Dini hari ini lebih dingin dari biasanya. Kakiku mengkerut dan kram waktu menyentuh lantai yang beku. Namun selalu saja, serta merta hawa nyaman yang hangat menyelusuri hatiku. Teratur, pelan dan pasti, kehangatan itu lalu mengalir ke cabang dan ranting aliran darah di seluruh tubuhku. Membuat dingin embun pagi di kota kecil ini, serasa sirna. Yang tinggal hanya kehangatan yang membuatku enggan menanggalkan kenangan tentang kisah seorang ibu.
Mengenang ibu adalah mengenang hidup. Karena ibu adalah kehidupan itu sendiri. Ia membawa kehidupan dalam tubuh ringkihnya. Ia memelihara kehidupan sepanjang usianya, Ia mengajarkan kehidupan kepada setiap kehidupan baru yang ia lahirkan. Ibu hidup untuk memberi kehidupan pada kita.
Ibuku adalah seorang perempuan bersahaja. Perempuan yang mempersembahkan sisa umurnya untuk mengantar enam orang anaknya mencapai cita-cita. Bagi ibu, cita-cita adalah barang termewah yang tidak mungkin ia gapai lagi. Kecuali ia menggadaikan hidupnya, menyita umurnya, memeras keringatnya agar dapat menobatkan anak-anaknya sebagai peraih cita-cita. Cita-citanya adalah cita-cita anaknya.
Shubuh ini begitu hangat saat ku kenang ibuku. Di setiap dini hari seperti ini, dengan terseok-seok menahan kantuk, ibu bangun, meraih handuk dan bergegas menuju pancuran di belakang rumah, untuk membersihkan dirinya. Dengan air wudhu yang masih menetes di keningnya, segera ia menghadap Sang Maha Hidup, untuk sholat dan melambungkan doa-doanya. Doa untuk anaknya. Menetes air matanya mengingat perjalanan yang masih panjang, biaya yang berat dan ringkihnya tenaga yang beranjak tua.
Ketika matahari mulai bersinar di balik rimbun pepohonan, ibu mulai berbenah menyiapkan segala sesuatunya. Sarapan untuk seisi rumah, pakaian untuk suaminya bekerja dan anaknya bersekolah, mengantarkan mereka berangkat di beranda rumah, lalu secepat kilat memberesi kembali sisa-sisa kekacauan pagi hari itu. Kemudian ia mulai menyiapkan perangkat kerjanya, bermeter-meter kain untuk dijahit dan dibordir. Menekuri mesin jahit yang berdecak keras sepanjang siang, mengikuti alur-alur pola yang telah direka sebelumnya, menjahitnya hingga menjadi selembar pakaian.
Siang hari itu , keletihannya dilengkapi dengan menyiapkan makan siang untuk suami dan anak-anaknya yang akan segera pulang. Belum sempat beristirahat. Setelah semua perut mendapatkan jatah makan siangnya, kembali ibu harus menguras tenaganya, berjalan berkeliling dari rumah ke rumah untuk menjual sepotong dua potong kain sarung, batik, daster dan pakaian anak-anak.
Semua itu ia lakukan dengan semangat, tanpa mengeluh dan menyerah pada keadaan yang sulit. Air mata dan keringat yang ia teteskan, telah menjadi bahan bakar yang menyengat energinya kembali. Ia jalani kehidupan yang terjal itu selama dua dasawarsa. Sedikitpun lelah tidak membuatnya berhenti sebelum ia melihat anak-anaknya menjadi seperti apa yang ia citakan.
Aku selalu terlecut bagai kuda yang lari lintang pukang. Ketegaran ibu selalu berhasil membuat aku bangkit dari kemalasan dan keengganan belajar. Lalu berusaha terbirit-birit mengejar apa yang tertinggal, mempertipis kebodohan dan berusaha sekuat tenaga untuk cinta pada deretan huruf-huruf di buku pelajaran. Aku terpesona oleh senyum bahagia ibu, setiap kali ia melihat anak-anaknya tekun belajar. Lebih lagi saat melihat senyum ibu itu terkembang setiap kali menghadiri wisuda anaknya yang telah menjadi sarjana.
Pagi ini seindah pemandangan setiap pagi di masa itu. Saat ibuku mengenggam kitab suci, menderesnya tenang. Setenang udara yang mengalun pelan menyejukkan. Ada perasaan yang hening , jauh dan bergema di lubuk hatiku, saat mengingat ibu membaca buku untuk menghilangkan keletihan. Sosoknya bagai Dewi Sri di mataku. Daya hidup, ketegaran, keanggunan menyelimuti auranya yang cinta ilmu.
Karena ibu aku menjadi sebuah kehidupan, dari ibu aku belajar tentang kehidupan.
"Waikabubak di awal pagi ke 15 bulan Mei tahun 2011".
Repost.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar