Nama Andrea Hirata adalah jaminan buku laris yang begitu bukunya terpajang di rak-rak toko buku langsung melejit jadi best seller hanya dalam hitungan minggu. Mungkin itulah makanya saya tergerak begitu saja untuk memesan novel dwilogi Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas dari sebuah toko buku online. Saya dilanda penasaran akut untuk menemukan sebuah jawaban yang menggantung di kepala saya ketika membaca novelnya yang terakhir dalam tetralogi Laskar Pelangi, yaitu Maryamah Karpov.
Selain itu saya juga ingin merasakan kembali momen syahdu yang meruntuhkan air mata saat membaca adegan dalam Laskar Pelangi tatkala Mahar menyanyikan sebuah lagu barat untuk pertama kalinya di depan kelas. Entah mengapa saya sangat menyukai Mahar. Juga saya ingin menemukan kembali scene seru dalam Sang Pemimpi yang membuatku ngikik tidak habis-habis, karena membayangkan Arai memerankan anjing pudel yang lucu, menyalak-nyalak tidak karuan demi melihat pujaan hatinya tergelak di pinggir lapangan menyaksikan dirinya menjalani hukuman.
Selain itu saya juga ingin merasakan kembali momen syahdu yang meruntuhkan air mata saat membaca adegan dalam Laskar Pelangi tatkala Mahar menyanyikan sebuah lagu barat untuk pertama kalinya di depan kelas. Entah mengapa saya sangat menyukai Mahar. Juga saya ingin menemukan kembali scene seru dalam Sang Pemimpi yang membuatku ngikik tidak habis-habis, karena membayangkan Arai memerankan anjing pudel yang lucu, menyalak-nyalak tidak karuan demi melihat pujaan hatinya tergelak di pinggir lapangan menyaksikan dirinya menjalani hukuman.
Saya menghabiskan waktu tidak lebih dari tiga jam untuk menamatkan dwilogi Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas itu. Bukan karena saya memiliki kemampuan untuk membaca cepat, tapi lebih karena bagi saya dwilogi ini belum menawarkan sesuatu yang berbeda dari novel-novel Andrea Hirata sebelumnya. Dalam dwilogi ini, Andre Hirata masih menulis dengan gaya yang sama, diksi yang sama, alur yang sama dengan keempat novelnya terdahulu. Tidak ada kejutan-kejutan cerita yang memompa emosi saya dari menangis lalu tiba-tiba tergelak karena lucu. Ini dijelaskan oleh penuturannya yang saya baca di sebuah website. Andrea mengatakan bahwa novel terakhir yang dia terbitkan yakni Sebelas Patriot mempunyai gaya penulisan yang berbeda dengan novelnya terdahulu. Ini disebabkan novel terakhir nya itu ditulis setelah dia mendapatkan beasiswa untuk belajar menulis di Universitas Iowa pada tahun 2010.
Yang menarik bagi awam seperti saya , buku ini sangat lelaki meski misinya jelas. Memperjuangkan kesetaraan hak antara lelaki dan perempuan. Itu karena tema utamanya dari awal sampai akhir adalah tentang kopi dan catur. Tidak ada yang lebih lelaki dari kedua hal itu deh, kayaknya. Setidaknya menurut saya. Boleh dibilang, jika ada perempuan yang mengakrabi kedua hal akan tampak beda - kalau tidak bisa dibilang aneh. Dan pasti akan membuat orang yang melihatnya mengernyitkan dahinya. Coba saja bayangkan kita melihat seorang perempuan main catur sambil sesekali menghirup kopi saat memainkan pionnya. Hehe.
Jika Dee Lestari pernah menulis tentang filosofi kopi, maka serupa dengan itu, Andrea Hirata mengupas seluk beluk kopi dan kecenderungan sifat peminumnya ditakar dari bagaimana cara seseorang menghabiskan kopinya, seberapa kental kopi dan seberapa manis gulanya. Sampai tentang kesetiaan seorang perempuan yang besar cinta pada lelaki yang menjadi suaminya dapat dilihat dari begitu mendarah dagingnya ritual perempuan itu menjerang air di pagi buta lalu menyeduhkan segelas kopi untuk lelaki yang dicintainya itu. Itulah mengapa novel itu berjudul Cinta dalam Gelas.
Mungkin saya salah, tapi entah mengapa saya merasa ada ketidak sesuaian antara judul dan isi novel itu. Sekali lagi saya mungkin salah.
Ketika saya membaca Maryamah Karpov, dengan membaca judulnya saya segera beranggapan bahwa isi novel itu adalah segala segi kehidupan dari seseorang yang bernama Maryamah. Di novel Sang Pemimpi sosok Maryamah secara sepintas digambarkan oleh Andrea sebagai seorang perempuan paruh baya yang sudah ditinggal mati oleh suaminya, hidup menderita sampai sampai untuk membeli beras pun tidak sanggup lagi. Lalu Maryamah dengan terpaksa harus menukar segantang beras dengan biola kesayangan anak gadisnya. Biola itu tidak jadi dilego karena ibunda Ikal dengan ikhlas memberikan beras untuk anak beranak itu.
Dari situ kepenasaranan saya menggantung, sebab Andrea Hirata tidak kunjung menjelaskan duduk perkaranya mengapa sampai perempuan itu memiliki Karpov sebagai nama julukannya. Maka saya berpikir buku Maryamah Karpov lah yang akan menuntaskan segala tanya di benak saya. Tapi keliru besar. Saya tidak menemukan secuilpun kisah Maryamah di buku itu. Yang ada malah pergumulan Ikal dengan hasratnya yang terbesar untuk menemukan perempuan Tionghoa paling dicintainya sampai mengigil-gigil. Maryamah Karpov sepertinya tidak mendapat tempat di 'rumah'nya sendiri. Andrea Hirata gegap gempita mengisahkan penaklukan Ikal terhadap pertaruhan orang di kampungnya menanggapi pencarian spektakuler itu. Spektakuler menurut saya, karena Ikal sampai harus bekerja membanting tulang untuk membiayai pembuatan perahu untuk ekspedisi ke pulau sarang penyamun, tempat dimana konon A Ling berada.
Dan di buku dwi logi Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas lah, kisah paripurna tentang seorang Maryamah Karpov dibentangkan. Saya terkecoh saat membaca sinopsis bahwa dwilogi ini mengisahkan tentang perjuang hidup seorang gadis miskin bernama Enong. Saya mengira ini adalah tokoh baru. Kisah bagaimana Enong cilik terlunta-lunta mencari pekerjaan di Tanjong Pandan, mengais sisa-sisa timah untuk menukarnya dengan beras, dikejar-kejar preman suruhan cukong timah sampai harus melompat dari tebing ke sungai yang deras. Ternyata menuntaskan penasaran saya tentang Maryamah Karpov.
Mungkin itu memang 'kenakalan' Andrea Hirata untuk membuat orang awam seperti saya, tetap menyimpan penasaran untuk buku-bukunya. Saya memang pernah mendengar bahwa judul dibuat untuk menarik perhatian orang agar mau membaca. Tapi rasanya buat saya kok tetap seperti ada yang salah tempat. Hehe. Saya lebih suka kalau judul merepresentasikan apa yang yang menjadi isi dari sebuah tulisan. Jadinya nyambung gitu.
Terlepas dari anggapan saya, novel dwilogi Andrea Hirata ini cukup menghibur dan masih disukai pembaca. Buktinya, belum sebulan dilempar ke pasaran, dwilogi ini telah meraih mega best seller dengan total penjualan mencapai 25.000 eksemplar. Fantastis bukan? Nah, buat teman-teman yang penasaran seperti saya, mending baca deh novelnya. Mungkin, setelah membacanya nanti kalian akan mengerti maksud saya, Hehehe... Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar