Ada peristiwa yang berulang kali diceritakan oleh atasan saya di kantor.
Begitu melekatnya ekspresi wajah Beliau ketika mengisahkan pengalamannya ketika
menjadi Dewan Hakim pada event Musabaqah Tilawatil Qur’an Tingkat Propinsi Nusa
Tenggara Timur di Kupang pada tahun 2006 di Kupang. Al kisah, ada seorang anak
peserta Tahfidzul Qur’an (penghafalan Al Qur’an) yang berusia kurang
lebih 13 tahun mengalunkan ayat-ayat suci Al Quran dengan kemerduan dan
kebeningan suaranya yang masih murni. Sudah sering kita mendengar Al Qur’an
dibaca, namun begitu suara polos itu melantunkan ayat suci yang telah
dikuasainya di luar kepala, sontak seluruh Dewan Hakim saat itu berlinangan air
mata mengagumi kefasihan dan keindahan bacaan anak tersebut. Begitu beliau
menuturkan kisahnya.
Keberadaan Tahfidzul Qur’an pada pelaksanaan MTQ di NTT, bisa dikatakan masih seumur jagung. Karena baru pada saat MTQ terakhir itulah diadakan Tahfidzul Qur’an. Satu hal yang cukup memprihatinkan, karena bila kita menoleh ke propinsi lain, maka banyak kita dapati generasi muda yang penghafal Qur’an atau dikenal dengan sebutan para Hufadz. Fenomena munculnya Tahfidzul Qur’an akhir-akhir ini menorehkan sedikit harapan bahwa akan muncul generasi Qur’ani di tengah gersangnya alam rohani umat Islam di NTT.
Betapa tidak, sangat sedikit umat Islam yang melek Al Qur’an, sebab
kebanyakan kaum awam yang tidak mengenyam Pendidikan Agama Islam secara
intensif baik di lembaga formal maupun informal dan non formal, hanya mengenal
beberapa bacaan surat pendek yang sehari-hari digunakan untuk sholat dan
ditambah surat Yasin yang sering digunakan untuk mengisi acara dalam hampir
semua pengajian yang diselenggarakan di majlis-majlis ta’lim. Padahal Al Qur’an
terdiri dari 114 surat yang di dalamnya terdapat semua pedoman dan petunjuk yang
dibutuhkan umat Islam. Maka dapat kita
bayangkan seperberapanya mereka membaca
dibandingkan dengan seluruh isi Al Qur’an. Sayangnya, dari sedikit umat Islam
yang dapat membaca Al Qur’an dengan baik pun masih kurang membiasakan membaca Al
Qu’an sebagai amalan harian untuk mencintai Al Qur’an sebagaimana yang
dianjurkan Rasulullah SAW. Maka tinggallah segelintir orang saja yang masih
setia untuk mendawamkan (membiasakan diri untuk secara rutin) membaca Al
Qur’an di rumahnya masing-masing ataupun di masjid dan majlis-majlis ta’lim.
Dan kitapun dapat memperkirakan berapa orang yang mau mengajarkan Al Qur’an kepada umat Islam lainnya.
Maka wajarlah jika para Dewan Hakim pada pelaksanaan MTQ di Kupang itu
berlinangan air mata mendengar alunan ayat suci yang keluar dari mulut salah
seorang pesertanya. Air mata yang menyiratkan banyak perasaan yang sukar
dilukiskan dengan kata-kata. Kekaguman akan kefasihan dan kemerduannya. Keirihatian
terhadap kemampuannya menghafal Al Qur’an pada saat umurnya yang masih belia.
Kerinduan akan semerbaknya bacaan Al Qur’an yang dilantunkan oleh umat Islam di
seantero NTT. Dan kesyahduan akan agungnya Firman-firman Allah dalam Al Qur’an.
Pentingnya mengenal dan mencintai Al Qur’an dapat diupayakan melalui
pengajaran-pengajaran membaca Al Qur’an yang dilakukan oleh orang tua secara
langsung ataupun melalui pengajaran yang
diselenggarakan oleh Taman Pendidikan Al Qur’an sedini mungkin. Sebab seringkali
ditemui, keterlambatan mengajarkan Al Qur’an pada anak akan berakibat anak
tidak dapat memunculkan kecintaannya akan Al Qur’an, Sehingga dampaknya lebih
jauh, anak enggan manakala orangtua menyuruhnya untuk mempelajari Al Qur’an. Sayangnya,
masih banyak sekali orang tua yang lupa
untuk memberikan pengajaran Al Qur’an
kepada anak-anaknya.
Sejatinya, pengajaran Al Qur’an akan lebih efektif bila dilakukan oleh
orang tua secara langsung. Tentu kita sudah maklum bahwa anak adalah peniru
orangtuanya. Dengan sifatnya yang demikian, anak-anak akan lebih mudah untuk
menyerap pengajaran Al Qur’an yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Namun
jarang orang tua yang berkesempatan untuk melakukannya. Ada dua faktor yang menyebabkan hal itu terjadi,
yaitu pertama, kesibukan atau keengganan
bagi orangtua yang sebenarnya mampu mengajarkan Al Qur’an kepada anak-anaknya
dan yang kedua, ketidak tahuan orang tua
itu sendiri untuk membaca Al Qur’an sehingga pengajaran membaca Al Qur’an
kemudian diwakilkan kepada guru mengaji atau ustadz.
Beberapa contoh hidup menggambarkan betapa pendidikan yang dilakukan secara
langsung oleh orangtua kepada anaknya sendiri sangatlah berpengaruh kuat dan menjadi
pegangan si anak dalam menjalani
hidupnya. Adalah Dr. Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, dia baru berusia 5
tahun tatkala menghafal Al Qur’an dan sekaligus dengan maknanya. Pada saat ia
berusia 7 tahun dia mendapatkan gelar doktor kehormatan dari salah satu
Universitas di Inggris. Anak pertama di Iran –dan bisa jadi di dunia-- yang
mampu menyampaikan semua keinginannya dan percakapannya dengan mempergunakan
ayat-ayat suci Al Qur’an. Kemampuan telah diuji oleh para hufadz, mufassirin,
syaikh dan jamaah lain dari seluruh negeri Iran. Sang ayah, menuturkan bahwa ia
telah mengajarkan anaknya itu Al Qur’an sejak ia berusia 2 tahun 4 bulan. Dengan
merendah ia mengatakan bahwa “Sebenarnya saya sebagai ayah tidak pantas
berpesan sebagaimana yang anda inginkan. Tetapi disini saya atas nama pengajar
Al Qur’an akan berpesan kepada Bapak Ibu bagaimana saya mengajarkanAl Qur’an
kepada anak saya. Yaitu pada awalnya para Bapak Ibu sendiri harus memiliki
perhatian khusus terhadap Al Qur’an. Di rumah harus sering membaca Al Qur’an.
Kalau tidak, jangan harap anak akan menjadi penghafal Al Qur’an, menjadi qari
yang mampu memahami Al Qur’an. Saya di rumah membiasakan berbicara dengan
bahasa Al Qur’an dengan Husein dan ibunya, apalagi sebagai hafidz kami harus
membaca 2 juz kurang lebih. Selaras dengan keahliannnya di dunia, dia (Husein)
berada di lingkungan rumah yang Qur’ani. Berdialogpun dengan al Qur’an, maka
iapun mengikutinya. Maka pelajarilah Al Qur’an”. Subhanallah.
Kita mungkin tidak dapat meniru sepenuhnya si anak ajaib Husein
Thabathaba’i, yang memperoleh “keajaiban”nya dari didikan orang tuanya sendiri
di rumah yang mengajarkan dia untuk membaca, menghafal dan berdialog dengan
menggunakan Al Qur’an. Namun bukan lantas kita apriori terhadap kisah
tersebut, paling tidak, kita bisa meneladani
untuk mulai menanamkan pemahaman kepada anak-anak kita dan anggota keluarga
kita untuk mencintai Al Qur’an, karena ternyata Husein memperoleh keahliannya
itu dari hasil didikan orang tuanya dan bukan semata-mata karena ia genius. Dan
hal itu harus dimulai dengan mengajarkan membaca Al Qur’an. Tentu saja, kita
bisa mengajarkan membaca Al Qur’an kepada anak-anak kita jika kita sendiri bisa
membaca Al Qur’an dan yang terpenting kita harus menyisihkan waktu kita untuk
itu.
Bagi orang tua yang karena satu dan lain hal tidak dapat mengajarkan Al
Qur’an kepada anak-anaknya, satu-satunya harapan yang dapat mewujudkan
keinginan agar anaknya tumbuh sebagai generasi yang Qur’ani adalah dengan
mewakilkan pengajaran Al Qur’an tersebut kepada guru mengaji atau ustadz. Kini
dengan berkembangnya pendidikan agama, bermunculanlah Taman-taman Pendidikan Al
Qur’an. Dengan mengadopsi metode pengajaran Al Qur’an yang modern dan mudah
difahami oleh anak-anak, Taman Pendidikan Al Qur’an yang lebih dikenal dengan
sebutan TPA/TPQ menjadi suatu wadah bagi proses pembentukan generasi Qur’ani
yang komperhensif di Indonesia khususnya di NTT. Keberadaannya menjadi the
one and only place untuk menciptakan anak yang memiliki kemampuan membaca
Al Qur’an sejajar dengan anak-anak lain di Nusantara.
Kenapa demikian? Mari kita lihat. Selain TPQ, tempat mana saja yang dapat
menjadi wadah bagi anak kita untuk belajar Al Qur’an? Sekolah mungkin
mengajarkan Pendidikan Agama Islam namun dengan terbatasnya jam pelajaran pada
mapel Pendidikan Agama Islam, maka sangat sulit bagi guru untuk mengajarkan
baca tulis Al Qur’an dengan intensif. Sebab selain kurikulum untuk Pendidikan
Agama Islam telah ditetapkan dengan berbagai muatan keislaman yang beragam,
mengajarkan Al Qur’an tak cukup hanya seminggu sekali saja. Sangat tidak menjanjikan
menyerahkan pengajaran Al Qur’an kepada sekolah semata.
Masih ada pondok pesantren. Di tempat ini, pengajaran Al Qur’an mendapatkan
porsi yang utama dan pertama. Sebab pada dasarnya pondok pesantren adalah
sebuah tempat menempa ilmu agama Islam yang sumber utamanya adalah Al Qur’an.
Namun bagi umat Islam di NTT, pondok pesantren serasa masih asing terdengar di
telinga. Bagi banyak orang barangkali pondok pesantren masih terlalu utopia.
Kesan bahwa pondok pesantren adalah tempat dimana waktu hanya diisi dengan belajar,
mengaji dan beribadah saja membuatnya jarang mendapat tempat di hati orang tua
yang kelewat kuatir anaknya tidak akan mampu menerima beban sedemikian sarat.
Namun permasalahannya sebenarnya bukan itu, karena keberadaan pondok pesantren
di NTT masih bisa dihitung dengan jari, dan dari semuanya itu mungkin hanya
satu dua saja yang benar-benar kredible disebut sebagai pondok pesantren.
Maka dengan kondisi demikian, layaklah bila TPQ disebut sebagai the one and
only place. Sekilas memprihatinkan memang. Namun, patut kita beri acungan
jempol kepada TPQ-TPQ yang ada di NTT, yang di tengah derasnya arus globalisasi
dan minimnya perhatian orang tua terhadap pendidikan agama, ia hadir bak oasis
yang menyegarkan dahaga di tengah kegersangan.
Di tengah derasnya era globalisasi, masyarakat kita cenderung rentan untuk
tergerus dan hanyut dalam dampak globalisasi yang negatif. Hantaman era
keterbukaan yang kadangkala mengancam dekadensi moral sangat mudah mempengaruhi
orang yang kurang pendalamannya terhadap agama. Belum lagi arus pergaulan
masyarakat yang karena asimilasi budaya menjadi berbaur sedemikian rupa,
menyebabkan batasan-batasan agama rapuh dan mudah dilanggar.
Gerangan langkah apa yang bisa kita
lakukan untuk menepis itu semua? Tak lain dan tak bukan, sesegera
mungkin kita budayakan gerakan cinta Al Qur’an. Dengan membaca, menghayati dan
intens mengamalkan ajaran-ajaran yang terdapat Al Qur’an, maka insya Allah kita dapat membentengi diri kita dan
anak-anak kita dari gencarnya krisis moral yang dapat mengikis kualitas
generasi muda kita. Kita tentu tidak menginginkan memiliki anak yang rohaninya
kering dari penghayatan agama. Kita tentu tidak mau mendapati suatu saat anak
kita terpapar pengaruh salah pergaulan. Kiranya, hanya dengan mencintai Al
Qur’an sajalah kita dapat menaruh harapan bahwa kelak anak-anak kita menjadi
generasi yang high quality, sholeh dan menjadi kebanggaan. Ingatkah kita akan
Firman Allah yang menjanjikan kemuliaan bagi siapa saja yang mau mempelajari Al
Qur’an dan mengamalkannya?!
Alangkah indahnya kehidupan kita, bila dalam setiap langkah senantiasa ada
ayat-ayat Al Qur’an yang mengalun dari mulut dan hati kita. Betapa tentramnya
kita manakala kita mengetahui anak-anak kita tumbuh menjadi generasi yang
mencintai Al Qur’an sekaligus mencintai ajaran yang terkandung di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar