Laptop telah kubuka. Berbagai postingan tentang dirimu telah terpapar di depan mata. Aku -entah mengapa- merasa seberkas kerinduan memilin-milin hatiku. Tetiba aku ingin menuliskan perasaanku pada dirimu.
Belum pernah sebelumnya aku berdiri sedekat ini denganmu. Membaca kisah kelahiran dirimu yang kudus. Merasakan getar yang mendera para pencari kebajikan saat menyusuri jejak kelahiranmu. Membayangkan kebahagiaan Ibunda Aminah saat menimang dirimu pertama kalinya. Seorang bayi suci yang kelahirannya dinanti-nanti seluruh semesta. Yang jauh sebelum dirimu lahir telah ramai kitab suci umat manusia meramalkan kedatanganmu. Yang lama setelah dirimu wafat, namamu tak kunjung usai dieja berjutajuta bibir dengan segenap cinta.
Aku baru sekali ini memberanikan diri berbincang denganmu. Mengenang tentang segala yang agung pada dirimu. Berharap sedikit saja dirimu berkenan menengok diriku. Sungguh, betapa syahdu harapan itu kurasa. Meski dengan segunung perasaan malu dan sungkan. Apalah aku, umatmu yang selalu lalai ini. Tapi izinkan aku mengagumi dirimu. Mengatakan bahwa aku selalu menyimpan namamu di relung sunyi hatiku. Semoga pengakuan ini tidak engkau nafikan. Karena meski aku adalah seorang pendosa, namun engkaulah nama yang dengan refleks kusebut setiap jantungku berdetak kencang. Engkaulah telaga sejuk yang menenangkanku. Dirimulah cahaya yang menerangi gulita hatiku.
Duhai dirimu yang jutaan hati menangis merindukanmu. Apa yang akan kutulis dalam catatan kecilku ini. Tidak akan cukup seluruh memory laptop ini menampung setiap kisah kearifanmu. Tidak akan selesai kisah keluhuran budimu kurangkai hingga ambrol keyboard ini.
Tahukah dirimu, aku berusaha memiliki buku yang mengisahkan kehidupanmu. Buku tebal yang sebelum aku membacanya aku bergetaran. Yang ketika aku semakin membacanya bergelimangan butiran bening di pelupuk mataku. Yang saat kuakhiri membacanya aku sesenggukan merindukanmu. Tentu aku mafhum, itu bukan ukuran bahwa aku termasuk umat pilihanmu yang akan engkau panggil untuk menemani dirimu saat melangkahkan kaki memasuki jannah nan indah. Biarlah buku itu sekedar jadi saksi bisu bahwa ada namamu yang lirih kusebut-sebut saat sedih menelikungku. Ada namamu yang ingin kupatri menjadi prasasti dalam denyut nadiku.
Duhai dirimu yang senyummu membahagiakan siapapun yang melihatnya. Seribu empat ratus empat puluh satu tahun yang lalu, di sebuah dusun di tengah gurun yang gersang. Engkau hadir. Menyebar cahaya ke seluruh penjuru dunia. Memenuhi harapan setiap jiwa yang haus kebajikan dan keluhuran iman. Menjadi tambatan bagi jiwa yang gelisah dan risau, yang takut bila harus sendirian kelak menanggung beban dosa di depan sidang penentu di akhirat. Aku tak sanggup membayangkan seperti apa kacaunya diriku di muka sidang teradil itu kelak. Segala dosa dan borok yang kututupi di dunia ini terbentang lepas di muka mahkamah mulia itu. Aku remuk redam, banjir air mata, bergelimang sedu sedan mohon ampunan dariNya, namun terlambat. Maka kepada siapa lagi aku akan meminta syafa'at selain kepada dirimu, wahai Sang Pemberi Syafaat...
Aku sungguh ingin sedikit saja merasa engkau cintai sebagai umatmu. Aku sungguh ingin sebentar saja, merasakan nyamannya menjadi umat yang akan duduk berdekatan denganmu. Pasti tak cukup dengan sekedar menulis catatan sekenanya ini saja untuk mendapat itu semua. Pasti tidak akan cukup juga dengan seluruh ibadahku yang tertatih-tatih. Pasti aku harus terseok-seok jauh di belakang dirimu. Duhai jiwa yang senantiasa mendamaikan...
Akhirnya, hanya sekelumit bisikan yang bisa kuhantarkan ke haribaanmu. Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad, wa'ala alihi waashhabihi wabarik wasallim ajmaiin...
Belum pernah sebelumnya aku berdiri sedekat ini denganmu. Membaca kisah kelahiran dirimu yang kudus. Merasakan getar yang mendera para pencari kebajikan saat menyusuri jejak kelahiranmu. Membayangkan kebahagiaan Ibunda Aminah saat menimang dirimu pertama kalinya. Seorang bayi suci yang kelahirannya dinanti-nanti seluruh semesta. Yang jauh sebelum dirimu lahir telah ramai kitab suci umat manusia meramalkan kedatanganmu. Yang lama setelah dirimu wafat, namamu tak kunjung usai dieja berjutajuta bibir dengan segenap cinta.
Aku baru sekali ini memberanikan diri berbincang denganmu. Mengenang tentang segala yang agung pada dirimu. Berharap sedikit saja dirimu berkenan menengok diriku. Sungguh, betapa syahdu harapan itu kurasa. Meski dengan segunung perasaan malu dan sungkan. Apalah aku, umatmu yang selalu lalai ini. Tapi izinkan aku mengagumi dirimu. Mengatakan bahwa aku selalu menyimpan namamu di relung sunyi hatiku. Semoga pengakuan ini tidak engkau nafikan. Karena meski aku adalah seorang pendosa, namun engkaulah nama yang dengan refleks kusebut setiap jantungku berdetak kencang. Engkaulah telaga sejuk yang menenangkanku. Dirimulah cahaya yang menerangi gulita hatiku.
Duhai dirimu yang jutaan hati menangis merindukanmu. Apa yang akan kutulis dalam catatan kecilku ini. Tidak akan cukup seluruh memory laptop ini menampung setiap kisah kearifanmu. Tidak akan selesai kisah keluhuran budimu kurangkai hingga ambrol keyboard ini.
Tahukah dirimu, aku berusaha memiliki buku yang mengisahkan kehidupanmu. Buku tebal yang sebelum aku membacanya aku bergetaran. Yang ketika aku semakin membacanya bergelimangan butiran bening di pelupuk mataku. Yang saat kuakhiri membacanya aku sesenggukan merindukanmu. Tentu aku mafhum, itu bukan ukuran bahwa aku termasuk umat pilihanmu yang akan engkau panggil untuk menemani dirimu saat melangkahkan kaki memasuki jannah nan indah. Biarlah buku itu sekedar jadi saksi bisu bahwa ada namamu yang lirih kusebut-sebut saat sedih menelikungku. Ada namamu yang ingin kupatri menjadi prasasti dalam denyut nadiku.
Duhai dirimu yang senyummu membahagiakan siapapun yang melihatnya. Seribu empat ratus empat puluh satu tahun yang lalu, di sebuah dusun di tengah gurun yang gersang. Engkau hadir. Menyebar cahaya ke seluruh penjuru dunia. Memenuhi harapan setiap jiwa yang haus kebajikan dan keluhuran iman. Menjadi tambatan bagi jiwa yang gelisah dan risau, yang takut bila harus sendirian kelak menanggung beban dosa di depan sidang penentu di akhirat. Aku tak sanggup membayangkan seperti apa kacaunya diriku di muka sidang teradil itu kelak. Segala dosa dan borok yang kututupi di dunia ini terbentang lepas di muka mahkamah mulia itu. Aku remuk redam, banjir air mata, bergelimang sedu sedan mohon ampunan dariNya, namun terlambat. Maka kepada siapa lagi aku akan meminta syafa'at selain kepada dirimu, wahai Sang Pemberi Syafaat...
Aku sungguh ingin sedikit saja merasa engkau cintai sebagai umatmu. Aku sungguh ingin sebentar saja, merasakan nyamannya menjadi umat yang akan duduk berdekatan denganmu. Pasti tak cukup dengan sekedar menulis catatan sekenanya ini saja untuk mendapat itu semua. Pasti tidak akan cukup juga dengan seluruh ibadahku yang tertatih-tatih. Pasti aku harus terseok-seok jauh di belakang dirimu. Duhai jiwa yang senantiasa mendamaikan...
Akhirnya, hanya sekelumit bisikan yang bisa kuhantarkan ke haribaanmu. Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad, wa'ala alihi waashhabihi wabarik wasallim ajmaiin...
mari budayakan ber sholawat..:)
BalasHapus