Buku

Membaca buku adalah sebuah keasyikan tersendiri yang sulit saya cari bandingannya. Buku membuka cakrawala luas yang terbentang di hadapan saya. Saya bisa mengetahui apa yang sebelumnya saya tidak tahu. Saya bisa mengenal sesuatu yang sebelumnya saya tidak kenal. Saya bisa menyusuri jalan sebuah tempat yang bahkan belum pernah saya injak sebelumnya. Semua karena buku.

Namun, itu baru sekelumit tipis manfaat membaca yang saya rasakan. Dengan membaca buku, setiap kali, saya akan belajar untuk merangkai kata. Meski awalnya hanya tersimpan di benak, tapi kemudian lama-lama saya akan terangsang untuk mengekalkannya dalam sebuah tulisan. Saya sekarang jadi suka menulis. Lalu mulai berkeinginan untuk menulis sesuatu yang berarti. Dan membuahkan sebuah karya. Sebuah buku karya saya sendiri.

Betapa menyenangkan, mengetahui semua orang membaca buku yang saya tulis.

Hanya saja, saya tidak bisa dengan mudahnya mewujudkan keinginan saya itu. Ternyata menulis bukan suatu hal mudah. Meskipun banyak yang bilang menulis bukan sesuatu yang sulit. Maka saya harus belajar banyak. Membaca banyak. Dan, berusaha berteman dengan seseorang yang berhasrat sama untuk menulis.

Membaca buku yang bagus akan juga membuat kita bisa menulis bagus. Kata orang begitu. Tapi saya malah tertarik untuk membaca buku dari seorang teman yang kita kenal secara pribadi, bahkan bila buku itu bukan buku best seller. Ada semacam kekuatan yang bisa menulari saya untuk segera menyusul teman tersebut dalam menghasilkan karya nyata. Sebuah buku. Saya bisa berbincang tentang bagaimana proses kreatif teman tersebut dan liku-liku pembuatan buku itu. Saya bisa merasakan inspirasi yang merambat naik ke kepala saya karenanya.

Dan kini sebuah buku karya seorang teman, hadir di depan saya. Xixi, Diary Sang  Rising Star. Begitu judulnya. Beberapa hari sebelumnya saya berbincang di fasilitas chat sebuah jejaring sosial dengan penulisnya. Mengeluhkan betapa sulitnya saya mendapatkan feel untuk melanjutkan sebuah draft novel yang saya tulis hampir  dua bulan yang lalu. Dan berharap dengan perbincangan mengenai buku Xixi, Diary Sang Rising Star itu saya tertulari virus menulis sang penulisnya.

Di samping itu ada kebahagiaan tersendiri, membaca buku dari seseorang yang kita kenal. Sebelumnya saya pernah membeli buku Gandamayu karya Putu Fajar Arcana, kolumnis di koran Kompas. Betapa senangnya saya mendapati pada buku itu tertoreh tanda tangan beliau dan sebuah gambar gelas coretan tangan beliau sendiri. Lalu tiga bulan lalu saya mendapatkan tanda tangan dari seorang penulis wanita yang inspiratif dari Cirebon, Nyai Hj, Masriyah Amva pada tiga buku karya beliau yang diterbitkan oleh Penerbit Kompas.

Meskipun untuk buku Xixi, Diary Sang Rising Star ini, saya belum mendapatkan tanda tangan penulisnya, namun saya cukup mendapatkan pencerahan dan penguatan dari penulisnya agar saya bisa menghidupkan kembali semangat menulis saya yang sempat redup.

Suatu saat, insya Allah, saya bisa ketemu Mas Agung Masopu sang penulis buku novel ini, dan meminta tanda tangannya. Syukur-syukur saya mendapatkan tanda tangannya itu setelah saya juga berhasil menelurkan sebuah buku novel karya saya sendiri.

Semangat......!

2 komentar:

  1. Terima kasih untuk kesediannya mengoleksi bukuku.
    Bisa bantu kritiknya ya untuk ke depan, agar saya bisa lebih baik lagi dalam menulis
    salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama Mas Agung, senang bisa mengoleksi buku Mas Agung. Palingan saya bisanya melihat-lihat kesalahan pengetikan aja Mas, kalo mengkritik tulisannya, belum berani ah. hihihi....

      Hapus