyak orang. Beliau adalah salah satu dari beberapa orang yang sulit kami dapatkan di Sumba Barat untuk didapuk sebagai pembicara pada kegiatan-kegiatan serupa di kantor saya. Sementara, dua orang pembicara lainnya yang sejak kedatangannya beberapa tahun yang lalu ke kota kecil ini selalu siap siaga bila kami hubungi, sudah pindah tugas kembali ke kampung halamannya masing-masing.
Maka, kantor kolaps. Serupa dengan jantung yang sudah hampir tak kuat lagi bekerja karena salah satu biliknya yang tak lagi berfungsi. Mau mencari dimana, pembicara yang harus membawakan materi-materi keagamaan kepada para peserta orientasi? Sementara, untuk menjadi pembicara, yang paling utama adalah bahwa seseorang harus memiliki kemampuan berbicara di depan audience, disamping harus memiliki kompetensi keilmuan yang memadai. Beruntung, ketika jeda kekosongan pembicara itu berjalan, DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) belum lagi bisa dicairkan karena masih bertanda bintang. Yang artinya belum dapat dicairkan sampai adanya pemberitahuan dari atas. Sehingga kami tidak perlu buru-buru berpikir siapa dan dimana kami dapatkan pembicara untuk semua kegiatan orientasi yang terpapar di dalam DIPA tersebut.
Sampailah pada hari dimana kegiatan perdana di kantor kami, khususnya di seksi Bimas dan Kependais, harus segera dilaksanakan. Semua persiapan sudah beres. Tinggallah menentukan siapa pembicaranya. Saya tegang. Keringat dingin mengucur di dahi. Sudah bisa dipastikan, Ustad Monto, begitu biasanya atasan saya disapa, akan menunjuk saya untuk menjadi pembicara. Dan bisa dipastikan pula, kali ini saya tidak boleh menolak. Sebab bila menolak, saya akan diusir dari Sumba Barat, begitu seloroh Ustad Monto kepada saya. Tinggallah saya dengan beban maha dahsyat di pundak, lunglai memikirkan semuanya.
Saya dengan sadar berusaha mempersiapkan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sungguh amat memalukan bukan bila saat berbicara di depan audience tiba-tiba mulut terkunci dan lidahpun kelu. Lain hal dengan menulis, kita tidak akan mengalami hari naas serupa tidak mampu berbicara, sebab saat terjadi writers block, momen disaat penulis mengalami kebuntuan dalam menulis, tidak ada seorangpun yang tahu.
Saya rupa-rupanya memang ditakdirkan untuk menjadi golongan orang-orang yang memiliki kecerdasan tulisan lebih tinggi dibanding kecerdasan lisan saya. Sepanjang sesi materi yang saya bawakan tadi saya merasa telah menjadi pembicara yang gagal. Sebab banyak audience yang saya lihat terkantuk-kantuk. Saya lebih sering bertemu pandang dengan layar proyektor ketimbang dengan audience. Dan... datar. Semua audience melongo, entah mengerti atau tidak.
Saya membacakan semua materi dengan cepat supaya segera selesai semuanya. Dan saya terbebas dari tugas yang maha dahsyat ini.
Ketika saya hendak menutup sesi materi saya, saya menukilkan sebuah slogan yang serupa doa. Saya mendapatkannya dari Ibu saya saat saya masih gadis kecil yang susah disuruh mengaji. Entah darimana ibu saya mendapatkannya. Yang jelas, biasanya slogan tersebut seolah mantra yang bila saya sudah merapalkannya dengan sepenuh hati, maka hati yang berat bisa berubah menjadi ringan.
Namun apa yang terjadi, ketika saya menyebutkan slogan itu? Semua audience tertawa dan giliran saya yang melongo.
Slogan saya itu adalah Allahumma Paksakaaaaaan.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar