Requim Cinta





Senja mulai memerah. Angin mengelus tengkuk Eily. Meremangkan bulu kuduk ketika kakinya yang panjang menapaki koridor rumah sakit swasta itu. Dia merapatkan jaketnya. Musim hampir bergeser ke musim kemarau. Di kota kecil yang lanskapnya menyerupai kuali raksasa itu, musim kemarau selalu membuat udara sedingin embun subuh.

Bergegas Eily menuju bangsal rawat inap kelas 3. Tangannya menenteng parsel berisi buah-buahan. Senyumnya sesekali mengembang tipis saat berpapasan dengan perawat dan beberapa pelayat yang hendak pulang. Agak ragu, dia mendorong pintu ruang rawat inap yang sedikit terbuka. Eily melayangkan pandangan ke sebuah sudut. Terbaring di ujung sana laki-laki berwajah tirus yang sudah lama dia ingin lupakan.

Sejenak Eily terdiam. Tapi seorang perempuan paruh baya menganggukkan kepalanya. Eily menghampiri kedua anak beranak itu.

“Sore, Tante. Maaf, saya baru sempat datang.” Eily mencium pipi perempuan yang dia panggil tante itu. Kemudian dia meletakkan parsel yang dia bawa di atas meja kecil yang dipenuhi sebotol air mineral, gelas, sebungkus biskuit dan obat-obatan.

Eily memandang wajah yang kuyu terbaring di depannya. Dia memperhatikan dada laki-laki itu yang bergerak naik turun pelan. Sebersit perih singgah di hatinya.

“Beberapa kali, Reza menyebut-nyebut namamu saat dia tidur. Tante berpikir, mungkin kalian harus bertemu untuk saling bicara.”

Eily menunduk. Dia menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Seakan ingin menghemat oksigen di dadanya yang tiba-tiba terasa sesak.

“Tante tinggal dulu keluar ya, ada yang harus tante beli.” Sembari mengusap pundak Eily, perempuan anggun itu beranjak pergi.

Suasana hening menyergap Eily. Dia tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ada keinginan yang menyelinap dalam hatinya untuk menyentuh wajah Reza yang tengah tertidur. Dia sudah mengangkat tangannya untuk meluluskan keinginan hatinya itu, ketika tanpa dia duga Reza membuka matanya pelan. Eily sontak terkejut. Ah, hampir saja, batinnya sambil menenangkan degup jantungnya yang gemuruh.

“Eily, aku tidak mengira kamu datang menjengukku.” Ada getar pelan dalam suara lemah Reza. Sepasang mata saling menatap. Kilatan entah apa berkelabatan di dalamnya. Reza memperbaiki posisinya. Berusaha terlihat tegak, menaikkan tubuhnya sedikit dengan bantal sebagai penopangnya.

“Maafkan aku, saat itu aku harus memutuskan untuk pergi. Dan sekarang, di saat seharusnya kamu sudah melupakan kepergianku, justru kamu harus menemui aku…” Reza terdiam sesaat. “…dalam keadaan aku seperti ini pula.”

“Reza, sudahlah. I’m fine. Kamu tidak perlu mengkhawatir aku.Fokuslah untuk kesembuhanmu.” Eily menyentuh pundak Reza sekedar untuk menampakkan ketegarannya. Dia menyembunyikan gundahnya di balik selubung hatinya. Perlahan nyeri yang lama dia rawat dengan air mata, berdenyut lagi.

“Aku ingin sekali memberikanmu ini.”

“Untuk apa ini, Reza? Kamu tidak perlu memberiku apa-apa.”

“Seharusnya aku melakukannya dulu, saat kita menunggu senja di Lapale. Anggaplah ini permintaan maaf dariku. Atau sekedar tanda bahwa aku pernah ada.” Ujar Reza sedikit terengah-engah.

“Please, don’t talk like that. Aku sudah memaafkanmu sedari dulu. Aku sudah melupakan bahwa kamu pernah pergi menjauh dariku.”  Kini Eily benar-benar merasakan perih mengiris-iris di sekujur tubuhnya. Perlahan perih itu menelusup memanjat setiap urat yang mengarah ke sepasang kelenjar dan mendesak cairan bening keluar dari sudut mata. Meleleh seperti magma. Eily merasakan matanya memanas. Entah karena dia berusaha menahan air mata atau karena luka yang dia rasa. Atau mungkin karena dua-duanya.

Reza meraih tangan Eily, membawanya di dada. Seperti hendak meyakinkan Eily tentang besarnya penyesalan yang dia rasa. Layaknya sentuhan tangan di dada itu bisa mengenyahkan segala luka perih di hati Eily. Reza tahu ini bisa menjadi sentuhannya yang terakhir untuk Eily. Dia ingin waktunya yang tidak lama itu betul-betul habis untuk menghapus cerita kelam di antara mereka berdua. Jika saja tidak ada penyakit yang bercokol di tubuhnya, saat itu juga Reza ingin meminta Eily untuk menerimanya kembali. Dia rela menghabiskan seluruh sisa hidupnya untuk memunguti setiap keping luka yang terserak dalam jiwa Eily, demi membahagiakan perempuan yang pernah terluka karena sikapnya yang pengecut.

Langit sedang menelan senja. Tinggal semburat jingga yang terlukis di cakrawala. Sementara Eily masih menggenggam jemari panjang yang kurus milik Reza. Dia belum lupa jemari itulah yang pernah menggeletarkan jantungnya dalam rinai gerimis di salah satu siang  bulan Mei dua tahun lalu. Itu saat pertama kali Reza mengajaknya makan siang saat istirahat kerja di kantornya. Reza menggenggam tangan Eily, menembus titik-titik air yang berjatuhan. Agaknya siang  bergerimis itu menyuburkan benih asmara keduanya.

Eily memutuskan untuk pulang. Dilihatnya Reza sudah kembali tertidur. Sepertinya percakapan pendek mereka terlalu melelahkan untuk tubuh lemah Reza. Eily pun diterpa lelah yang sama. Mungkin bahkan jauh lebih lelah ketimbang Reza. Lelah yang terakumulasi dari penat rutinitas pekerjaannya, dua tahun berkubang dalam luka dan kecewa pada kepergian Reza,  lalu pertemuannya dengan Reza hari ini. Ditambah sebentuk cincin emas putih bertahtakan berlian di kepalan tangannya. Untuk apa dia menerima cincin itu dari Reza, Eily tidak persis tahu.

Sebagai penanda bahwa Reza pernah ada? Eily menggeleng, ada duka di balik kalimat Reza itu. Sepenggal duka yang lain. Biar bagaimanapun Eily lebih memilih ingin mengetahui bahwa Reza ada di belahan tempat lain terpisah dari dirinya, daripada harus menemui kenyataan pahit Reza sudah tinggal nama. Jauh di kedalaman hatinya, Eily masih menyimpan rasa yang diam-diam berkelindan setiap kali Eily menatap senja di balik jendela kamarnya. Mungkin itulah alasan sebenarnya.

Malam ini Eily memejamkan matanya lebih awal dari biasanya. Dengan begitu Eily bisa menyusupkan kenangan-kenangan tentang Reza dalam gelapnya alam tidur. Secangkir kopi yang sudah dia seduh, dibiarkan tak disentuh. Sejurus kemudian, Eily terlelap. Cincin yang dari tadi dia kepal, kini sudah berpindah di jari manis kirinya.

*

Rasa sakit meringkus seluruh tubuh Reza. Seribu jarum seolah menancapi setiap senti kulitnya. Sakit yang jauh menembus sumsum. Reza mengerang, mengaduh. Tetapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Kecuali lenguhan dan sengalan nafas di ujung leher.

Kini selain nyeri seperti tusukan jarum karatan di sekujur tubuhnya, Reza sekuat tenaga menyebutkan sebuah nama. Dia ingin seandainya ini adalah akhir hidupnya di dunia, nama itulah yang terucap hingga bibirnya berhenti bergerak. Jika matanya kuasa terbuka ketika sakit sedikit jeda, hanya seraut wajah yang terbentang di lensanya sampai kemudian kembali terpejam. Dan dalam mimpi, dimana Reza terbebas dari deraan penyakitnya, nama dan raut wajah perempuan yang dulu pernah jadi miliknya itu, terus menari-nari.

“Eily….Eily….”

Reza ingin meraih wajah Eily. Seperti sebatang kayu yang hanyut dalam derasnya riak sungai, Eily  muncul tenggelam dalam mimpinya. Tangan Reza menggapai-gapai hingga seluruh persendiannya melemas. Lalu lunglai.

Reza menangis. Dia ingat saat-saat paling memilukan dalam hidupnya. Bukan, bukan dalam hidupnya, melainkan dalam hidup Eily.

“Reza, jangan pergi. Aku membutuhkanmu. Aku mencintaimu. Please….dont go.”

Reza masih bisa merasakan getirnya suara Eily yang memohon, menghiba dan meratapinya untuk tidak pergi meninggalkannya. Dia masih mengingat dengan jernih, Eily merengkuh tubuhnya. Berharap rengkuhan itu masih berdaya menahan kepergian dirinya. Tapi tidak. Reza tak ingin lebih lama bertahan. Dia menepis pelukan Eily. Dia menutup telinganya. Lalu berpaling dan bergegas pergi.

Reza mengabaikan tangisan Eily yang meneriakkan sejuta perih ke angkasa.

Apalah gunanya dia memperjuangkan hubungan muskil ini. Reza menghadapi tembok raksasa. Di sebalik tembok itulah Eily berada. Meskipun Eily selalu meyakinkannya. Selalu memperlihatkan betapa besar cinta Eily untuknya. Namun Reza merasa terlalu kerdil untuk melawan tembok keangkuhan itu sendirian. Reza sudah seringkali terpental dan jatuh dalam keterpurukan saat berhadapan dengan tembok penghalang itu.

Dia tak ingin meruntuhkan tembok itu. Dia hanya ingin bisa menaklukkannya, dengan menembus batas yang dibentangkan tembok itu. Tapi sudah saatnya menyerah pada takdir, begitu pikirnya. Tembok itu terlalu liat untuk ditembus.

Kini, Reza justru menyesali keputusannya untuk pergi. Sudah terlambat? Memang kenapa? Biarlah terlambat, Reza akan semakin menyesal jika dirinya tak pernah merasakan peyesalan yang sudah terlambat itu. Jadi biarlah sekarang Reza bergumul dengan segunung penyesalannya.

Reza ingin penyesalannya menjadi penebus kesalahannya. Membiarkan perempuan yang sangat dia cintai tergugu di ujung jalan akhir hubungan mereka. Seorang diri.

Seberkas sinar menyilaukan Reza. Dia mengerang lirih. Lalu memanggil lagi nama Eily. Kali ini dia mendengar namanya disebut. Diantara sedu sedan isakan pilu yang terdengar jauh.

“Eily…Eily…”

*

Perempuan belia namun berkepribadian matang itu menyeka seluruh air mata. Mula-mula dengan sapu tangan. Kemudian sapu tangan yang sudah lembab basah itu hanya di remas-remasnya. Sementara air mata yang terus mengalir seperti hujan deras, disekanya dengan punggung tangannya.

Dia telah telah kehabisan tenaga untuk mengeluarkan suara. Lehernya tegang. Tapi dalam isak tangisnya, masih bisa terbaca sebuah nama.

“Reza…Reza…aku mencintaimu, aku membutuhkanmu.”

Tubuhnya seperti kapal karam terdampar di batu karang. Teronggok di jalan aspal depan rumahnya. Sudah setengah jam, dia masih belum beranjak dari situ. Masih berharap sosok laki-laki muncul dari ujung jalan yang berkabut.

Langit seperti runtuh menimpa dirinya yang sekarang merasa jadi orang yang paling sendirian. Sampai lebam matanya menangis, namun laki-laki itu tak kunjung kembali.

Entah mendapat kekuatan dari mana, Eily bangkit. Terseok menyeret tubuh remuk redamnya. Dia ingin tidur. Melupakan perih di pelupuk matanya yang membengkak. Melupakan perih di sekujur hatinya. Melupakan laki-laki yang baru saja angkat kaki dari kehidupannya.

Dia ingin tidur lama sekali. Sampai dia tidak ingat sedikitpun peristiwa itu, dan seluruh kenangan yang merangkai pertemuannya dengan Reza hingga kejadian yang dialaminya tadi.

*

Siang begitu murung, mendung. Langit hanya tinggal menunggu komando alam untuk menumpahkan hujan ke bumi. Angin diam tak bergerak, mengantar pelayat terakhir meninggalkan tempat suram dimana jiwa-jiwa yang sudah meninggalkan raga bersemayam.

Reza ada di sana. Berbaring di kedalaman pusara. Kini hanya ditemani bumi, tanah tempat dia berpijak mengelana sampai ke perbatasan Atambua. Semasa hidup, Reza melarikan seluruh gundahnya dengan mendatangi tempat-tempat jauh. Menjauh secara fisik, namun nyatanya sampai dia meregang nyawa, hatinya tak pernah bisa jauh dari perempuan sumber kegundahannya.

Perempuan itu juga ada di sana. Berdiri mematung dan membiarkan hujan di matanya turun deras mendahului langit. Terus menangis tak memedulikan sebuah suara memanggil-manggil dirinya. Seperti ingin menguras habis air matanya yang tersisa. Hingga saat dia melangkahkan kaki meninggalkan pusara itu, tidak ada lagi duka berlinangan di pipinya.

“Ini adalah akhir beban deritaku selama dua tahun,” begitu bisiknya lirih entah ditujukan pada siapa.

“Selamat jalan Reza.” Eily menundukkan tubuhnya meraba nisan yang dingin, seolah dia menyentuh tangan dingin Reza terakhir kalinya  tiga hari yang lalu.

“Mamaaa, puyang,” suara cadel kanak-kanak memecah sunyi.

“Iya sayang, ayuk pulang,” Eily merengkuh tubuh bocah lucu itu ke dalam pelukannya. Membawanya pulang, setelah mengabarkan keberadaan bocah itu diam-diam kepada pusara Reza. Bocah yang turut Reza tinggalkan bersama dirinya. Buah cintanya bersama Reza.

Di ujung cakrawala, mendung menggumpal.


Waikabubak, 25 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar