Lebaran Pertama

Ini adalah lebaran ke tiga puluh tujuh kalinya dalam hidup saya. Semua nyaris sama suasananya. Penuh kegembiraan, celoteh riang, huru-hara di dapur, isak tangis saat bersilaturrahim dan syahdunya sholat ied jamaah di lapangan atau masjid. Namun bagi saya, ini adalah lebaran yang sarat makna. Untuk pertama kalinya, saya merayakan lebaran di rumah sendiri.

Ya, rumah sendiri. Rumah yang saya bangun bersama suami untuk tempat berteduh kami sekeluarga. Tempat kami pulang melepas penat dari perjalanan mencari penghidupan. Sebuah kotak kecil yang dipenuhi riuh rendah suara canda dan tawa anak-anak. Namun ketika masuk ke dalamnya, saya merasa seolah berada di tempat terluas dan ternyaman yang pernah ada di dunia. Mungkin itulah makna filosofi 'rumahku istanaku'.


Butuh waktu lama untuk saya bisa meyakinkan suami agar segera membangun istana kami. Sudah terlalu telat karena dengan beberapa alasan suami saya selalu menunda rencana itu. Bagi para suami, yang lebih sering menghabiskan waktunya di luar ketimbang istri, memiliki rumah kadang dipandang kurang mendesak. Sementara untuk saya dan banyak istri-istri lain di dunia ini, rumah adalah the most wanted thing in the world yang harus dimiliki setelah berumah tangga. Ini bukan sekedar kebanggaan, melainkan kebutuhan. Meskipun jika pada akhirnya menjadi sebuah kebanggaa, maka itu saya anggap sebagai bonus saja.

Kami mulai membangun rumah impian pada tahun 2008. Saya sangat bersemangat melihat patok-patok bambu penanda garis pondasi rumah ditancapkan diatas sebidang tanah yang kami beli setahun sebelumnya. Waktu itu harganya lumayan tinggi buat kami yang berpenghasilan pas-pasan. Untuk sebidang tanah seluas 450 m2, kami membayarnya dengan harga Rp. 70.000,- permeter. Kemudian tahap demi tahap, kami berusaha sekuat tenaga agar pembangunan rumah kami bisa selesai. Segera kami tempati dan kami tidak lagi tinggal di kamar kost yang sempit di Jalan Selekta. Ternyata membangun rumah sangat menguras energi dan uang kami. Walhasil, baru dua tahun kemudian saya dan suami bisa memboyong keluarga kecil kami ke rumah baru.

Maka, angan-angan saya untuk berlebaran di rumah sendiri melayang-layang di benak. Membayangkan menata rumah dan menyiapkan sajian lebaran membuat saya bergairah. Hanya saja, Tuhan belum membolehkan saya merasakan sensasi berlebaran di rumah sendiri itu. Dalam proses pembangunan rumah, kami harus mengalami kedukaan demi kedukaan. Ayah mertua dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa. Yang disusul dengan kesehatan ibu mertua yang langsung drop sepeninggal almarhum ayah mertua. Otomatis, moment-moment seperti lebaran menjadi waktu wajib mudik bagi saya dan suami. Pulang menemani ibu yang masih berkabung. Lalu setahun kemudian ibu mertua pun pergi menyusul ayah mertua ke tempat berpulang selamanya. Kami berkabung untuk kedua kalinya. Sehingga lebaran yang datang berikutnya pun menjadi tak elok bila kami rayakan sendirian di rantau. Kali ini kami harus memikirkan adik perempuan suami saya yang harus tinggal sendirian di rumah peninggalan ayah dan ibu mertua.

Rumah dan lebaran selama tiga tahun terakhir ini, menjadi semacam dikotomi. Kami memang masih berlebaran di rumah, namun di rumah peninggalan orang tua suami. Dan rasanya kami tidak boleh merasa berhak memiliki _dalam artian sebenarnya_ rumah itu. Lain halnya dengan rumah mungil yang kami bangun sendiri dengan tetesan keringat dan air mata. Kami benar-benar memiliki rumah itu. Rumah kami sendiri.

Jadi sangat bisa dimengerti bukan, bagaimana saya sangat ingin merasakan denyar-denyar di dada saat berlebaran di rumah saya sendiri?

Inilah saatnya. Saya, menata gelas-gelas jangkung, menghidangkan kue-kue lebaran, ketupat dan opor ayam, menghias sudut rumah dengan bunga-bunga, dan tertidur kecapekan setelahnya berbantal lengan suami sambil tersenyum puas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar