Sumba Berduka

Saya tengah menekuri layar laptop ketika siang tadi sebuah berita duka mengejutkan kami di kantor. Seorang ayah, guru, ustadz, tokoh masyarakat dan sahabat yang baik budinya bagi semua orang, telah berangkat mendahului kita semua. Beliau meninggalkan semua yang mencintainya di dunia fana, pergi menyusuri perjalanan terakhirnya di alam Barzah. Usia yang lanjut dan sakit yang dideritanya telah mengantarkannya ke gerbang perpisahan antara dunia dan akhirat. Ketika berita itu saya terima, sontak kenangan saat pertama saya berinteraksi dengan beliau secara langsung tergambar di pelupuk mata.

Sore itu, ketika saya bersama murid-murid saya tengah latihan teater di halaman SDI Waikabubak, seorang bapak yang ramah dengan sesungging senyum menyapa: " Assalaamu'alaikum, waaah...sungguh luar biasa ibu ini, sudah terjun membina anak-anak kami..."

Sungguh. Kalimat yang keluar dari bibir seorang bapak yang tidak pernah kelihatan masam mukanya itu membuat jiwa saya sangat melambung. Padahal apa yang saya lakukan sebenarnya hanya kegiatan mengisi waktu kosong saya. Sekedar supaya ada kerjaan. Ternyata beliau mengapresiasinya sebagai hal yang luar biasa. Walaupun mungkin itu dilakukan untuk menyemangati saya. Namun, saya sangat merasakan ketulusan dan kehangatan dalam kata-katanya. Saya yakin, hal itu beliau senantiasa lakukan kepada setiap orang yang beliau temui. Entah itu keluarga, sanak saudara, sahabat, kenalan, tetangga, murid-murid dan bahkan orang yang tidak beliau kenal secara pribadi. Itulah mengapa, berita kematiannya menimbulkan kedukaan yang mendalam di setiap penjuru tempat.

Kematian adalah keniscayaan. Setiap yang bernyawa suatu saat akan merasakan sakaratul maut yang datang menjemput. Semua orang akan dipaksa untuk meninggalkan semua yang dipunyai. Siap ataupun tidak, tak seorangpun dapat menolak maut. Kematian menyadarkan kita bahwa tidak ada yang bisa melawan kehendak Tuhan. Meskipun kesadaran itu telah kita resapi,  tetap berat rasanya kehilangan orang yang kita cintai. Terlebih orang itu adalah sesosok panutan yang penuh dengan kasih sayang.

Ketika semua yang ditinggalkannya terisak menangis dan berduka cita. Tatkala kenangan demi kenangan berputar di pelupuk mata yang basah oleh air mata. Sesungguhnya beliau tengah tersenyum. Kebaikan dan amal sholehnya kini menjadi kendaraan mewah untuk beliau meniti perjalanan terakhirnya menuju akhirat. Menghadap Sang Khalik yang telah menunggunya dengan menyiapkan sebuah rumah yang lebih nyaman untuk beliau tempati di akhirat sana. Barisan malaikat yang selama beliau hidup, turut bertasbih, bertahmid dan bertahlil bersamanya, kini menyambutnya dengan senyuman dan wajah yang bercahaya.

Maka sejatinya kita tengah menangisi diri sendiri. Apakah kelak saat maut menghampiri kita, ada amal sholeh yang menjadi kendaraan kita, atau kita akan terseok-seok meniti jalan yang lebih terjal dari kehidupan keras di dunia ini? Dapatkah bibir kelu kita menerbitkan senyuman ketika di alam barzah, setiap amal ibadah kita menjadi lentera yang menyinari peraduan terakhir kita, atau kegelapan  dan ketakutan  tidak terhingga menyiksa istirahat terakhir kita? Adakah malaikat yang datang menyambut dengan senyum dan wajah yang bercahaya, atau kita sendirian di tengah alam yang asing dan suram...

Selamat jalan Ustadz H. Muhammad Bin Hasyim Al Gadri.... Seumur hidupmu, Engkau telah menjadi panutan terbaik kami. Sepeninggalmu pun wejanganmu tetap akan kami pikul diatas ubun-ubun kami. Esok kami akan mengantarmu ke peraduanmu yang terakhir. Hanya bait-bait doa yang turut menyertaimu. Kelak kami, satu persatu akan menyusulmu jua. Semoga kita dapat kembali bersua, dengan penuh keridhoan dan rahmat Allah di yaumil akhir... Amiin....


Waikabubak, 9 Agustus 2011
Repost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar