Pengemis Ngesot dan Seekor Anjing


Pagi datang tanpa isyarat. Selalu begitu. Padahal siang dan matahari telah menyiapkan berbagai misteri. Kadang tanpa sempat menyisakan waktu untuk berpikir, kita bergerak, berjalan, beraktifitas dan ketika pada akhirnya misteri itu terkuak, barulah kita sadar. Seharusnya ada waktu sejenak untuk kita merenung agar kita tidak alpa menangkap pertanda.

Seperti biasa, pagi itu aku bangun. Berangkat ke kantor dan tenggelam dalam pekerjaan sampai tak terasa pagi sudah lama berlalu dan senja segera akan bertahta di ujung cakrawala. Kemudian setelah semuanya aku rasa beres, aku beranjak pulang. Sepanjang jalan aku menikmati udara semilir yang menerpa wajahku.

Saat aku melewati kompleks pertokoan, aku berhenti sejenak untuk membeli dua pak biskuit. Sejak terbaring sakit selama dua minggu, suamiku berhenti merokok dan sebagai gantinya aku harus menyiapkan camilan. Keributan kecil terjadi di toko antara pemilik toko yang Chineesse dengan pembantunya. Aku merasa harus segera kabur dari situasi panas itu.

Ketika aku akan melangkahkan kaki menuju motor yang kuparkir di depan toko, seraut wajah familiar tersenyum menghadang jalanku. Ia mengenaliku. Sudah beberapa kali aku memberikannya uang. Tanpa pernah menadahkan tangannya, aku selalu saja tergerak untuk merogoh dompet dan membagi sepercik kebahagiaan untuknya. Tapi sore itu, entah kenapa aku hanya membalasnya dengan senyum. Sekilas kuingat, di dompetku hanya tinggal dua atau tiga lembar seratus ribuan. Itu terlalu besar, pikirku. Dan aku tak ingin sekedar memberinya recehan seribuan yang mungkin nyelip di sela-sela KTP, SIM, Kartu Askes dan slip-slip ATM yang berjejal di dompetku.

Aku terenyuh memandang sepintas wajah lelaki yang tak beruntung memiliki kaki sesempurna aku dan orang-orang lain. Lelaki pincang, pengemis itu tak pernah melepas senyum dari wajahnya. Aku berkata dalam hati, lain kali aku menemuinya, aku akan memberinya uang sepantasnya. Seperti tahu isi batinku, pengemis yang berjalan persis hantu suster ngesot di film itu pun menggeser tempatnya berdiri atau tepatnya duduk ngesot. Kemudian aku berlalu.

Malam bertahta. Gelap gulita menguasai langit. Aku tidak lagi mengingat kejadian sore tadi. Setelah sholat magrib, makan malam dan anak-anak asyik belajar, aku dan suamiku menikmati istirahat berdua sambil nonton tivi. Aku penggemar film barat, dan tivi berlangganan yang baru saja dipasang sebulan ini oleh suamiku membuatku larut dalam keasyikan. Suamiku mungkin hanya sekedar mengikuti moodnya yang sedang bagus. Kami memelototi layar kaca 40 inci itu tanpa pernah tahu, di luar sedang terjadi pertengkaran.

Tiba-tiba saja, driver kami masuk dan membawa kabar itu. Seorang perempuan tua yang masih terhitung tetangga kami datang mengamuk di depan, persis saat driver kami hendak pulang ke rumahnya. Ternyata saat melintas di depan rumah perempuan tua itu, Boban, driver kami itu menabrak mati seekor anjing miliknya. Tanpa menghiraukan permintaan maaf dan penjelasan Boban bahwa ia tidak tahu bahwa anjing itu mati, perempuan tua itu terus marah-marah. Untung ada seorang Polisi yang tinggal di kost milikku, datang dan melerai pertengkaran itu. Dan setelah puas, perempuan itu pun pergi.

Suamiku bangkit dan bersama Boban keluar rumah untuk meminta keterangan yang lebih jelas dari Amal, polisi itu. Lalu tak seberapa lama, suami masuk dan meminta sejumlah uang. Ganti rugi anjing yang mati itu.

Aku terhenyak, sebab bukan salah kami rasanya kalau anjing itu sampai mati. Kenapa anjing itu dibiarkan berkeliaran di jalan-jalan. Terus, kalau gara-gara anjing, nyawa seorang manusia jadi melayang, apakah perempuan itu akan sanggup membayar ganti rugi nyawa itu? Aku mengomel, tapi tanganku tetap saja meraih  dompet dan mengulurkan uang sejumlah dua ratus ribu. Suamiku tak menanggapi omelanku. Aku tahu benar, dia memberikan uang itu karena untuk menjaga rasa, tepa selira, menjaga keharmonisan hubungan dengan tetangga. Tapi aku tetap saja sebal tak terkira.

Lama suamiku baru muncul lagi di rumah. Sepanjang itu pula aku mencoba berdamai dengan hati. Kehilangan uang dua ratus ribu  itu terasa semakin menohok hati, saat berangsur-angsur aku satukan kepingan-kepingan kejadian hari itu. Seandainya saja sore tadi aku berikan selembar saja uang seratus ribuanku kepada pengemis itu, mungkin aku tak perlu kehilangan uang dengan cara seperti ini.

Barangkali Tuhan ingin memberi pelajaran kepadaku tentang bersedekah, tentang kesabaran, tentang keikhlasan dan tentang rizki. Bersedekah tak elok ditunda-tunda. Bersabar saat menghadapi situasi pelik itu perlu dilatih, aku selalu gagal untuk tidak mengomel. Harus lebih ikhlas karena segala sesuatu yang kita sangka milik kita hakikatnya adalah milik Tuhan semata, kita hanya dititipi saja. Cepat atau lambat pasti akan diambil kembali oleh-Nya dengan cara yang kita tidak pernah sangka.

Dan Tuhan tak pernah salah membagikan rizkinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar