Ketika Hasrat Menulis Beku


Sangat sulit mempertahankan gairah untuk menulis. Terutama saat aku merasa sibuk oleh pekerjaan. Padahal sebenarnya untuk menulis tidak butuh waktu seharian. Menulis apa saja yang ringan dan terjadi di keseharian, bisa menjembatani kekosongan ide. Paling tidak bisa membuatku terhindar dari kekakuan karena terlalu lama tidak menulis sesuatu.

Kesannya jadi asal-asalan aja sih. Tapi memang inilah yang harus dilakukan agar aku bisa intens menulis. Natalie Goldberg pernah mengatakan bahwa dia terus menulis setiap hari meski tulisan itu tidak berarti apa-apa. Ia sekedar menuliskan apa yang ada di pikirannya, apa yang dilihatnya, apa yang dialaminya. Semua itu ia lakukan demi membiasakan diri menulis. Menulis secara bebas. Tidak perlu memikirkan kualitas tulisan, tidak perlu memikirkan siapa yang akan membaca tulisannya, tidak perlu memikirkan untuk apa tulisan itu dibuat. Just write.

Jadi sekarang, aku menulis tentang ini. Entah apa isinya sebenarnya. Yang jelas, ini kuibaratkan pemanasan sebelum latihan inti dalam olahraga. Sudah lama aku libur menulis. Aku sempat mengikrarkan One Day One Poetry, yang ternyata dengan sukses aku ingkari. Terakhir aku merasa menulis beneran adalah saat aku menulis Romantisme Sendu Setoples Cengkeh. Aku menjadi malas menulis berdalihkan aku harus mengikuti diklat. Lalu demi tidak kosongnya otakku, aku menulis catatan untuk adikku di sela-sela materi diklat yang membosankan itu. Dan memposting ulang cerpen SGA, penulis favoritku, yang kutemukan saat iseng browsing. Itu berarti aku hanya menulis dua catatan harian saja selama rentang waktu yang panjang itu. Aku tidak menghitung postingan cerpen SGA karena itu bukan tulisanku.

Hitung-hitung, melemaskan jari-jari yang sudah kaku. Jika saja jari-jari ini otomatis mengetikkan kalimat-demi kalimat yang terlintas di otakku, betapa senangnya. Tapi itu kan cuma khayalan saja. Menulis adalah kerja keras. Aku harus memaksakan diri. Dan mengumpulkan seluruh energiku agar bisa menulis lagi.

Aku juga ingin berterima kasih pada semua guru-guruku sejak TK sampai Perguruan Tinggi, yang mengajarkanku aksara-aksara yang jika kita pandai merangkainya dapat kita gubah menjadi tulisan yang indah dan menginspirasi. Aku lupa terlalu lama untuk menyebut jasa mereka. Meski belum apa-apa, dan belum menghasilkan apa-apa, tapi aku berkat mereka telah merasakan nikmatnya menulis.

Sudahlah...cukup meracaunya. Berdoa saja, besok satu atau dua buah cerpen bisa aku tulis. Tadi sudah mencoba, tapi urung di paragraf ketiga. Ada yang masih mengganjal di pikiranku. Seseorang yang mungkin telah completely erased me from his memory... Hallaaahh semakin ngawur saja....

Demikianlah...pemanasan ini. Maaf jika harus terpaksa membully mata anda untuk membaca tulisan nggak karu-karuan ini. Maaf satu trilyun kali.

4 komentar:

  1. Aku malah lagi drop banget mbak. Nulis satu dua halaman aku buang lagi hehehe

    BalasHapus
  2. wah, ada mas agung... iya mas, lagi eror otakku ini kayaknya... sampe sekarang masih aja males...

    BalasHapus
  3. Bu nawra...bagi saya menulis merupakan tantangan tersendiri dalam merumuskan esensi dan eksistensialisme diri. Dengan menulis, kita berusaha menggali dan merumuskan apa yang menjadi bagian terdalam dari pikiran atau jiwa kita. Sebuah ide tdk hnya sejenak menyinggahi pikiran kita, lalu terbang entah ke mana, tetapi sungguh mengaktualisasikan diri dalam aksara yg dpt dpahami byk org. Apresiasi khusus untuk para penulis puisi seperti bu nawra...yng mampu mengompresi ide dalam secarik kata indah. Juga untuk cerpen2nya yg menggambarkan daya imajinasi yg dalam,runtut,dan rapi. Saya sendiri belum bs mampu mencapai level sprti itu, baru sebatas menelurkan opini ringan yg ditetaskan secara musiman....Sampai sekarang jg sering bermimpi u menulis sesering mungkin,setidaknya once a week. Tp belum kesampaian jg krn kurang disiplin... Oh ya ini lapak t4 sy mengaktualisasikan ide: http://www.kompasiana.com/sezumodhe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di kompasiana sy juga ada lapak yang gak terurus. Jeri rasanya menyandingkan tulisan sy yg remeh temeh dengan tulisan kompasianer berbobot yg ada....sampai akhirnya sy nyaman untuk ngeblog. Gak perlu ada rasa kecil hati menyadari tulisan sy gak bisa bersaing untuk jd yg ter, yg ter....

      Mungkin menulis fiksi lebih mudah buat sy ketimbang menulis opini dan non fiksi. Di Fiksi tdk akan ada yg meminta pertanggungjawaban kpd sy akan keabsahan opini dan data tulisan non fiksi itu... hehehehe.

      Meski kenyataannya menulis fiksi ternyata sama sulitnya dengan menulis non fiksi... :D

      Mari terus menulis..... :D

      Hapus