Lengang menyergap
ruangan pengap. Setumpuk berkas menggunung menghalangi pandangan ke arah pintu.
Suara desis kipas angin dalam Control Processor Unit sebuah komputer tua di
sampingku menyita atmosfer yang lembab. Aku terpejam menikmati kesendirianku di
tengah kepungan map, buku dan layar komputer. Kantuk mulai mengintai di sudut
mataku, ketika nada dering ponsel di saku celanaku berteriak melagukan Heavennya
Eric Clapton.
Kantukku menguap.
Gerutu yang sudah siap muntah dari mulutku tertelan lagi. Di layar ponsel
tertera namanya, berkedip-kedip menggodaku. Aku memperbaiki posisi dudukku,
sebelum menekan tombol hijau. Seolah seseorang yang tengah menanti telponnya
kuangkat ini, ada di depanku.
“Hei, finally,” sapaku
renyah.
“Ya, emmm, ini dirimu
kan? Kupikir dirimu tidak nyata.
Ternyata bahkan suaramu lebih merdu dari yang kubayangkan. Sibukkah? “
Aku tertawa kecil,
menutupi gugupku. Aku sudah beberapa kali menerima pujian dan puisi-puisi
pendek darinya melalui messenger. Tapi mendengar suaranya yang basah menggelitik
ujung telingaku, memompakan geletar aneh yang hebat. Jantungku tiba-tiba tidak
mau kompromi, berdetak keras melebihi biasanya.
“Tidak, aku tidak
sedang sibuk kok, kebetulan sedang istirahat. Bukankah kamu yang lagi sibuk
riset?”
“Ya, seperti biasa,
aku dikejar deadline laporan ke lab di Jakarta hari ini, tapi sinyal seperti
tak bersahabat denganku, jadi kuputuskan untuk menghubungimu. Lagipula aku
sudah ingin sekali berbincang langsung denganmu,” dia menyambung kalimatnya
dengan tawa, aku membayangkan sungging senyumnya, “ ini sangat menakjubkan
bukan?”
“ Ya, hampir tidak
percaya kamu benar-benar menelponku.”
“Its so amazing to
me,” katanya pelan tapi pasti.
Aku mendadak menggigil
ketika tanpa kuduga dia berkata bahwa
kemarin saat senja memerah di ujung horizon dia mengingatku sepenuh laut.
Tentang betapa bahagianya dia menemukan seorang perempuan yang menyukai senja
dan laut sepertiku. Dia kemudian berjanji akan berkirim pesan beberapa hari
lagi, setelah dia menuntaskan risetnya yang ke sekian di sebuah desa di ujung
barat pulau ini.
“Nice to talk with you,”
katanya menutup perbincangan kami senja ini.
Perbincangan yang
menguras tenagaku. Meski tak lebih dari dua menit, selepas menutup ponselku,
mendadak aku lunglai. Namun aku merasa ada diam-diam tumbuh dan mengakar di
jauh relung hatiku. Dan dengan caranya sendiri, ia memberi tenaga pada tubuhku.
Pelan-pelan menelusup mengikis lunglaiku, menginfus setetes demi setetes
kesejukan yang sulit kujabarkan dengan kata.
Senja yang penuh
senyum ini bermula dari sebuah senja yang telah jauh berlalu. Saat hatiku
sedang dirundung rusuh dan melarikan
seluruh cengkramannya yang meremukkan pikiranku ke gunungan map-map
pekerjaanku. Saat itu aku tak berniat pulang. Menyerahkan diri pada kekalutan
yang panjang. Biar kutumpahkan sesak dadaku pada berkas-berkas yang keleleran
di mejaku. Setidaknya mereka setia mendengarkan lenguhanku, meski mereka tak
bisa bicara.
Lalu entah dari langit
mana, sebuah sapa menghentikan gerakanku. Ini sebuah sapa yang biasa. Namun sama
sekali aku tak menduga kalau pada akhirnya setiap kata-katanya yang ditujukan
padaku menjadi terasa luar biasa.
“Selamat menikmati
senja. Salam kenal.”
Aku melenguh lagi
untuk kesekian kali. Kubiarkan sapaan itu menggantung di udara sampai beberapa
lama. Beberapa hari. Bahkan hampir kulupakan keberadaannya. Sampai suatu ketika
kudapati lagi sapaan serupa yang tak bisa tidak membangkitkan rasa penasaranku
untuk membalasnya. Siapa sih dia, aku membatin sambil memandang layar ponselku.
“Separuh jingga dan
secangkir kopi. Semoga Puan tengah bahagia senja ini.”
Aku berpikir keras.
Kalimat apa yang akan kurangkai demi membalas sapaannya yang puitis. Ini hal
yang baru dan aneh bagiku sebenarnya. Tapi mengabaikan sapaannya pasti terkesan tidak sopan. Bahkan bila seseorang
yang menyapa itu adalah orang yang tidak dikenal sebelumnya. Lagipula di tengah
arus informasi yang mengglobal ini, bukankah dunia seperti menyempit dan semua
orang terhubung? Jarak mengkerut dan membuat orang asing menjelma menjadi orang
yang dekat.
Kutekan tombol
huruf-huruf di ponselku.
“Salam, makasih sudah
menyapa di senja yang jingga ini.”
Sejak itulah
berderet-deret kalimat selalu menjadi penawar letih dan sepiku. Dia sungguh
teman berbincang yang baik. Sangat terbalik dengan pengakuannya bahwa dia orang
yang cenderung pendiam, lebih fasih menulis ketimbang bicara. Dari caranya
meresponku, aku tahu dia adalah seorang pendiam yang punya kepedulian pada
lawan bicaranya.
Kemudian di jeda waktu
yang lain, aku dan dia terlibat diskusi-diskusi yang panjang dan menarik
tentang film. Hal lain yang semakin mendekatkan aku dan dia. Ditunjang oleh
fasilitas dan domisilinya yang tinggal di jantung peradaban, dia membuatku
kagum tentang koleksi film yang pernah ditontonnya. Sementara aku hanya bisa
ber’oh setiap kali dia berkisah.
“Aku heran,” katanya
di suatu siang seusai diskusi tentang artikel medis yang aku baca di media
online.
“Kenapa?
“Apa yang kamu lakukan
di dunia antah berantah seperti ini. Perempuan secerdas dirimu ditengah pulau
terpencil dan terbelakang.”
Aku hanya bisa
tersipu. Kubayangkan dia mengatakan itu sambil menatapku dan tersenyum.
“I’m just an ordinary
woman.”
“With extraordinary
personality. Apakah dirimu tidak tertarik untuk keluar dari tempurung yang
mengungkungmu? Menghirup segarnya ilmu, meraih gelar master. Aku yakin kamu
akan dengan mudah mendapatkan beasiswa di luar negeri. Mereka umumnya lebih
tertarik kepada perempuan cerdas dari daerah terpencil di dunia ketiga. Seperti
dirimu.”
“Aku tidak tahu. Aku
mungkin tidak akan bisa keluar dari pulau ini. Dan beasiswa luar negeri itu,
kedengarannya cuma mimpi bagiku.”
Dia seperti biasa,
terus menghamburiku dengan kata-kata indahnya. Aku bahkan tidak bisa membedakan
apakah kata-kata itu termasuk rayuan gombal, atau memang mengalir murni serupa
mata air di pegunungan. Yang ku tahu, dia begitu pandai memompa semangatku
untuk mencari tahu langkah-langkah besar apa yang telah tertapak di dunia luar
sana. Menelusuri ketertinggalanku karena terkurung di dunia yang sepi dan jauh.
Lama kelamaan, aku
ketagihan pada dirinya. Pada renyah sapaannya. Pada hangat candaannya. Terlebih
pada caranya memperlakukan aku. Begitu berbeda. Seingatku baru kali ini aku
bertemu dengan seseorang yang memuji otakku bukan tubuhku. Lalu merayuku bukan
dengan rayuan gombal, melainkan dengan mengirimiku puisi-puisi. Aku tak peduli
walaupun sebagian puisi itu adalah puisi dari para penyair ternama di negeri
ini. Aku meresapi kalimatnya seolah itu adalah ungkapan hatinya untukku.
Siapa perempuan yang
tidak terpikat hatinya, bila tiba-tiba di penghujung malam, saat sang fajar
mulai menyulurkan benang-benang cahayanya di langit yang masih tertidur, sebait
puisi “Menulis Cinta” merambat di telinga.
Hingga detik ini aku
masih mengingat dengan apik, bait terakhir puisi Sitok Srengenge itu.
Sebab cinta adalah kau
Yang tak mampu kusebut
Kecuali dengan denyut
Kuduga, dia pun
mengalami hal yang sama. Meski kadang aku ragu sebab kupikir mungkin saja dia
hanya ingin menunjukkan padaku tentang begitu banyaknya puisi-puisi indah di
dunia ini. Bukan sedang mengungkapkan isinya padaku. Tapi, seharusnya dia
sadar, bahwa bagi perempuan sepertiku, dikirimi sebait puisi sama nilainya
dengan dikirimi seikat bunga mawar.
Jadi aku terus
menduga-duga seperti apa hatinya dibalik semua kalimatnya. Sampai suatu malam
yang penuh gemintang. Dari tepian pantai selatan di ujung barat pulau ini, dia
kembali mengirimiku sebait puisi yang dikutip dari seseorang di entah.
Andai engkau mau menyelam lebih dalam di dadaku.
Engkau akan menemukan yang engkau cari.
Dirimu sendiri
“Apakah kau
mencintaiku?” aku tidak tahan untuk bertanya.
“Aku
sangat….mengagumimu.”
Seketika terang
benderanglah padang luas di hatinya yang sedetik lalu terasa samar dan kelabu.
Aku tergugu. Lalu memutuskan untuk tidak lagi menemuinya, berbincang dengannya.
Aku tidak ingin terseret oleh arus liar yang terus menggelegak di dalam jeram
kedekatan ini. Aku menutup diri darinya.
Namun rupanya aksi nekatku mengucilkan diri darinya, malah
membuahkan sebuah kejutan yang memporakporandakan kewarasanku. Tiga hari
setelah kunonaktifkan ponselku. Aku terhenyak begitu kembali kunyalakan
ponselku. Sebuah surel berisi catatan singkat menukik-nukik di mataku.
Secangkir kopi, tanah yang basah oleh gerimis pagi
ini. Sudahlah aku tak ingin berpura-pura tak merindukan perempuanku di ujung
sana. Perempuan yang seperti kata sebuah puisi, berselendang bianglala…
Tidak terasa,
kristal-kristal bening luruh dari ujung kelopak mataku. Aku tergugu. Pada titik
yang beku ini, segala tafsir analitis tak mempan untuk menerjemahkan kalimat
yang jernih dan sederhana itu.
Lalu aku menyerahkan
diri dengan segala kesadaranku kepadanya. Kepada sanjungannya yang
melambungkanku ke langit penuh gemintang. Menembus lembutnya awan. Merasai
gigilnya gerimis. Aku bertekuk lutut
pada ketidakpastian hatinya yang berselimut pendar-pendar cahaya yang
mempesona. Aku sudah tak peduli pada definisi dan makna. Meleburkan diri pada
petualangan mendebarkan yang menurutnya membuat hidup lebih menarik karena
hadirnya yang tanpa direncanakan. Spontan seperti tawa kanak-kanak. Hadir
begitu saja seperti gerimis di pagi hari bulan November ini..
Kukira dia terjebak
pada geletar rasa yang sama anehnya sepertiku. Hanya saja dia jauh lebih pandai
untuk menetralkannya. Mungkin lebih tepatnya jauh lebih pandai mengelabui
hatinya. Meski tak urung sempat tersirat juga ketakutannya kehilanganku.
“Lalu apa artinya
catatan yang kukirimkan untukmu,” ujarmu sengit ketika aku meragukan hatimu.
Aku terdiam. Dan
sejurus dia kembali melunak.
“Aku menulis catatan
itu saat mengingat dirimu.”
Ah, benarkah dia takut
kehilangan diriku? Sampai ratusan senja berlalu sejak saat itu, aku tidak
pernah tahu persis jawabannya. Dia hanya berkata hidup yang dijalani dengan
berpindah dari satu rutinitas ke rutinitas lain tak lebih seperti mesin. Beku
dan dingin.
Aku tetap tidak tahu,
bahkan setelah mendengar suaranya di ujung ponsel yang menggigilkanku. Kurasa sampai
kapanpun aku tidak akan pernah tahu. Sebab mungkin saja tidak ada yang perlu
aku ketahui dari petualangan aneh ini. Ini sekedar pemecah kebekuan hidup
baginya. Hanya pelarian dari rutinitas yang mengikat dan menjemukannya. Ini
cuma hiburan untuk kesepiannya.
Senja telah menipis.
Menyisakan coretan samar berwarna jingga di ujung cakrawala. Aku butuh pulang
sekarang. Menemui seorang lelaki yang selalu tenggelam dalam diam. Tenggelam di
dunianya sendiri. Mungkin aku akan menelusupkan kepalaku di dadanya, meleburkan
pening dan mencari damai di sana. Atau sekedar menyinggahkan sekecup ciuman
dari bibirku di pipinya.
“Pa, jemput aku ya.”
“Aku sibuk.”
Tut, tut, tuuuut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar