Dear God.
Entah mengapa hatiku galau beberapa hari belakangan ini. Terseret oleh sebuah lakon yang aku coba untuk perankan. Namun ternyata kisah ini berjalan dengan ending yang sulit aku bayangkan bagaimana hasilnya.
Aku semula hanya ingin mempertemukan adik perempuanku dengan seorang pemuda yang kupikir ia akan cocok menjadi calon suaminya. Aku menyayangi adikku. Dan sepertinya aku menyayangi pemuda itu seperti aku menyayangi adikku. Hatiku mengatakan pemuda ini adalah orang yang tepat untuk adikku. Persis seperti saat aku berjumpa dengan seorang laki-laki yang kini menjadi pendamping hidupku. Aku terpana dan mengatakan pada diriku sendiri, inilah orang akan menemani hari-hariku kelak.
Tuhanku Yang Menguasai Hati dan Cinta.
Kupertemukan mereka dengan secercah harapan, mereka akan saling mengagumi dan saling menyukai. Sebuah awal yang agak mendebarkan bagiku sendiri. Rupanya hatiku tak cukup kokoh untuk menerima kejutan yang akan hadir pada setiap episode dari kisah perjodohan ini. Kecemasan bahwa pemuda itu ternyata tidak menyukai adikku, atau ternyata dia telah menemukan seseorang yang istimewa di hatinya, mendera pikiranku. Ini lebih sulit dari yang kuduga. Bahkan menyamai cemasnya hatiku saat ingin memperkenalkan kekasihku pada kedua orang tuaku. Akankah orang tuaku, terutama sekali ibuku akan menyukai dan jatuh hati pada kekasihku, atau sebaliknya malah membekukan wajahnya dan mengatakan dia bukan laki-laki yang pantas untukmu.
Kusebut nama-Mu Yang Agung, Tuhanku, saat aku memberikan kontak adikku kepada pemuda itu. Aku benar- benar jatuh hati pada pemuda itu. Sampai- sampai aku mengesampingkan perasaan malu dan sungkanku kepada-Mu untuk menitipkan sepenggal keinginan ini kepada-Mu. Mungkin saat itu Engkaupun tersenyum geli kepadaku. Seorang yang selalu lupa dan melalaikan-Mu, kini mengemis cinta-Mu agar sepasang pemuda dan pemudi yang terpisah ribuan mil bisa bersatu dalam ikatan kasih sayang. Aku yakin Engkau tahu benar isi hatiku. Karena setiap yang bergolak dan berkecamuk dalam hati ini semua adalah kehendak-Mu Yang Sejati. Maka aku, dengan setumpuk rasa tak karuan datang menghadap-Mu, mengadukan masalah ini kepada-Mu. Kiranya Engkau berkenan menyambung rantai kisah ini dengan menautkan sebentuk rasa yang indah pada hati adikku dan pemuda itu.
Tuhan, Yang Maha Baik.
Sebenarnya aku telah meletakkan kembali peran yang kulakonkan ini. Aku ternyata tak kuasa menahan naik turunnya suasana hati dalam mengarungi perjalanan yang kukira tadinya akan singkat dan pasti. Aku sepertinya lupa bahwa hati seseorang seringkali serupa labirin yang berliku-liku dan membingungkan. Terkadang aku menyesali mengapa dulu aku tak memikirkan seribu kali terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mengatakan ide ini pada pemuda itu. Meskipun saat itu pemuda itu merespon secara positif , namun bisa jadi itu karena dia ingin menjaga perasaanku dan suamiku – mereka berasal dari satu kota yang sama-- dan pikiran itu yang membuatku semakin tak menentu. Tentu sangat menyiksa hati pemuda itu, bersikap seolah mengatakan ya padahal hatinya ingin lugas mengatakan tidak. Begitu baiknya pemuda itu hingga mungkin kini ia tak sanggup mengatakan sesuatu yang bisa melukai perasaan adikku.
Namun membiarkan hati adikku menggelepar sendiri karena ketidak jelasan arah cerita ini tentu bukan sikap yang baik sebagai seorang kakak. Sedapat mungkin aku harus berusaha menemani adikku menapaki sisa perjalanan yang mulai berliku. Ikut tersenyum saat ia bahagia, dan memeluknya saat keraguan menerpa.
Ah, Tuhan.
Andai saja hati manusia serupa dasar telaga yang bening, akan mudah bagiku untuk menerawang isi hatinya. Membaca apa yang ia pikirkan ketika ia tersenyum saat mengatakan padaku: “Umi, Lilis datang ya?” tentu gamblang dan tidak perlu menerka-nerka seperti sekarang ini. Lalu saat ia datang menjemput adikku untuk menemaninya jalan-jalan memutari kota, aku pasti tidak ragu untuk menyimpulkan bahwa memang ada rasa yang mengalun syahdu di lubuk bening telaga hati pemuda itu.
Tetapi hati manusia adalah susunan rasa dan getar-getar emosi yang sulit diterka. Hati manusia selalu bergelinjang setiap waktu, tak pernah tetap diam pada satu sisi. Tidak jarang hati manusia membentuk kamuflase yang sempurna menipu penglihatan orang. Aku ngeri membayangkan pemuda itu sengaja bersikap baik untuk menutupi hatinya yang kelabu.
Rasanya aku hampir percaya ada sinyal-sinyal yang dipancarkan dari pemuda itu. Sinyal yang akan membuat adikku melayang-layang dalam atmosfer kebahagiaan. Entahlah. Engkau Yang Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di ruang gelap hati manusia. Aku sungguh tak ingin ada air mata yang menetes dari kelopak mata adikku. Sudikah Engkau mengirimkan selarik cahaya agar terang jelas maksud dan tutur kata pemuda itu, Tuhanku?
Duhai Tuhanku.
Cinta memang hak prerogatif-Mu. Manusia tak pernah bisa tahu dari mana arahnya cinta datang. Pun tak bisa memilih dari hati siapa cinta itu akan hadir menghiasi hari-harinya. Namun boleh kan aku memohon, Tuhan, untuk kali ini saja. Tumbuhkan cinta di atas hamparan sanubari pemuda itu untuk adikku. Aku meminta ini untuk kebahagiaan adikku. Adikku telah menaruh harapan indah pada pemuda itu. Dan sepertinya aku telah melihat masa depan mereka berdua adalah dua tangan yang selalu bergenggaman erat, empat mata yang senantiasa saling menatap rindu, degup dua jantung yang tak pernah reda saat hati saling bicara.
Aku yakin dan tunduk pada Kuasa-Mu Ya Tuhanku Yang Maha Pengasih.
Telah tuntas kuungkapkan kegalauanku. Biarlah tiga hari terakhir adikku berada di pulauku ini, kuserahkan pada Kuasa-Mu. Cintakan mereka berdua Ya Tuhan, atau tidak sama sekali. Engkau Maha Mengetahui yang terbaik untuk umat-Mu.
Waikabubak, 5 Juli 2011 saat pagi menggigil.
Entah mengapa hatiku galau beberapa hari belakangan ini. Terseret oleh sebuah lakon yang aku coba untuk perankan. Namun ternyata kisah ini berjalan dengan ending yang sulit aku bayangkan bagaimana hasilnya.
Aku semula hanya ingin mempertemukan adik perempuanku dengan seorang pemuda yang kupikir ia akan cocok menjadi calon suaminya. Aku menyayangi adikku. Dan sepertinya aku menyayangi pemuda itu seperti aku menyayangi adikku. Hatiku mengatakan pemuda ini adalah orang yang tepat untuk adikku. Persis seperti saat aku berjumpa dengan seorang laki-laki yang kini menjadi pendamping hidupku. Aku terpana dan mengatakan pada diriku sendiri, inilah orang akan menemani hari-hariku kelak.
Tuhanku Yang Menguasai Hati dan Cinta.
Kupertemukan mereka dengan secercah harapan, mereka akan saling mengagumi dan saling menyukai. Sebuah awal yang agak mendebarkan bagiku sendiri. Rupanya hatiku tak cukup kokoh untuk menerima kejutan yang akan hadir pada setiap episode dari kisah perjodohan ini. Kecemasan bahwa pemuda itu ternyata tidak menyukai adikku, atau ternyata dia telah menemukan seseorang yang istimewa di hatinya, mendera pikiranku. Ini lebih sulit dari yang kuduga. Bahkan menyamai cemasnya hatiku saat ingin memperkenalkan kekasihku pada kedua orang tuaku. Akankah orang tuaku, terutama sekali ibuku akan menyukai dan jatuh hati pada kekasihku, atau sebaliknya malah membekukan wajahnya dan mengatakan dia bukan laki-laki yang pantas untukmu.
Kusebut nama-Mu Yang Agung, Tuhanku, saat aku memberikan kontak adikku kepada pemuda itu. Aku benar- benar jatuh hati pada pemuda itu. Sampai- sampai aku mengesampingkan perasaan malu dan sungkanku kepada-Mu untuk menitipkan sepenggal keinginan ini kepada-Mu. Mungkin saat itu Engkaupun tersenyum geli kepadaku. Seorang yang selalu lupa dan melalaikan-Mu, kini mengemis cinta-Mu agar sepasang pemuda dan pemudi yang terpisah ribuan mil bisa bersatu dalam ikatan kasih sayang. Aku yakin Engkau tahu benar isi hatiku. Karena setiap yang bergolak dan berkecamuk dalam hati ini semua adalah kehendak-Mu Yang Sejati. Maka aku, dengan setumpuk rasa tak karuan datang menghadap-Mu, mengadukan masalah ini kepada-Mu. Kiranya Engkau berkenan menyambung rantai kisah ini dengan menautkan sebentuk rasa yang indah pada hati adikku dan pemuda itu.
Tuhan, Yang Maha Baik.
Sebenarnya aku telah meletakkan kembali peran yang kulakonkan ini. Aku ternyata tak kuasa menahan naik turunnya suasana hati dalam mengarungi perjalanan yang kukira tadinya akan singkat dan pasti. Aku sepertinya lupa bahwa hati seseorang seringkali serupa labirin yang berliku-liku dan membingungkan. Terkadang aku menyesali mengapa dulu aku tak memikirkan seribu kali terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mengatakan ide ini pada pemuda itu. Meskipun saat itu pemuda itu merespon secara positif , namun bisa jadi itu karena dia ingin menjaga perasaanku dan suamiku – mereka berasal dari satu kota yang sama-- dan pikiran itu yang membuatku semakin tak menentu. Tentu sangat menyiksa hati pemuda itu, bersikap seolah mengatakan ya padahal hatinya ingin lugas mengatakan tidak. Begitu baiknya pemuda itu hingga mungkin kini ia tak sanggup mengatakan sesuatu yang bisa melukai perasaan adikku.
Namun membiarkan hati adikku menggelepar sendiri karena ketidak jelasan arah cerita ini tentu bukan sikap yang baik sebagai seorang kakak. Sedapat mungkin aku harus berusaha menemani adikku menapaki sisa perjalanan yang mulai berliku. Ikut tersenyum saat ia bahagia, dan memeluknya saat keraguan menerpa.
Ah, Tuhan.
Andai saja hati manusia serupa dasar telaga yang bening, akan mudah bagiku untuk menerawang isi hatinya. Membaca apa yang ia pikirkan ketika ia tersenyum saat mengatakan padaku: “Umi, Lilis datang ya?” tentu gamblang dan tidak perlu menerka-nerka seperti sekarang ini. Lalu saat ia datang menjemput adikku untuk menemaninya jalan-jalan memutari kota, aku pasti tidak ragu untuk menyimpulkan bahwa memang ada rasa yang mengalun syahdu di lubuk bening telaga hati pemuda itu.
Tetapi hati manusia adalah susunan rasa dan getar-getar emosi yang sulit diterka. Hati manusia selalu bergelinjang setiap waktu, tak pernah tetap diam pada satu sisi. Tidak jarang hati manusia membentuk kamuflase yang sempurna menipu penglihatan orang. Aku ngeri membayangkan pemuda itu sengaja bersikap baik untuk menutupi hatinya yang kelabu.
Rasanya aku hampir percaya ada sinyal-sinyal yang dipancarkan dari pemuda itu. Sinyal yang akan membuat adikku melayang-layang dalam atmosfer kebahagiaan. Entahlah. Engkau Yang Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di ruang gelap hati manusia. Aku sungguh tak ingin ada air mata yang menetes dari kelopak mata adikku. Sudikah Engkau mengirimkan selarik cahaya agar terang jelas maksud dan tutur kata pemuda itu, Tuhanku?
Duhai Tuhanku.
Cinta memang hak prerogatif-Mu. Manusia tak pernah bisa tahu dari mana arahnya cinta datang. Pun tak bisa memilih dari hati siapa cinta itu akan hadir menghiasi hari-harinya. Namun boleh kan aku memohon, Tuhan, untuk kali ini saja. Tumbuhkan cinta di atas hamparan sanubari pemuda itu untuk adikku. Aku meminta ini untuk kebahagiaan adikku. Adikku telah menaruh harapan indah pada pemuda itu. Dan sepertinya aku telah melihat masa depan mereka berdua adalah dua tangan yang selalu bergenggaman erat, empat mata yang senantiasa saling menatap rindu, degup dua jantung yang tak pernah reda saat hati saling bicara.
Aku yakin dan tunduk pada Kuasa-Mu Ya Tuhanku Yang Maha Pengasih.
Telah tuntas kuungkapkan kegalauanku. Biarlah tiga hari terakhir adikku berada di pulauku ini, kuserahkan pada Kuasa-Mu. Cintakan mereka berdua Ya Tuhan, atau tidak sama sekali. Engkau Maha Mengetahui yang terbaik untuk umat-Mu.
Waikabubak, 5 Juli 2011 saat pagi menggigil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar