Sebuah Pinta



Aku ingin menjadi kenangan yang tak lekang ditelan zaman. Cukup di hatimu. Cukup di ingatanmu. Menjadi purba dan menua. Tapi tak jua sirna. 

Langgam Bisu

Inilah kita. Tembang rapuh yang berletih-letih kita gumamkan. Tak peduli gamelan membawa kita entah kemana. Kita tetap membisikkan nada.

Inilah kita, Tuan. Pengelana yang dahaga untuk saling sua. Mengerat jarak selipat demi selipat. Mengukur sedalam apa bibir kita menyelam. Menerka-nerka adakah cinta dalam hela nafas kita.

Cinta kita, Tuan. Apakah serupa tembang lirih? Atau sekedar nyanyian sedih. Aku tak lagi peduli. Selagi Tuan masih di sini.

Stop.....! And Start Right Now.

Setelah 4 jam mantengin blog Dee Idea, Catatan Bhaskoro dan Rusdi goBlog, jadi gak bisa tidur. Ada beberapa letupan kecil di otak yang  minta perhatian. Butuh bingkai agar tak berlarian kesana sini lalu lenyap lagi. Blog saya sudah rehat terlalu lama. Bahkan seperti sedang hibernasi saja. Tidur panjang. Meskipun isinya bukan apa-apa jika dibanding dengan blog-blog keren yg bertebaran di dunia maya. Tapi setidaknya itu ada bukti eksistensiku. "Aku menulis maka aku ada".  Setelah sekian lama mencoba mengikat kata dalam tulisan, saya masih terus mencari-cari format yang top markotop untuk menulis. Tidak kurang artikel tentang menulis saya gilas. Semua hampir sama. Tapi toh saya tetap mencari.

Lalu sampai kapan saya akan mencari? Dee berkata di salah satu artikelnya; "tidak ada cara lain untuk menulis kecuali dengan menulis".

Berhenti iri pada tulisan orang lain!
It fucking waste your time.
Berhenti mencari rumus jitu menulis!
Its only a finger  a way to start it up right now. Berhenti memaksakan diri untuk menulis sesuatu yang kamu bahkan tidak suka hanya karena ingin terlihat keren dan cerdas.
Being a fiction writer isnt that bad.

Jangan mati sebelum kamu menulis. Or die when trying to is even better.

Seperti Kita...

Seperti ombak, yang jauh memantul-mantul di samudera. Berderai. Mengganas. Mengalun. Berriak bak tawa kanak-kanak. Jauh mengunjungi palung terdalam. Menyisiri teluk-teluk permai. Mengejar segala yang berlari. Untuk kemudian kembali ke pantai. Lalu abadi.

Serupa angin, yang riuh. Menerpa segala menjadikannya bergeretak. Singgah di dataran terentah. Melaju kencang mendaki puncak tertinggi. Membeku diam di bekunya salju yang temaram. Lalu segera berkesiur di sela daun nyiur. Dan tiba-tiba luluh lantak kota-kota yang diamuk amarahnya. Setelah itu sepi. Tak ada yang tahu ia tlah pergi.

Dan hujan. Dari bumi ia merambat langit yang luas. Berarak-arak merayap angkasa tak berbatas. Lalu derai. Lalu berai. Jatuh menghunjam. Membelah. Membasah. Menyusup di celah-celah. Memuaskan dahaga. Dan mengirimkan duka. Hujan ialah airmata. Yang tak mungkin kering meskipun ia tiada.


Barangkali, seperti itulah kita.

Kelu

Kau terlelap. Begitu senyap. Sementara aku terus mengembara mencecar jalan-jalan tak bernama . Kita pernah sedemikian erat. Terpagut rekat meski kadang salah satu diantara kita merasa terjerat. Lalu tetiba kita tidur berseberangan tempat. Kau begitu diam dalam tidurmu yang dalam.

Aku berkelana. Meraih-raih jawab akan sebuah tanya. Jauh menyuruk suluk hingga ufuk bersurai cahaya. Kucari-cari dirimu yang terasa maya. Kau begitu kelam, begitu jurang. Aku sendiri. Padahal ragaku ragamu tengah gegap menari.

Kuambil bibirmu yang kelu. Kulumat dalam gemerisik hati yang bertalu. Menyebut-nyebut namamu di kebekuan yang bisu.

Kita pernah di sini. Kita tak lagi asing kini.

Cinta Separuh Hati






Lengang menyergap ruangan pengap. Setumpuk berkas menggunung menghalangi pandangan ke arah pintu. Suara desis kipas angin dalam Control Processor Unit sebuah komputer tua di sampingku menyita atmosfer yang lembab. Aku terpejam menikmati kesendirianku di tengah kepungan map, buku dan layar komputer. Kantuk mulai mengintai di sudut mataku, ketika nada dering ponsel di saku celanaku berteriak melagukan Heavennya Eric Clapton.

Kantukku menguap. Gerutu yang sudah siap muntah dari mulutku tertelan lagi. Di layar ponsel tertera namanya, berkedip-kedip menggodaku. Aku memperbaiki posisi dudukku, sebelum menekan tombol hijau. Seolah seseorang yang tengah menanti telponnya kuangkat ini, ada di depanku.

“Hei, finally,” sapaku renyah.

“Ya, emmm, ini dirimu kan? Kupikir dirimu tidak nyata.  Ternyata bahkan suaramu lebih merdu dari yang kubayangkan. Sibukkah? “

Aku tertawa kecil, menutupi gugupku. Aku sudah beberapa kali menerima pujian dan puisi-puisi pendek darinya melalui messenger. Tapi mendengar suaranya yang basah menggelitik ujung telingaku, memompakan geletar aneh yang hebat. Jantungku tiba-tiba tidak mau kompromi, berdetak keras melebihi biasanya.

“Tidak, aku tidak sedang sibuk kok, kebetulan sedang istirahat. Bukankah kamu yang lagi sibuk riset?”

“Ya, seperti biasa, aku dikejar deadline laporan ke lab di Jakarta hari ini, tapi sinyal seperti tak bersahabat denganku, jadi kuputuskan untuk menghubungimu. Lagipula aku sudah ingin sekali berbincang langsung denganmu,” dia menyambung kalimatnya dengan tawa, aku membayangkan sungging senyumnya, “ ini sangat menakjubkan bukan?”

“ Ya, hampir tidak percaya kamu benar-benar menelponku.”

“Its so amazing to me,” katanya pelan tapi pasti.

Aku mendadak menggigil ketika  tanpa kuduga dia berkata bahwa kemarin saat senja memerah di ujung horizon dia mengingatku sepenuh laut. Tentang betapa bahagianya dia menemukan seorang perempuan yang menyukai senja dan laut sepertiku. Dia kemudian berjanji akan berkirim pesan beberapa hari lagi, setelah dia menuntaskan risetnya yang ke sekian di sebuah desa di ujung barat pulau ini.

“Nice to talk with you,” katanya menutup perbincangan kami senja ini.

Perbincangan yang menguras tenagaku. Meski tak lebih dari dua menit, selepas menutup ponselku, mendadak aku lunglai. Namun aku merasa ada diam-diam tumbuh dan mengakar di jauh relung hatiku. Dan dengan caranya sendiri, ia memberi tenaga pada tubuhku. Pelan-pelan menelusup mengikis lunglaiku, menginfus setetes demi setetes kesejukan yang sulit kujabarkan dengan kata.

Senja yang penuh senyum ini bermula dari sebuah senja yang telah jauh berlalu. Saat hatiku sedang dirundung rusuh dan melarikan  seluruh cengkramannya yang meremukkan pikiranku ke gunungan map-map pekerjaanku. Saat itu aku tak berniat pulang. Menyerahkan diri pada kekalutan yang panjang. Biar kutumpahkan sesak dadaku pada berkas-berkas yang keleleran di mejaku. Setidaknya mereka setia mendengarkan lenguhanku, meski mereka tak bisa bicara.

Lalu entah dari langit mana, sebuah sapa menghentikan gerakanku. Ini sebuah sapa yang biasa. Namun sama sekali aku tak menduga kalau pada akhirnya setiap kata-katanya yang ditujukan padaku menjadi terasa luar biasa.

“Selamat menikmati senja. Salam kenal.”

Aku melenguh lagi untuk kesekian kali. Kubiarkan sapaan itu menggantung di udara sampai beberapa lama. Beberapa hari. Bahkan hampir kulupakan keberadaannya. Sampai suatu ketika kudapati lagi sapaan serupa yang tak bisa tidak membangkitkan rasa penasaranku untuk membalasnya. Siapa sih dia, aku membatin sambil memandang layar ponselku.

“Separuh jingga dan secangkir kopi. Semoga Puan tengah bahagia senja ini.”

Aku berpikir keras. Kalimat apa yang akan kurangkai demi membalas sapaannya yang puitis. Ini hal yang baru dan aneh bagiku sebenarnya. Tapi mengabaikan sapaannya pasti  terkesan tidak sopan. Bahkan bila seseorang yang menyapa itu adalah orang yang tidak dikenal sebelumnya. Lagipula di tengah arus informasi yang mengglobal ini, bukankah dunia seperti menyempit dan semua orang terhubung? Jarak mengkerut dan membuat orang asing menjelma menjadi orang yang dekat.

Kutekan tombol huruf-huruf di ponselku.

“Salam, makasih sudah menyapa di senja yang jingga ini.”

Sejak itulah berderet-deret kalimat selalu menjadi penawar letih dan sepiku. Dia sungguh teman berbincang yang baik. Sangat terbalik dengan pengakuannya bahwa dia orang yang cenderung pendiam, lebih fasih menulis ketimbang bicara. Dari caranya meresponku, aku tahu dia adalah seorang pendiam yang punya kepedulian pada lawan bicaranya.

Kemudian di jeda waktu yang lain, aku dan dia terlibat diskusi-diskusi yang panjang dan menarik tentang film. Hal lain yang semakin mendekatkan aku dan dia. Ditunjang oleh fasilitas dan domisilinya yang tinggal di jantung peradaban, dia membuatku kagum tentang koleksi film yang pernah ditontonnya. Sementara aku hanya bisa ber’oh setiap kali dia berkisah.

“Aku heran,” katanya di suatu siang seusai diskusi tentang artikel medis yang aku baca di media online.

“Kenapa?

“Apa yang kamu lakukan di dunia antah berantah seperti ini. Perempuan secerdas dirimu ditengah pulau terpencil dan terbelakang.”

Aku hanya bisa tersipu. Kubayangkan dia mengatakan itu sambil menatapku dan tersenyum.

“I’m just an ordinary woman.”

“With extraordinary personality. Apakah dirimu tidak tertarik untuk keluar dari tempurung yang mengungkungmu? Menghirup segarnya ilmu, meraih gelar master. Aku yakin kamu akan dengan mudah mendapatkan beasiswa di luar negeri. Mereka umumnya lebih tertarik kepada perempuan cerdas dari daerah terpencil di dunia ketiga. Seperti dirimu.”

“Aku tidak tahu. Aku mungkin tidak akan bisa keluar dari pulau ini. Dan beasiswa luar negeri itu, kedengarannya cuma mimpi bagiku.”

Dia seperti biasa, terus menghamburiku dengan kata-kata indahnya. Aku bahkan tidak bisa membedakan apakah kata-kata itu termasuk rayuan gombal, atau memang mengalir murni serupa mata air di pegunungan. Yang ku tahu, dia begitu pandai memompa semangatku untuk mencari tahu langkah-langkah besar apa yang telah tertapak di dunia luar sana. Menelusuri ketertinggalanku karena terkurung di dunia yang sepi dan jauh.

Lama kelamaan, aku ketagihan pada dirinya. Pada renyah sapaannya. Pada hangat candaannya. Terlebih pada caranya memperlakukan aku. Begitu berbeda. Seingatku baru kali ini aku bertemu dengan seseorang yang memuji otakku bukan tubuhku. Lalu merayuku bukan dengan rayuan gombal, melainkan dengan mengirimiku puisi-puisi. Aku tak peduli walaupun sebagian puisi itu adalah puisi dari para penyair ternama di negeri ini. Aku meresapi kalimatnya seolah itu adalah ungkapan hatinya untukku.

Siapa perempuan yang tidak terpikat hatinya, bila tiba-tiba di penghujung malam, saat sang fajar mulai menyulurkan benang-benang cahayanya di langit yang masih tertidur, sebait puisi “Menulis Cinta” merambat di telinga.

Hingga detik ini aku masih mengingat dengan apik, bait terakhir puisi Sitok Srengenge itu.

Sebab cinta adalah kau
Yang tak mampu kusebut
Kecuali dengan denyut

Kuduga, dia pun mengalami hal yang sama. Meski kadang aku ragu sebab kupikir mungkin saja dia hanya ingin menunjukkan padaku tentang begitu banyaknya puisi-puisi indah di dunia ini. Bukan sedang mengungkapkan isinya padaku. Tapi, seharusnya dia sadar, bahwa bagi perempuan sepertiku, dikirimi sebait puisi sama nilainya dengan dikirimi seikat bunga mawar.
Jadi aku terus menduga-duga seperti apa hatinya dibalik semua kalimatnya. Sampai suatu malam yang penuh gemintang. Dari tepian pantai selatan di ujung barat pulau ini, dia kembali mengirimiku sebait puisi yang dikutip dari seseorang di entah.

Andai engkau mau menyelam lebih dalam di dadaku.
Engkau akan menemukan yang engkau cari.
Dirimu sendiri

“Apakah kau mencintaiku?” aku tidak tahan untuk bertanya.

“Aku sangat….mengagumimu.”

Seketika terang benderanglah padang luas di hatinya yang sedetik lalu terasa samar dan kelabu. Aku tergugu. Lalu memutuskan untuk tidak lagi menemuinya, berbincang dengannya. Aku tidak ingin terseret oleh arus liar yang terus menggelegak di dalam jeram kedekatan ini. Aku menutup diri darinya.

Namun rupanya  aksi nekatku mengucilkan diri darinya, malah membuahkan sebuah kejutan yang memporakporandakan kewarasanku. Tiga hari setelah kunonaktifkan ponselku. Aku terhenyak begitu kembali kunyalakan ponselku. Sebuah surel berisi catatan singkat menukik-nukik di mataku.

Secangkir kopi, tanah yang basah oleh gerimis pagi ini. Sudahlah aku tak ingin berpura-pura tak merindukan perempuanku di ujung sana. Perempuan yang seperti kata sebuah puisi, berselendang bianglala…

Tidak terasa, kristal-kristal bening luruh dari ujung kelopak mataku. Aku tergugu. Pada titik yang beku ini, segala tafsir analitis tak mempan untuk menerjemahkan kalimat yang jernih dan sederhana itu.

Lalu aku menyerahkan diri dengan segala kesadaranku kepadanya. Kepada sanjungannya yang melambungkanku ke langit penuh gemintang. Menembus lembutnya awan. Merasai gigilnya gerimis.  Aku bertekuk lutut pada ketidakpastian hatinya yang berselimut pendar-pendar cahaya yang mempesona. Aku sudah tak peduli pada definisi dan makna. Meleburkan diri pada petualangan mendebarkan yang menurutnya membuat hidup lebih menarik karena hadirnya yang tanpa direncanakan. Spontan seperti tawa kanak-kanak. Hadir begitu saja seperti gerimis di pagi hari bulan November ini..

Kukira dia terjebak pada geletar rasa yang sama anehnya sepertiku. Hanya saja dia jauh lebih pandai untuk menetralkannya. Mungkin lebih tepatnya jauh lebih pandai mengelabui hatinya. Meski tak urung sempat tersirat juga ketakutannya kehilanganku.

“Lalu apa artinya catatan yang kukirimkan untukmu,” ujarmu sengit ketika aku meragukan hatimu.

Aku terdiam. Dan sejurus dia kembali melunak.

“Aku menulis catatan itu saat mengingat dirimu.”

Ah, benarkah dia takut kehilangan diriku? Sampai ratusan senja berlalu sejak saat itu, aku tidak pernah tahu persis jawabannya. Dia hanya berkata hidup yang dijalani dengan berpindah dari satu rutinitas ke rutinitas lain tak lebih seperti mesin. Beku dan dingin.

Aku tetap tidak tahu, bahkan setelah mendengar suaranya di ujung ponsel yang menggigilkanku. Kurasa sampai kapanpun aku tidak akan pernah tahu. Sebab mungkin saja tidak ada yang perlu aku ketahui dari petualangan aneh ini. Ini sekedar pemecah kebekuan hidup baginya. Hanya pelarian dari rutinitas yang mengikat dan menjemukannya. Ini cuma hiburan untuk kesepiannya.

Senja telah menipis. Menyisakan coretan samar berwarna jingga di ujung cakrawala. Aku butuh pulang sekarang. Menemui seorang lelaki yang selalu tenggelam dalam diam. Tenggelam di dunianya sendiri. Mungkin aku akan menelusupkan kepalaku di dadanya, meleburkan pening dan mencari damai di sana. Atau sekedar menyinggahkan sekecup ciuman dari bibirku di pipinya.

“Pa, jemput aku ya.”

“Aku sibuk.”

Tut, tut, tuuuut.

Kembali ke Titik.

Seperti ombak, yang jauh memantul-mantul di samudera. Berderai. Mengganas. Mengalun. Berriak bak tawa kanak-kanak. Jauh mengunjungi palung terdalam. Menyisiri teluk-teluk permai. Mengejar segala yang berlari. Untuk kemudian kembali ke pantai. Lalu abadi.

Serupa angin, yang riuh. Menerpa segala menjadikannya bergeretak. Singgah di dataran terentah. Melaju kencang mendaki puncak tertinggi. Membeku diam di bekunya salju yang temaram. Lalu segera berkesiur di sela daun nyiur. Lalu luluh lantak kota-kota yang diamuk amarahnya. Setelah itu sepi. Tak ada yang tahu ia tlah pergi.

Dan hujan. Dari bumi ia merambat langit yang luas. Berarak-arak merayap angkasa tak berbatas. Lalu derai. Lalu berai. Jatuh menghunjam. Membelah. Membasah. Menyusup di celah-celah. Memuaskan dahaga. Dan mengirimkan duka. Hujan ialah airmata. Yang tak mungkin kering meskipun ia tiada.

Barangkali, seperti itulah kita.

Lorong Waktu

Setiap orang seharusnya merasa bahagia. Setiap orang berhak bahagia. Setiap orang layak untuk berbahagia. Entah mengapa kalimat-kalimat itu terus menerus bergaung di benakku. Memantul-mantul seperti gema dalam gua di kepalaku. Sedikit menerorku hingga membuat sekejap dua kejap aku dihampiri ketakutan. Tapi kadang justru terasa menentramkan. Damai. Dan mungkin bahagia.

Siapapun memerlukan rasa bahagia. Beberapa kali aku mendengar itulah yang membuat usia seseorang panjang. Meski mungkin tak sepanjang umur orang-orang tua renta di dataran tinggi Nepal atau Himalaya yang sepanjang hidupnya hanya memakan makanan organik hasil tanaman mereka sendiri. Ayahku sendiri percaya tasbih panjang sejumlah seribu butirlah yang membuat usiamya bertahan hingga 70 tahun saat ini dan beliau sehat seperti kuda. Aku setengah yakin setengah tidak pada ucapan beliau. Yang pasti aku tersenyum dan itu adalah secuil bahagia yang ayahku tebarkan pada keluarganya.

Meskipun pada akhirnya seseorang harus meninggal, alangkah indahnya bila kematian itu datang dengan cara yang indah. Dengan rasa bahagia. Karena  mungkin ada secercah keyakinan sesuatu yang jauh lebih baik dari kehidupan dunia ini tengah menunggu di balik sana.Tapi mungkinkah seseorang yang bahagia akan tetap bahagia? Mungkinkah seseorang yang sedih bisa bertransformasi menjadi pribadi yang bahagia? Bisakah seorang yang ingin bahagia lalu ia mendapatkan kebahagiaannya? Itu adalah pertanyaan yang membutuhkan perjuangan untuk menjawabnya. Terutama bila kau tahu bahwa pertanyaan itu ditujukan kepada penderita sebuah penyakit mematikan. Kanker.

Bagaimana caranya seseorang bisa bahagia dengan kanker di tubuhnya?

Sulit. Karena bisa dipastikan semua penderita kanker akan mengalami lonjakan emosi drastis. Perasaan terpuruk dan getir yang teramat nyeri, bahkan lebih nyeri dari kanker itu sendiri, mengikis setiap celah yang tadinya dihuni oleh rasa bahagia. Perasaan yang teramat menghunjam seperti belati yang ditusukkan di ulu hati. Perasaan ingin mati saja, tapi tidak bisa semudah dan secepat yang diinginkan. Tidak secepat kematian yang terjadi pada seseorang yang tengah membonceng kekasihnya dengan mesra diatas sepeda motor, tapi ia tak menyadari bahwa saat ia akan menikung sebuah mobil berkecepatan tinggi melesat begitu saja di hadapannya. Motornya terpelecat beberapa meter. Ia jatuh dengan kerasnya di trotoar dengan kepala mendarat duluan disudutnya. Setelah sebelumnya bemper mobil itu sukses membentur dengan hebat badannya. Ia seketika menemui ajalnya.

Sebelum mati penderita kanker harus mengalami masa tersuram dalam hidupnya. Menunggu ajal yang pelan-pelan merambat mendekatinya. Memakan detik demi detik waktu yang mungkin tersisa. Entah sampai kapan. Pengingkaran, kemarahan, penyesalan, sejuta pertanyaan tentang mengapa bergelut dahsyat dengan kesedihan. Hingga pada waktunya nyawa terpisah dari raga, meninggalkan semua yang dimiliki. Atau mungkin meninggalkan semua yang tak lagi dia miliki. Hampir bisa dipastikan pergolakan itulah yang lebih membunuh orang yang memiliki kanker, ketimbang kanker itu sendiri.

Katakan padaku, seperti apakah rasanya menunggu ajal? Apakah seseorang yang secara tehnik dia sudah tahu bahwa ajalnya sudah dekat masih bisa merasakan bahagia? Masih mampu untuk melihat hidupnya secara optimis?

Aku bertaruh kau tak tahu, tak seorangpun tahu hal itu. Jadi, aku memutuskan untuk mencoba mencari tahu dari  beberapa orang yang aku kenal, dan mereka adalah orang-orang yang hidup atau pernah hidup dengan kanker di tubuhnya.

Aku tak akan menceritakan ini sekarang. Tunggulah sampai besok.