Rindu menonton film drama romantic, terobati seketika saat beberapa hari yg lalu saya meyaksikan sebuah film yang menggetarkan. Seven Pounds dibintangi oleh Will Smith yang memerankan Tim Thomas. Seorang engineer penerbangan yang dengan kesadaran penuh melepas pekerjaannya yang cemerlang, lalu menyusun sebuah rencana penebusan dosa yang luar biasa mencengangkan sekaligus mengagumkan. Sedikit mengerikan juga sih sebenarnya, karena untuk melengkapi seluruh rencananya tersebut, ia harus mengorbankan nyawanya sendiri.
" In seven days, God created the world, in seven seconds i shattered mine".
Pada suatu malam, Tim bersama tunangannya tengah berkendara dalam keadaan suka cita. Namun karena kelalaian Tim yang tidak berhenti mengoperasikan ponselnya sembari menyetir mengakibatkan keadaan suka cita itu berubah menjadi horor yang mengerikan. Mobil Tim menabrak kendaraan yang juga tengah melaju kencang dari arah yang berlawanan. Tujuh nyawa melayang termasuk tunangan Tim yang saking hebatnya tabrakan itu tubuhnya terlempar jauh dr mobil mereka. Beruntung, Tim selamat. Namun ia merasakan guncangan tiada tara tatkala dengan merangkak ia menghampiri tubuh kekasihnya yang berlumuran darah.
Menyesal atas kejadian tersebut berujung pada gagasan luhur Tim untuk menebus rasa bersalahnya dengan memberikan sebuah hadiah istimewa kepada tujuh orang baik yang ia pilih dengan caranya sendiri. Hadiah yang akan meng"hidup"kan kembali seseorang yang nyawanya sudah di ujung tanduk. Hal pertama yang ia lakukan adalah menghadiahkan sebelah paru-parunya kepada saudara kandungnya Ben Thomas, seorang pegawai IRS __ semacam konsultan pajak__ yang kemudian ia pinjam diam-diam identitas pekerjaanya itu untuk memudahkan ia mencari orang-orang baik yang akan ia beri hadiah. Ia kemudian pindah dari rumahnya di pinggir sebuah pantai, ke motel murahan dengan peliharaannya; seekor ubur-ubur dalam toples. Kemudian Tim menghadiahkan sebelah livernya kepada seorang petugas dinas sosial yang bernama Holly, sebelah ginjalnya kepada sahabatnya George dan merelakan sumsum tulang belakangnya disedot untuk diberikan kepada seorang anak penderita kelainan sumsum tulang belakang.
Atas saran Holly kemudian ia menghibahkan rumah pantainya kepada seorang perempuan imigran single parent yang kerap dianiaya oleh kekasihnya. Perempuan itu dibantu oleh Tim melarikan diri dari kekasihnya lalu pindah bersama kedua anaknya ke rumah yang telah diterimanya dari Tim. Dengan syarat setelah menanda tangani berkas pemindahan hak milik atas rumah itu, ia tidak boleh bertanya mengapa rumah itu dihadihkan kepadanya. dengan gemetar dan rasa tidak percaya, perempuan itu memasuki rumah mewah itu dan berusaha mencegah anak-anaknya agar tidak serta merta berlarian kesana kemari mengelilingi rumah itu. Keesokan harinya, anak beranak itu berlarian riang di sepanjang bibir pantai.
Sampai disini, saya mulai tidak bisa mencegah air mata yang menggenang di pelupuk untuk tidak jatuh bercucuran. saya mulai bisa menangkap pesan dari film ini tentang pengorbanan apa yang bisa lakukan untuk membantu sesama manusia. Its all about sacrificing our life to make the other life stay alive. Mengorbankan bahkan sampai nyawa kita untuk membuat nyawa seorang yang sudah terancam menjadi terselamatkan. Jarang sekali kita menemukan orang seperti Tim ini, tapi saya yakin di luar sana ada orang yang rela mengorbankan nyawanya untuk sebuah nyawa atau banyak nyawa lainnya. Saya sendiri sungguh belum seujung tahi kuku sekalipun, bila ditanya apa yang telah kau korbankan demi orang lain. Saya masih sangat selfish dan seringkali masa bodoh terhadap banyak penderitaan yang saya saksikan di sekitaran.
Kembali kepada Tim yang masih mencari-cari dua kandidat lain untuk ia beri dua hal vital pada tubuhnya. Akhirnya ia menemukan seorang pianis yahudi yang juga operator telepon. Tim mengamati, menguji dan lalu menyimpulkan bahwa lelaki penyabar yang vegetarian itu layak untuk menerima kornea matanya. Di sisi lain Tim juga tengah menyelami kehidupan seorang perempuan cantik yang terkena kelainan jantung bawaan. Tim ingin benar-benar yakin bahwa perempuan bernama Emilia Posa itu sangat memerlukan donor jantung untuk mempertahankan hidupnya. Dengan penuh perasaan Tim menemani saat kritis Emilia yang ternyata menjadi jatuh hati pada ketulusan hati Tim yang selalu ada dan berusaha menguatkan Emilia di saat sakit dan ketakutan akan kematian menderanya. Mereka sempat terlibat romantisme yang dalam, penuh dengan surprise-surprise yang menyenangkan bahkan emosi layaknya sepasang kekasih.
Sampailah pada saat yang menentukan. Ketika dokter memvonis harapan hidup Emilia hanya tinggal 3 persen, lalu memberikan sebuah penyeranta yang akan berbunyi bilamana ada donor jantung untuknya. Tim menelepon sahabatnya George untuk memberitahukan bahwa saatnya telah tiba. Tim meminta George untuk mengurus segala sesuatunya dan dengan berlinangan air mata George mengiyakan.
Malam itu dengan keyakinan penuh Tim mengangkat berkarung-karung es batu lalu mengisinya ke dalam bath tubnya. Mengalirkan air ke dalamnya dan menenggelamkan tubuhnya ke dalam bath tub yang hampir membeku. Kilatan-kilatan ingatan mempertontonkan detik-detik kecelakaan yang merenggut nyawa kekasihnya. Tim meraih telepon, menelepon 911 dan mengabarkan telah terjadi bunuh diri di kediamannya. Ketika ditanya siapa korbannya, Tim menjawab: "Saya...".
Tim melepaskan ubur-ubur ke dalam bath tub. Sontak ubur-ubur mengeluarkan bisanya. Menyerang Tim dengan dahsyat hingga ia menggelepar-gelepar meregang nyawa. Keesokan harinya, penyeranta Emilia berbunyi.
Beberapa waktu kemudian. Pada sebuah konser anak-anak sekolah, Emilia dengan ragu menghampiri keramaian. Matanya berkaca-kaca memandang seorang pianis yang tengah mengiringi konser. Ia seperti hendak meyakinkan dirinya. Tak lama kemudian sang pianis turun dari panggung dan Emilia pun mendekatinya. Sang pianis tersenyum. Emilia mendapatinya hal yang sangat menggetarkan hatinya, ia seperti tengah berhadapan dengan Tim Thomas, lelaki yang ia sayangi dan telah hadiah terindah untuk kehidupannya. Sebuah jantung yang kini tertanam di rongga dadanya. Lama mereka berdua hanya bisa terpana. Sang pianis berambut pirang itu memiliki sepasang mata yang tidak biasa. Bola mata hitam milik Tim Thomas.
"Ezra Thurner....?"
"You must be Emilia", sepotong senyum menyungging.
Detik kemudian mereka berpelukan dengan sangat erat. Saya tergugu sendirian.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar