Sebuah Pinta



Aku ingin menjadi kenangan yang tak lekang ditelan zaman. Cukup di hatimu. Cukup di ingatanmu. Menjadi purba dan menua. Tapi tak jua sirna. 

Aku tak sabar mengira-ngira seperti apa reaksimu ketika mengenangku. Tersenyum dan merengkuh udara yang mengambang luas di depan, lalu berdansa seolah sedang memelukku. Atau meringkuk di ranjang kita dan tersedu memanggil-manggil namaku. Sesuatu yang tak pernah terjadi padamu, sampai-sampai aku bertanya-tanya kenapa aku tak pernah bisa membuatmu menangis. Ah, tentu saja. Kau lelaki malamku. Keras serupa karang di pantai selatan pulau kita yang kerap kita singgahi. 

Atau... tak ada reaksi apa-apa. Hampa. Kosong. Kenangan tentang aku hanya sebuah nama yang pernah tinggal menetap dalam hidupmu di suatu kurun waktu. Tak lebih. Setelah aku menyelesaikan jatah waktuku, dengan segera aku terhapus dari hidupmu. Dari ingatanmu. 

Mungkin. Semua mungkin terjadi. Kau hanya tersenyum kecut ketika dulu sekali, pernah kutanyakan padamu bagaimana perasaanmu jika seandainya suatu saat aku akan mendahului. Kau tak mampu menjawab. Menyisakan tanya yang sama berulang kali bahkan sampai kini, ketika segala perhitungan manusia telah menyimpulkan bahwa memang akulah yang akan melangkah pergi lebih dini. 

Aku bukan pendampingmu yang sempurna. Aku hanyalah perempuan yang jatuh cinta dan takluk pada kelelakianmu. Dengan itu aku mencintamu sepenuh hati  dan berharap kau mendekap cintaku sejauh ingatan menjadi purba ditelan usia. Mungkin di kala senja, kau duduk di teras kita sendiri tanpaku lagi, atau seorang perempuan entah siapa duduk di kursiku bersamamu. Yakinilah bahwa aku sedang tersenyum saat itu kelak terjadi.

Aku ingin kau kenang. Cukup itu saja. Sisipkanlah namaku dalam doa-doa panjangmu  agar aku tak merasa kau tinggalkan meskipun sebenarnya akulah yang meninggalkanmu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar