Dalam sebuah kunjungan ke sekolah saya bertemu dengan seorang kawan baik. Kakak Mah, demikian saya memanggil perempuan yang usianya terpaut 4 tahun diatas usia saya. Dulu ketika kami masih sama-sama bekerja sebagai tenaga pengajar honorer di sekolah yang sama, dia masih lajang. Sebuah predikat yang sungguh berat untuk disandang oleh perempuan manapun di dunia, saat usia semakin menjorok ke senja. Siapa yang masih bisa tersenyum ikhlas, menyandang gelar perawan tua?
Sesungguhnya Kakak Mah memiliki hampir semua kriteria yang diinginkan oleh laki-laki. Berparas manis, hidung mancung, badan proporsional untuk ukuran tubuh orang Indonesia, well educated dan garis keturunannya bisa dibilang terhormat di Waikabubak. Namun entah faktor apa yang membuat jodoh lambat bertandang dalam kehidupannya.
Ketika dia akhirnya menikah, semua orang di sekitaran menarik nafas lega. Bersyukur pada akhirnya ada laki-laki baik yang mempersuntingnya menjadi istri. Tidak perlu kuatir dengan bayangan-bayangan akan hidup yang kesepian seumur hidupnya. Tanpa kekasih yang menjadikan hidupnya menjadi lebih berwarna cinta, hidup terasa lebih sunyi dari mati.
Tapi rupanya jodoh yang datang, menyisakan beban. Beban itu menyangkut di pundak Kakak Mah berupa empat orang anak. Tiga perempuan dan satu laki-laki. Semua masih berusia kanak-kanak yang masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Hanya yang terbesar yang sudah bisa mengurus keperluan pribadinya, tanpa dibantu orang dewasa. sedangkan tiga lainnya masih harus didampingi untuk bisa menyelesaikan keperluannya, apakah mandi, berpakaian, pergi sekolah, makan, belajar bermain dan lain-lain. Bisa dibayangkan betapa sibuknya Kakak Mah setelah menikah, harus bekerja dan mengurusi empat orang anak yang tiba-tiba saja hadir di hidupnya bersama seorang lelaki yang kini menjadi suaminya. Jawaban dari doa-doanya.
Meluncur air mata Kakak Mah, ketika ngobrol di selasar sekolah hari itu. Predikat ibu tiri kadang menerbitkan pandangan yang tak adil. Dan itu yang sekali dua, terdengar di telinga Kakak Mah, dan menorehkan perih di hatinya. Karena dia merasa, ketika pengantin baru yang lain asyik masyuk memadu cinta dengan pasangannya, dia justru harus terseok-seok di pagi buta menyiap keperluan buah hati suaminya pergi sekolah. Ketika pasangan muda lain tengah santai jalan-jalan bermesraan, dia harus sibuk mendampingi keempat anaknya belajar. Sementara suaminya bekerja di kota lain.
Aku hanya bisa menguatkan. Memberinya pelukan. Jodoh seringkali datang tanpa kita bisa memilih. Ia datang begitu saja di hidup kita. Jika saja bisa, tentu Kakak Mah akan memilih jodohnya seorang laki-laki muda, lajang, berwajah tampan, baik dan mapan. Tanpa embel-embel empat orang anak seperti sekarang. Tapi itulah jodoh. Datang tak duga, dari arah yang tidak disangka-sangka. Tiba-tiba saja hidup terasa berat, ketika dalam hati kita terbersit perasaan kenapa saya harus berjodoh dengan dia. Karenanya, tak perlu lagi mempertanyakan. Berdamailah dengan kenyataan. Dan kelak akan ada saatnya masa-masa sulit berbuah manis. barulah ketika itu kita sadar betapa Tuhan tahu yang kita butuhkan, betapa Tuhan tidak pernah salah memilihkan jodoh untuk kita. Yang ada, seringkali kita lalai melihat dan memahami pasangan kita.
Aku memeluk Kakak Mah. Bayangan suamiku melintas. Diam-diam aku melarungkan doa-doa keselamatan untuknya ke angkasa.
semoga Ka Mah sabar
BalasHapus