Lorong Waktu

Setiap orang seharusnya merasa bahagia. Setiap orang berhak bahagia. Setiap orang layak untuk berbahagia. Entah mengapa kalimat-kalimat itu terus menerus bergaung di benakku. Memantul-mantul seperti gema dalam gua di kepalaku. Sedikit menerorku hingga membuat sekejap dua kejap aku dihampiri ketakutan. Tapi kadang justru terasa menentramkan. Damai. Dan mungkin bahagia.

Siapapun memerlukan rasa bahagia. Beberapa kali aku mendengar itulah yang membuat usia seseorang panjang. Meski mungkin tak sepanjang umur orang-orang tua renta di dataran tinggi Nepal atau Himalaya yang sepanjang hidupnya hanya memakan makanan organik hasil tanaman mereka sendiri. Ayahku sendiri percaya tasbih panjang sejumlah seribu butirlah yang membuat usiamya bertahan hingga 70 tahun saat ini dan beliau sehat seperti kuda. Aku setengah yakin setengah tidak pada ucapan beliau. Yang pasti aku tersenyum dan itu adalah secuil bahagia yang ayahku tebarkan pada keluarganya.

Meskipun pada akhirnya seseorang harus meninggal, alangkah indahnya bila kematian itu datang dengan cara yang indah. Dengan rasa bahagia. Karena  mungkin ada secercah keyakinan sesuatu yang jauh lebih baik dari kehidupan dunia ini tengah menunggu di balik sana.Tapi mungkinkah seseorang yang bahagia akan tetap bahagia? Mungkinkah seseorang yang sedih bisa bertransformasi menjadi pribadi yang bahagia? Bisakah seorang yang ingin bahagia lalu ia mendapatkan kebahagiaannya? Itu adalah pertanyaan yang membutuhkan perjuangan untuk menjawabnya. Terutama bila kau tahu bahwa pertanyaan itu ditujukan kepada penderita sebuah penyakit mematikan. Kanker.

Bagaimana caranya seseorang bisa bahagia dengan kanker di tubuhnya?

Sulit. Karena bisa dipastikan semua penderita kanker akan mengalami lonjakan emosi drastis. Perasaan terpuruk dan getir yang teramat nyeri, bahkan lebih nyeri dari kanker itu sendiri, mengikis setiap celah yang tadinya dihuni oleh rasa bahagia. Perasaan yang teramat menghunjam seperti belati yang ditusukkan di ulu hati. Perasaan ingin mati saja, tapi tidak bisa semudah dan secepat yang diinginkan. Tidak secepat kematian yang terjadi pada seseorang yang tengah membonceng kekasihnya dengan mesra diatas sepeda motor, tapi ia tak menyadari bahwa saat ia akan menikung sebuah mobil berkecepatan tinggi melesat begitu saja di hadapannya. Motornya terpelecat beberapa meter. Ia jatuh dengan kerasnya di trotoar dengan kepala mendarat duluan disudutnya. Setelah sebelumnya bemper mobil itu sukses membentur dengan hebat badannya. Ia seketika menemui ajalnya.

Sebelum mati penderita kanker harus mengalami masa tersuram dalam hidupnya. Menunggu ajal yang pelan-pelan merambat mendekatinya. Memakan detik demi detik waktu yang mungkin tersisa. Entah sampai kapan. Pengingkaran, kemarahan, penyesalan, sejuta pertanyaan tentang mengapa bergelut dahsyat dengan kesedihan. Hingga pada waktunya nyawa terpisah dari raga, meninggalkan semua yang dimiliki. Atau mungkin meninggalkan semua yang tak lagi dia miliki. Hampir bisa dipastikan pergolakan itulah yang lebih membunuh orang yang memiliki kanker, ketimbang kanker itu sendiri.

Katakan padaku, seperti apakah rasanya menunggu ajal? Apakah seseorang yang secara tehnik dia sudah tahu bahwa ajalnya sudah dekat masih bisa merasakan bahagia? Masih mampu untuk melihat hidupnya secara optimis?

Aku bertaruh kau tak tahu, tak seorangpun tahu hal itu. Jadi, aku memutuskan untuk mencoba mencari tahu dari  beberapa orang yang aku kenal, dan mereka adalah orang-orang yang hidup atau pernah hidup dengan kanker di tubuhnya.

Aku tak akan menceritakan ini sekarang. Tunggulah sampai besok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar