Perjuangan Seorang Ibu


Sudah lama sekali saya merasakan sebuah pengalaman yang menakjubkan sekaligus menakutkan sebagai seorang ibu. Takut dan senang menyatu, nyeri teramat sangat namun segera setelah proses kesakitan itu berakhir bibir tak reda menyungging senyum. Lelah, letih dan ngilu bercampur dengan semangat dan suka cita.


Bagi saya, pengalaman itu menakjubkan karena serentetan rasa dan emosi yang bersenyawa dalam proses itu, merupakan awal sebuah kehidupan yang suci, murni, polos dan menularkan kegembiraan yang tak terkira kepada orang-orang di sekitaran. Namun juga menakutkan karena saya diberondong cemas dan khawatir, akankah mulai detik awal hingga seterusnya, saya bisa menjalani peran yang sungguh tak ringan sebagai seorang ibu.


Sembilan tahun adalah waktu yang cukup untuk saya bisa melupakan rasa sakitnya. Apalagi saya diberi kemudahan oleh Tuhan dalam menjalani proses melahirkan kedua anak saya. Tidak lebih dari dua puluh menit saja. Dan bayi mungilku hadir di dunia. Rasa sakit itu lenyap tidak berbekas. Digantikan oleh senang yang meletup-letup di dada.


Ingatan tentang pengalaman indah itu belakangan menggeliat lagi, setelah saya membaca status seorang teman baik yang telah melahirkan putrinya yang ketiga di Tangerang sana. Perjuangan seorang Ibu, begitu Mbak Fitri Taufik --teman saya itu--  menuangkan luapan kebahagiaannya di beranda Facebooknya. Saya pun tergetar.


Menjadi seorang ibu tidaklah otomatis tersemat dalam diri seorang perempuan ketika ia mengandung dan melahirkan. Betul bahwa mengandung dan melahirkan adalah peran terpurna bagi seorang perempuan secara kodrati. Namun apakah persoalan menjadi seorang ibu selesai setelah ia mengandung dan melahirkan? Rasanya tidak.


Perjuangan seorang ibu saat sembilan bulan membawa sesosok janin dalam perutnya dan kemudian berdarah-darah melahirkan, lebih merupakan awal dari sebuah perjuangan yang sebenarnya bagi seorang ibu. Bisakah seorang ibu hadir di sisi anaknya di saat sang anak memerlukan perhatian dari seorang ibu. Mampukah seorang ibu menjadi panutan ketika sang anak mencari-cari sosok yang bisa ia jadikan idola. Relakah seorang ibu mengenyampingkan kepentingan dirinya untuk memenuhi kebutuhan anak akan cinta dan kasih sayang.Sungguhkah seorang ibu  mau mengerahkan seluruh kemampuannya agar sang anak setiap waktunya dipenuhi oleh kegembiraan, celoteh riang dan gelak tawa. Itulah perjuangan terbesar seorang ibu dalam mengantarkan anak-anaknya menjadi  manusia yang utuh.


Saya pribadi mengakui kelemahan saya sebagai seorang ibu. Seluruh pertanyaan tadi lebih saya tujukan untuk diri saya sendiri. Dan belum bisa saya dapatkan jawaban yang sempurna atas semua pertanyaan itu.


Kegembiraan dan antusiasme  saya saat mengandung dan kemudian melahirkan anak saya, hanya bertahan selama beberapa hari saja. Selebihnya banyak hal yang tidak dapat saya persembahkan bagi kelangsungan hidup anak saya secara komperhensif. Di sana sini saya melakukan excusing yang membuat anak saya lebih banyak harus memahami kondisi ‘kesibukan’ dan ‘kelelahan’ saya. Sedihnya, justru anak saya yang terpaksa berkorban untuk kehilangan keceriaan dan keriangan karena kehilangan waktu emas yang seharusnya dihabiskan bersama saya. Hanya karena saya lebih memilih untuk berkutat dengan setumpuk pekerjaan di kantor.


Apa yang telah saya perjuangkan untuk kedua gadis mungilku? Rasanya saya malu mengatakan kepada kedua anak saya bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu.


Teman saya yang baik itu pernah sekali mengatakan bahwa saya beruntung menjadi wanita karir. Tidak seperti dia yang hanya ibu rumah tangga. Saat dia mengatakan begitu, saya sempat tersanjung dalam hati. Namun sesungguhnya dialah yang lebih beruntung. Seluruh waktunya tercurah untuk mengawal tumbuh kembang anak-anaknya. Kapanpun dia bisa memeluk dan bercanda riang bersama buah hatinya. Tidak pernah dia rasakan kecemasan yang menusuk-nusuk hati saya saat harus ber’canda’ dengan komputer di kantor, sementara di rumah anak saya sendirian entah sedang apa.


Sejatinya seorang ibu seperti teman saya itulah yang benar –benar memperjuangkan dirinya untuk menjadi seorang perempuan yang layak dipanggil ibu. Seluruh tetes keringat dan air matanya tumpah untuk kepentingan anak-anaknya.  Setiap detik waktu yang dia jalani sepenuhnya berputar untuk mendampingi gelak tawa dan rengek tangis bocah-bocah lucu itu.


Untuk temanku yang baik hati, jangan pernah merasa kecil dengan peranmu yang mulia sebagai ibu rumah tangga. Sungguh. Seperti saya yang kini cemburu kepadamu karena ketersediaan waktumu sepenuhnya untuk memperhatikan anak-anakmu. Pasti engkaupun akan merasakan betapa tidak enaknya dan sempitnya lahan untuk berjuang sebagai seorang ibu, ketika engkau menjadi seorang wanita karir. Engkau akan mudah mengenyampingkan anak-anakmu demi selembar rupiah yang tidak seberapa nilainya dibanding dengan binar mata anak-anakmu saat engkau memeluk mereka dengan penuh kasih sayang. Dan itu sungguh menyedihkan.


Pada minggu kedua usia putri kecilmu saya ucapkan selamat padamu, semoga dia kelak tahu bahwa dirimu adalah ibu terbaik  dari seluruh ibu yang ada di dunia ini.




Waikabubak, 12 Juli 2011.
Repost.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar