Senyum Pengantar Tidur

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya aku menyempatkan mengantarkan gadis kecilku memejamkan matanya. Gadis kecil yang hitam manis seperti abinya itu seperti masih enggan menempati kasurnya. Mulutnya yang mungil terus berceloteh riang menceritakan pengalamannya di sekolah, tadi siang, kemarin, kemarinnya lagi dan kemarin dulu. Terasa ada momen yang berbeda malam ini.

Senang rasanya mendengar celotehannya yang lepas. Sedikit tidak rela menyuruhnya segera tidur, sementara aku masih ingin mendengar suaranya riang berkisah. Namun dia, gadis kecilku itu harus segera tidur., menabung tenaganya untuk menjalaninya aktifitasnya sebagai bocah, belajar, bermain, bermain, dan bermain. Setelah aku merapatkan selimutnya dan memintanyanya untuk merapalkan sebaris doa, anakku pun segera terlelap. Rupanya kantuk yang tadi disembunyikannya itu langsung menguasai matanya. Terlelap dengan mengulum senyum, , sesaat setelah aku mengucapkan selamat tidur untuknya.

Kini tinggal aku sendirian menunggu kantuk datang. Ingatanku pun terlempar jauh ke masa saat aku menjalani masa bocahku sebagai yang agak pendiam. Beda dengan anakku yang sanggup bercerita tentang apa saja kepadaku dengan deskripsi yang jelas, aku adalah anak yang cenderung menyimpan apa yang ada di pikiranku untuk diriku sendiri. Jika aku hendak mengungkapkan pikiranku, maka otakku akan mengulang-ulang kalimat yang hendak kusampaikan hingga pada akhirnya, seringkali aku urung berbicara.

Ibuku bukan tidak tahu, anak perempuan sulungnya, sedikit mengalami “kesulitan” berbicara. Tapi beliau tak pernah memaksaku berbicara. Alih-alih memaksaku berbicara, beliau malah tak pernah bosan mengajakku ngobrol. Tentang apa saja. Walaupun lebih sering obrolan ibu dan anak itu berlangsung seperti pentas monolog. Ibuku sebagai pemeran utamanya, dan aku sebagai penontonnya.

Mendengar ibuku bercerita, membuatku merasa jadi orang paling penting sedunia. Ibuku hanya ada untukku. Apalagi bila malam tiba, ibu selalu datang untuk mengeloniku sambil menyanyi lagu lama, masih lekat kuingat  sebait syair lagu itu, yang dinyanyikan dengan suara merdu mendayu-dayu.

“Inginkah kawan tahu, siapa daku, Minah gadis dari dusun di gunung…”

Lalu ibuku memceritakan dongeng kancil mencuri ketimun, atau raja hutan yang terjepit bambu, kura-kura yang lamban dan monyet yang jahil atau timun mas dan banyak dongeng lainnya. Sering aku memintanya mengulang-ulang cerita yang aku suka. Dan ibuku tak pernah bosan menceritakannya.

Ketika mataku mulai berat dan kesadaranku mulai memudar, ibuku segera mengganti dongengnya dengan membacakan surat-surat pendek dalam Al Qur’an. Tangannya mengelus-elus rambutku. Dan tidak lama kemudian akupun terlelap dalam senyuman, karena ibuku menutup bacaannya dengan sebuah kecupan dan ucapan selamat tidur untukku.

Kenangan itu, menyadarkan aku bahwa ternyata aku telah banyak melewatkan sepenggal malam yang seharusnya menjadi milik anakku. Selama ini aku lebih sering mengantarnya tidur hanya dengan sapaan ringan: “tidurlah, sayang, sudah malam nanti kamu terlambat bangun dan pergi ke sekolah”. Datar dan kaku.

Tidak ada nyanyian, tidak ada dongeng, tidak juga bacaan-bacaan surat pendek seperti kebiasaan yang ibuku selalu lakukan kepadaku. Berlindung di balik kesibukanku, hanya membuatku malu terutama kepada ibuku. Tak sebanding kelelahanku dengan kelelahan ibuku yang harus berjalan keluar masuk rumah menjajakan kain dan baju batik dagangannya, mengurus tiga orang anak, tapi masih tetap mengutamakan waktu sepenggal di malam hari itu untuk mengantarkan tidurku.

Bisa kubayangkan betapa kecewanya ibuku, kalau beliau tahu, cucunya mendengar nyanyian dari mulut televisi, bukan dari mulutku, mennyaksikan dongeng dan cerita dari layar televisi, bukan dari tatapan mataku kala mendongengkannya, menghapal bacaan-bacaan surat pendek dari guru ngajinya bukan dari aku, ibunya.

Malam ini, anakku tidur dengan senyuman dikulum. Tapi bukan karena aku yang mendongengkan kisah-kisah fabel dan cerita rakyat untuknya, melainkan karena dia yang telah mendongengkan kisahnya sendiri di sekolah kepadaku. Bukan pula karena aku menyanyikan lagu-lagu untuknya, melainkan dia yang mendendangkan lagu sambil melenggak-lenggok lucu. Dan bahkan bukan karena aku yang membacakan surat –surat pendek untuknya, melainkan dia yang lirih membacakan sepotong doa untukku.

Kurasa, malam ini aku baru menyadari, bahwa aku begitu beruntung memiliki ibuku. Sementara anakku tak begitu beruntung memiliki ibu yang sepertiku. Walau setidaknya aku merasa lega, masih bisa memberikan anakku  sepotong senyum pengantar tidur.

Untuk ibuku dan dua gadis kecilku.

Repost tulisan lama, 19 Mei 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar