Rumah Adat Sumba |
Mengunjungi perkampungan adat terbesar di Waikabubak adalah satu hal yang berulangkali saya tunda-tunda karena kesibukan saya. Padahal jarak perkampungan adat dari tempat tinggal saya cuma sekitar lima ratus meter saja.Dengan jalan kaki menempuh rute mendaki dengan kemiringan lumayan tinggi, saya sudah bisa sampai di sana dengan mudah. Namun akhirnya saya berkesempatan juga untuk tour ke sana, sambil menemani tamu dari Ditjen PAIS Kemenag RI. Hmmm, suatu kebetulan yang sangat pas.
Kampung adat itu bernama Kampung Tarung. Terletak di sebuah bukit yang rimbun dengan pepohonan yang sudah berusia tua. Setua kampung tersebut. Membuat suasana sekitar kampung itu menjadi teduh dan sejuk. Kampung itu merupakan pusat kampung adat yang ada di seluruh Waikabubak. Dan merupakan kampung adat terbesar di Sumba Barat.
Ketika memasuki perkampungan, kami berpapasan dengan beberapa ibu dan gadis-gadis cilik yang sedang berjalan menjunjung seember air di kepala dan kedua tangannya masing-masing memegang jerigen air berukuran lima liter. Kebiasaan yang mereka harus lakukan setiap pagi dan petang untuk memasok air bersih di dapur mereka. Kondisi geografis Kampung Tarung yang berada di sebuah bukit yang lumayan tinggi membuat penduduk kampung harus bersusah payah naik turun bukit itu demi seember air bersih.
Memang pada umumnya letak kampung-kampung adat di Sumba Barat hampir seluruhnya terletak di perbukitan. Ternyata kondisi itu dikarenakan latar belakang suku-suku di Sumba pada masa lalu adalah suku perang. Dengan memilih kampung adat di bukit, maka secara praktis keamanan mereka lebih terjaga jika suatu saat terjadi kontak senjata atau perang suku di antara mereka. Bukit telah menjadi benteng pertahanan alami bagi penduduk suatu kampung. Sangat masuk akal, sebab akses masuk ke kampung tersebut jadi terbatas dan lebih sulit dibanding bila berkampung di dataran rendah yang terbuka.
Kini kampung tersebut dijadikan sebuah situs cagar budaya oleh Pemerintah Daerah setempat. Akses masuk sampai jalan setapak di dalam kampung tersebut telah dibangun oleh pemerintah, untuk memudahkan pengunjung yang setiap saat bisa datang kesana. Kesan tradisonal sangat kuat melekat pada kampung tersebut. Jejeran rumah-rumah panggung dengan atap menara yang terbuat dari ilalang kering berderet mengelilingi areal pemujaan yang terletak di tengah-tengah kampung. Sehingga kalau dilihat dari udara, perkampungan itu terlihat seperti lingkaran oval.
Tempat pemujaan |
Secara sederhana, rumah-rumah di Kampung Tarung dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah kolong rumah yang berfungsi sebagai kandang binatang peliharaan mereka seperti anjing, babi, ayam dan bebek. Tidak heran saat kami mencoba untuk menengok ke salah satu rumah di situ, hewan-hewan itu berseliweran dengan bebasnya di antara kaki kami. Bagian kedua adalah ruangan utama yang diperuntukkan bagi penghuni rumah. Dan bagian terakhir adalah langit-langit rumah yang dikhususkan untuk menyimpan bahan persediaan makanan mereka seperti padi dan jagung.
Kami beruntung, ketika datang, beberapa ibu tua sedang duduk sambil menenun kain adat sumba yang unik sekali. Kain itu nantinya akan mereka jual di pasar atau langsung dijajakan kepada para turis yang datang. Harganya lumayan mahal, tapi untuk mereka yang suka mengoleksi benda-benda khas daerah yang unik, tentu harga itu tak jadi masalah. Secarik sarung adat atau lembaran yang khusus dibuat untuk baju dihargai antara seratus lima puluh sampai empat ratus ribu tergantung jenis benang dan motifnya. Lalu selembar taplak meja dihargai enam puluh ribu rupiah. Dan selembar selendang yang lebih mirip syal cukuplah merogeh kocek sedalam tiga puluh ribu rupiah. Itu masih bisa ditawar lho.
Tanduk kerbau di depan rumah |
Saat mengamati kegiatan si ibu yang sedang menenun kain sumba, mata saya tertumbuk pada deretan tanduk kerbau yang dipajang di beranda rumah itu. Persis disamping kiri dan kanan pintu masuk rumah. Tanduk kerbau itu dipasang secara berurutan berdasarkan ukuran panjang tanduk. Semakin ke bawah semakin besar tanduk yang dipasang. Jumlah puluhan. Rupanya itu adalah tanduk kerbau yang dipotong saat ada upacara kematian. Jumlah tanduk kerbau itu mencerminkan derajat sebuah keluarga di mata masyarakat sekitar.
Puas berkeliling dan menikmati pemandangan sekitar kampung itu, kami pun beranjak meninggalkan Kampung Tarung. Seorang ibu muda yang sejak awal setia menemani kami sembari berceloteh menjawab pertanyaan kami, mempersilahkan kami untuk mengisi buku tamu yang khusus dipersiapkan bilamana ada turis yang datang berkunjung. Sambil berbisik, driver kantor kami mengatakan kepada saya untuk menyelipkan selembar rupiah sepuluh ribuan di buku tamu itu.
Perjalananpun kami lanjutkan lagi menuju Bandara Tambolaka,untuk mengantar tamu kami kembali ke Jakarta.Mobil kami merayap pelan menuruni jalan yang curam, meninggalkan bayang-bayang gelap rumah-rumah adat di Kampung Tarung yang tersaput cuaca mendung pagi itu.
Suasana Kampung tarung di pagi hari |
Kuat sekali gaya penulisan anda dalam penyampaiannya, enak dibaca dan saya menilai bahwa adalah seorang wartawan?
BalasHapusWaah, saya baru belajaran ini Mas Agus. Termotivasi sama temen-temen sy di twitter yang jago nulis. Jadi pengen nyoba. Eh sekarang baru tau kalo menulis itu juga punya efek menenangkan dan menyegarkan pikiran. Keterusan deh. :))
BalasHapusMakasih ya Mas Agus udah mampir ke blog saya.