Rindu Adil

Baru saja aku membicarakan dirimu dengan seorang kawan, Nak. Tentang berapa usia dan kelasmu sekarang. Tak terasa sudah lewat satu dekade hidupmu kau gantungkan padaku. Seorang ibu yang mungkin tak kan pernah menjadi ibu yang genap menyuplai kasih sayang dan belaian cinta kepadamu. Seorang ibu yang pernah membuatmu menitikkan air mata dan meninggalkan jejak kecewa di sudut terdalam hatimu. Maafkanlah ibumu ini, Nak.

Sayang, mungkin dirimu sudah lupa sebelas tahun yang lalu tubuh merah mungilmu kudekap erat sesaat setelah dirimu menghirup udara di dunia fana ini. Badanmu masih lengket oleh sisa air ketuban dan darah yang belum benar-benar dibersihkan. Menggeliat entah kedinginan atau geli karena kulitmu yang halus itu menempel di dadaku. Aku menitikkan air mata. Bahagia melihatmu hadir di hidupku. Di hidup ibu dan ayahmu.

Dirimu adalah anugrah Tuhan untuk kami. Sekaligus amanat terberat yang harus kami junjung di ubun-ubun kami. Kekhawatiranku akan kelemahan dan ketidak sempurnaanku sebagai manusia sekaligus sebagai ibu, sempat menderaku. Bisakah aku membahagiakanmu, menceriakanmu, membuatmu bangga dan bisa menjalani hidupmu tanpa kurang suatu apa? Entahlah, Sayang. Sampai sekarang, aku masih takut untuk menanyakan kepadamu apakah dirimu bahagia memiliki ibu seperti aku.

Nak, kecintaanku pada dirimu mungkin tidak terkabarkan oleh semilir angin, oleh derasnya rinai hujan, oleh teriknya sinar mentari. Namun di dadaku, nama dan ingatan tentangmu selalu tersimpan hangat dan terselimut rindu. Dirimu yang kini jauh dari jangkauan selalu aku naungi dengan doa-doa keselamatan dan kebahagian.

Ingin kuceritakan kepadamu, Nak, tentang betapa lucunya dirimu saat masih bayi. Tentang semua orang yang selalu menjawili pipimu saat kubawa dirimu keman-mana. Tentang saat-saat menjelang kelahiranmu, dan itu adalah bagian cerita yang paling kusuka. Nanti, Nak. Sekarang aku harus menenangkan debaran rindu di dada ini yang membuncah tak karuan. Sampai menikam-nikam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar