Pemantik

Tidak mudah untuk menjadi seorang penulis. Atau lebih tepatnya buatku, tidak mudah untuk menulis. Itulah kesimpulan yang bisa aku tarik setelah  lima bulan dua minggu yang telah lewat aku mendeklarasikan mimpiku untuk menjadi penulis. Sangat tidak mudah karena ternyata setiap kali hendak menulis, aku harus menemukan terlebih dahulu satu pemantik yang bisa menyalakan terang di otakku. Lalu setelahnya baru aku bisa menemukan remah-remah kata yang terselip diam di pikiranku.

Ketika aku memposting note pertamaku yang kuberi judul "Mimpi", aku berpikir pemantik yang menyalakan terang di benakku saat itu akan terus tinggal dan menetap di jiwaku. Lalu keesokan harinya dan hari-hari berikutnya aku akan dengan mudah menuangkan pikiranku ke dalam sebuah tulisan. Dugaan yang salah. Pemantik itu rupanya sebangun dengan emosi. Ia mengalami pasang surut serupa ombak. Dalam perjalanannya ia bisa  timbul tenggelam, datang pergi dan bukan tak mungkin benar-benar pergi. Sungguh merepotkanku saja, bila aku harus terus mencari-cari pemantik bila ingin menulis.

Karena aku masih sangat bergantung pada pemantik, maka apa daya, selama kurun waktu lima bulan lebih dua minggu itu ternyata aku hanya bisa menghasilkan tidak lebih dari 16 tulisan. Itupun lebih banyak tulisan galau ketimbang tulisan serius, hehehe. Amat memprihatinkan, bukan?

Di Twitter, demi mendongkrak minatku untuk terus menulis, aku memfollow seratus lebih orang yang berprofesi sebagai penulis. Mulai penulis sekelas Fajar Arcana yang editor harian Kompas Minggu, Jenar Maesa Ayu, Ayu Utami, Gola Gong,  Pipiet Senja, bahkan novelis internasional seperti Paulo Coelho yang terkenal dengan karyanya The Alchemist.

Tidak cukup dengan itu, aku mulai "bergaul" dengan komunitas para kompasianer di situs jejaring sosial besutan Jack Dorsey, Biz Stone dan Evan Williams itu. Sebuah langkah yang memerlukan modal muka tembok. Ada saat dimana aku ditanya: "kompasianer juga ya?". Lalu dengan sangat malu hati aku menjawab: "hehehe, bukan mbak". Dan itu saja. Setelah itu tidak ada lagi balasan sapaan yang dimentionkan ke akun twitterku.

Sedih? Tentu tidak. Masih ada penulis-penulis lain yang berkenan melayani celotehanku di Twitter. Fajar Arcana, Sitok Srengenge, Pipiet Senja dan beberapa penulis blogger, adalah sebagian dari penulis yang masih mau menyisihkan waktu di timelinenya yang bergerak cepat untuk membagi ilmu menulisnya padaku. Untuk itu aku  menaruh rasa hormat dan salut yang tulus kepada mereka. Meski terbatas, interaksi yang mereka jalin via twitter denganku itulah yang sampai kini menjadi pemantik di dalam dadaku untuk tetap belajar menulis, sekacau apapun hasil tulisanku.

Ada satu ungkapan bagus yang pernah dikatakan oleh seorang kawan di twitter. Ketika itu aku meminta saran darinya karena setiap kali aku mencoba menuliskan sesuatu selalu black out dan akhirnya aku menyerah dan menghapus tulisan yang sudah membentuk paragraf. Aku sangat tersentuh dengan ungkapan itu, sebuah ungkapan yang menusuk kalbu bagi siapapun yang merasa dirinya seorang ibu. Dan sangat masuk akal bagi penulis yang masih belajaran seperti aku.

"Kata-kata yang engkau tuliskan adalah bayi-bayi yang engkau lahirkan dengan susah payah. Jangan pernah membunuhnya". Ungkapan ini menyadarkan aku bahwa setiap kata yang dituliskan pada sehelai kertas adalah anak-anak dari siapapun penulisnya. Setiap anak memiliki raut wajah, postur badan, sifat dan karakteristiknya sendiri-sendiri. Tentu bukan tindakan yang baik mengenyahkan seorang anak hanya karena aku tidak melihat ada keindahan dalam wujudnya. Begitupun kata-kata yang aku tuliskan.

Dengan mengingat erat ungkapan itu, aku berharap bisa mensugesti diriku sendiri bahwa pemantik itu masih ada. Setidaknya sampai aku tidak membutuhkan lagi satu pemantik apapun untuk menulis. Saat dimana menulis sudah menjadi separuh nafasku. Hmm, kapan ya ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar