Aku jatuh cinta pada puisi berulang kali saat membaca puisi-puisi sang Maestro Puisi, Sapardi Djoko Damono. Seolah puisi-puisi itu makhluk bernyawa. Memuja, menenangkan, menyanjung, menggeletarkan buhul terindah yang saling simpul di hati. Menakjubkan.
Aku mendokumentasikannya di sini, semata agar aku mudah menemukannya saat gundah. Bagiku puisi-puisi ajaib ini, adalah vitamin jiwa.
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
dengan kata yang tak
sempat diucapkan
kayu kepada api yang
menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
dengan isyarat yang tak
sempat disampaikan
awan kepada hujan yang
menjadikannya tiada.
Pada
Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada
lagi,
Tapi dalam bait-bait
sajak ini,
Kau tak akan kurelakan
sendiri.
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar
lagi,
Tapi di antara
larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal
lagi,
Namun di sela-sela huruf
sajak ini,
Kau tak akan
letih-letihnya kucari.
Sihir
Hujan
Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
-- swaranya bisa
dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya
meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau
matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar
membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
- - menyihirmu agar sama
sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakanHujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Dari hujan bulan juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Dalam Diriku
Dalam
diriku mengalir sungai panjang,
Darah namanya;
Dalam diriku menggenang telaga darah,
Sukma namanya;
Dalam diriku meriak gelombang sukma,
Hidup namanya!
Dan karena hidup itu indah,
Aku menangis sepuas-puasnya
Darah namanya;
Dalam diriku menggenang telaga darah,
Sukma namanya;
Dalam diriku meriak gelombang sukma,
Hidup namanya!
Dan karena hidup itu indah,
Aku menangis sepuas-puasnya
Yang Fana Adalah Waktu
Yang fana
adalah waktu. Kita abadi :
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari
Kita lupa untuk apa.
“Tapi,
Yang fana adalah waktu, bukan?”
Tanyamu. Kita abadi.
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari
Kita lupa untuk apa.
“Tapi,
Yang fana adalah waktu, bukan?”
Tanyamu. Kita abadi.
Sonet, 1
: Andy, Pengamen
“Aku menyanyi untukmu,” katamu.
Aku diam,
mendengarkan gerimis yang
berderai lalu
bagai benang terurai dari langit
yang dalam.
Adakah kausaksikan aku
mendengarkanmu?
Aku diam, mendengar dan tidak
mendengar
suaramu. “Biar aku menyanyi,
hanya untukmu,”
katamu. Aku diam, mungkin gerimis
bergetar
bagai tirai warna-warni, hanya
untukku.
Apakah kau yakin aku bisa
menyaksikan
mahasunyi yang meniti butir-butir
gerimis,
apakah yang kauinginkan dariku
yang bertahan
agar tak ada sebutir pun dari
mata menitis?
“Aku menyanyi untukmu, selalu,”
katamu.
Gila, kautusukkan juga senyap
senar itu!
Sonet, 2
Aku tak lain sebutir telur
kubayangkan tergolek di sarang
itu
ketika siang sudah luhur —
“Dan tak juga menetas,” katamu.
Aku tak lain seonggok sarang
kubayangkan terbaring di awan
biru
ketika hari menjelang petang —
“Dan tak ada burung hinggap,”
katamu.
Aku tak lain seekor burung
kubayangkan lepas dari ketinggian
itu
ketika malam menjelma senandung —
“Menidurkanmu dalam telur,”
katamu.
“Kau akan mendengar dendang
hening
merawatmu, tak lekang
mendenting.”
Sonet, 3
“Jangan lupa kirim pesan kalau
kau tiba
dengan selamat di bandara,”
katamu.
Kudengar getar dari kota nun di sana,
terpisah oleh jalan-jalan berdebu
dan langit yang bagai rasa cemas.
Kata melenting di dinding-dinding
kabin, tak berhak lepas
dari kaca jendela yang tak lagi
bening.
Awan yang di bawah bergumpal
melata
tampaknya tak siap lagi menjadi
lambang
cinta kita, “Apakah ia akan tetap
ada
sehabis hujan?” Pesawat mendadak
goyang
ketika kubayangkan matamu
mendesah,
“Jangan lupa, di sini ada yang
gelisah.”
Sonet, 4
Hidup terasa benar-benar tak mau
redup
ketika sudah kaudengar pesan:
suatu hari semua bunyi rapat tertutup.
“Penyanyi itu tuli,” katamu
pelan.
Tapi bukankah masih ada langit
yang tak pernah tertutup
pelupuknya,
yang menerima segala yang
terbersit
bahkan dari mulut si tuli dan si
buta?
“Penyanyi itu buta?” tanyamu
gemetar;
kita pun diam-diam mendengarkannya,
Cinta terasa baru benar-benar
membakar
ketika pesan kaudengar: padamkan
nyalanya!
Kita pun menyanyi
selepas-lepasnya,
sepasang kekasih yang tuli dan
buta.
Sonet 5
Malam tak menegurmu, bergeser
agak ke samping
ketika kau menuangkan air
mendidih ke poci;
ada yang sudah entah sejak kapan
tergantung di dinding
bergegas meluncur di pinggang
gelas-waktu ini.
Dingin menggeser malam sedikit ke
sudut ruangan;
kautahan getar tanganmu ketika
menaruh tutup
poci itu, dan luput; ada yang
ingin kaukibaskan.
Kenapa mesti kaukatakan aku
tampak begitu gugup?
Udara bergoyang, pelahan saja,
mengurai malam
yang melingkar, mengusir
gerat-gerit dingin
yang tak hendak beku, berloncatan
di lekuk-lekuk angka jam.
Malam tidak menegurku. Hanya
bergeser. Sedikit angin.
Ada yang diam-diam ingin kauusap
dari lenganmu
ketika terasa basah oleh tetes
tik-tok itu.
Sonet 6
Sampai hari tidak berapi? Ya,
sampai angin pagi
mengkristal lalu berhamburan dari
sebatang pohon ranggas.
Sampai suara tak terdengar
berdebum lagi?
Ya, tak begitu perlu lagi
memejamkan mata, bergegas
memohon diselamatkan dari haru
biru
yang meragi dalam sumsummu; tak
pantas lagi
menggeser-geser sedikit demi
sedikit bangkai waktu
agar tak menjadi bagian dari
aroma waktu kini.
Sampai yang pernah bergerit di
kasur
tak lagi menempel di
langit-langit kepalaku?
Sampai kedua bola matamu kabur,
sayapmu lepas, dan kau melesat ke
Ruh itu.
Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya
telanjang
dan tahu: api tubuhmu tinggal
bayang-bayang.
Sonet 7
Ada jarak yang harus ditempuh
sampai suasana
siap menerima kita. Dan kita arif
menerimanya, bukan?
Ada yang harus tak habis-habisnya
kita hela
dan hembuskan sampai pisau yang
terpejam di tangan
membelah apel yang di atas meja.
Seiris telentang, seiris
tengkurap di sebelahnya? Begitu
ramal seorang empu
setelah menyelesaikan tugas
menempa sebilah keris.
Celoteh juru nujum yang di bukit
nun di sana itu?
Ada jarak yang harus diremas sampai
kerut
dalam pembuluh darah kita. Sampai
yang biru
kembali hijau berkat kuning itu,
sampai segala terhalau:
yang ini, yang itu, yang di sana,
yang di situ,
yang layang-layang, yang batu?
Ada jarak yang harus ditebas
kalau kita mau menerima pertemuan
ini dengan ikhlas.
Sonet 8
Di sudut itu selalu ada yang
seperti menunggu
kita. Mengapa ada yang selalu
terasa hadir di sana?
Di situ konon kita dulu
dilahirkan, kau tahu,
agar bisa melihat betapa luas
batas antara nyata
dan maya. Dua dinding bertemu di
sudut itu,
seperti yang sudah dijanjikan
sejak purba
ketika sehabis peristiwa itu
leluhur kita diburu-buru
dan sesat di rumah ini. Kau masih
juga percaya
rupanya, tanpa menyiasati
dinding-dinding itu?
Rumah baru terasa rumah kalau ada
penyekat
antara sini dan Sana, membentuk
sudut tempat kita bertemu
dan memandang lepas ruang luas,
tanpa akhirat.
Mengapa terasa harus ada yang
menunggu?
Agar tak mungkin ada yang bisa
membebaskanmu.
Sonet 9
Kaubalik-balik buku itu selembar
demi selembar
sore ini. Bukankah waktu itu
masih pagi,
ketika kau mencatatnya? Aku
pungut buku yang kaulempar
ke lantai, telungkup, tampak
lusuh, sendiri.
Kenapa mesti ada sore hari?
Pejamkan mata, bayangkan
beranda yang pernah membiarkan
kita mengitari
pekarangan yang begitu luas, yang
kemudian ternyata bukan
bagian dari tempat yang konon
disediakan untuk kita tinggali.
Matahari masih hangat ketika aku
mencatatnya
di buku yang sore ini telah
menggodamu untuk mencari
gambar sebuah taman yang
memancarkan aroma
secangkir teh hangat di pagi
hari. Ya, bukankah masih pagi
ketika kau menggambarnya? Ya,
mungkin karena waktu itu
masih pagi. Lekas, berikan buku
itu kembali, padaku!
Sonet
10
Ada selembar kertas yang belum
bertulisan.
Apakah kauharapkan aku ke mari
seperti semula,
belum penuh dengan coretan?
Ada yang ingin menulis aksara
demi aksara
dan tahu tak akan mencapai
kalimat meski ada tanda seru
di ujungnya. Tidak semua
memerlukan tulisan,
(Apakah aku kaubayangkan selembar
kertas itu?)
meski sudah terlanjur tercatat
sebelum sempat diucapkan.
Air menyeret catatan
berkelok-kelok di sepanjang sungai
bila penghujan. Tetapi sama
sekali tak terbaca
bahkan ketika sudah begitu
rekah-rekah perangai
kemarau. Tinggal garis-garis yang
carut-marut di dasarnya.
Kau mengharapkanku kembali
seperti itu? Risaukah kita
ketika menyadari bahwa tulisan
tak perlu, ternyata?
Sonet
11
Terima kasih, kartu pos bergambar
yang kaukirim dari Yogya
sudah sampai kemarin. Tapi aku
tak pernah mengirim apa pun,
kau tahu itu. Aku sedang kena
macet, Jakarta seperti dulu juga
ketika suatu sore buru-buru kau
kuantar ke stasiun.
Tapi aku tak sempat menulis apa
pun akhir-akhir ini.
Aku suka membayangkan kau
kubonceng sepeda sepanjang Lempuyangan
berhenti di warung bakso di
seberang kampus yang sudah sepi.
Kau masih seperti dulu rupanya,
menyayangiku? Bayangkan
kalau nanti kita ke sana lagi! Di
kartu pos itu ada gambar jalan
berkelok, bermuara di sebuah
taman tua tempat kita suka nyasar
melukiskan hutan, sawah, kebun
buah, dan taman
yang ingin kita lewati: gelas
yang tak pernah penuh. Hahaha, dasar!
Aku suka membayangkan kartu pos
itu memuat gambarmu,
residu dari berapa juta helaan
dan hembusan napasku dulu.
Sonet
12
Perjalanan kita selama ini
ternyata tanpa tanda baca,
tak ada huruf kapital di awalnya.
Yang tak kita ingat
aksara apa. Kita tak pernah yakin
apakah titik mesti ada;
tanpa tanda petik, huruf demi
huruf berderet rapat –
dan setiap kali terlepas, kita
pun segera merasa gerah lagi
dihimpitnya. Tanpa pernah bisa
membaca ulang dengan cermat
harus terus kita susun kalimat
demi kalimat ini –
tanpa perlu merisaukan apakah
semua nanti mampat
pada sebuah tanda tanya. Tapi,
bukankah kita sudah mencari
jawaban, sudah tahu apa yang
harus kita contreng
jika tersedia pilihan? Dan
kemudian memulai lagi
merakit alinea demi alinea,
menyusun sebuah dongeng?
Tapi bukankah tak ada huruf
kapital ketika kita bicara?
Bukankah kisah cinta memang tak
memerlukan tanda baca?
Sonet
13
Titik-titik hujan belum juga
lepas dari tubir daun itu;
ditunggunya kita lewat. Kupandang
ke atas:
sebutir jatuh di bulu matamu,
yang lain meluncur di pelipismu.
Pohon itu kembali menatapmu,
hanya selintas.
Diberkahinya tanganku yang ingin
sekali mengusap basah
yang mendingin di wajahmu. Kau
seperti ingin melakukan
sesuatu. Aku pun mendadak
menghentikan langkah
sejenak – jangan tergesa, agar
bisa kaubaca niat titik hujan.
Butir-butir hujan menderas dari
sudut-sudut daun itu
tepat ketika kita lewat.
Kupandang ke atas.
Pohon itu tak lagi menatapmu. Ada
yang membasahi kerudungmu,
meluncur ke dua belah pundakmu.
Dibiarkannya kita melintas.
Kita pun bergegas agar segera
sampai ke ujung jalan
tanpa bicara. Tak lagi berniat
menafsirkan titik hujan
SONET:
X
Siapa menggores di langit biru
Siapa meretas di awan lalu
Siapa mengkristal kabut itu
Siapa mengertap di bunga layu
Siapa cerna di warna ungu
Siapa bernafas di detak waktu
Siapa berkelebat setiap kubuka pintu
Siapa mencair di bawah pandangku
Siapa terucap di celah kata-kataku
Siapa mengaduh di baying-bayang sepiku
Siapa tiba menjemputku berburu
Siapa tiba-tiba menyibak cadarku
Siapa meledak dalam diriku
: siapa AKU
Siapa menggores di langit biru
Siapa meretas di awan lalu
Siapa mengkristal kabut itu
Siapa mengertap di bunga layu
Siapa cerna di warna ungu
Siapa bernafas di detak waktu
Siapa berkelebat setiap kubuka pintu
Siapa mencair di bawah pandangku
Siapa terucap di celah kata-kataku
Siapa mengaduh di baying-bayang sepiku
Siapa tiba menjemputku berburu
Siapa tiba-tiba menyibak cadarku
Siapa meledak dalam diriku
: siapa AKU
“Kau bertanya tentang puisi yang
indah. Berulang aku bilang tak tahu batas-batasnya. Aku hanya tahu puisi yang
begitu terbacakan, tiba-tiba hatiku terisi penuh sekaligus kosong. Benderang
sekaligus syahdu. Gejolak sekaligus redam. Bagaimana aku bisa menggambarkannya
dengan pisau analisa?”
“Ada lagi. Ia mengungkungku
sekaligus membebaskanku. Bukankah tiada yang lebih indah ketika semua warna
terpancarkan, dan kita terbeku tanpa memilih, membiarkan semua berlalu tanpa
sebuah penilaian?”
Tiba-Tiba
Malam pun risik
tiba-tiba malam pun risik
beribu Bisik
tiba-tiba engkau pun lengkap menerima
satu-satunya Duka
beribu Bisik
tiba-tiba engkau pun lengkap menerima
satu-satunya Duka
Berjalan
di Belakang Jenazah
berjalan di belakang jenazah
angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia
di samping: pohon demi pohon
menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
Dalam
Bus
langit di kaca jendela bergoyang
terarah ke mana
wajah di kaca jendela yang dahulu juga
mengecil dalam pesona
terarah ke mana
wajah di kaca jendela yang dahulu juga
mengecil dalam pesona
sebermula adalah kata
baru perjalanan dari kota ke kota
demikian cepat
kita pun terperanjat: waktu henti ia tiada
baru perjalanan dari kota ke kota
demikian cepat
kita pun terperanjat: waktu henti ia tiada
Dalam
Doa: II
saat tiada pun tiada
aku berjalan (tiada
gerakan, serasa
isyarat) Kita pun bertemu
aku berjalan (tiada
gerakan, serasa
isyarat) Kita pun bertemu
sepasang Tiada
tersuling (tiada
gerakan, serasa
nikmat): Sepi meninggi
tersuling (tiada
gerakan, serasa
nikmat): Sepi meninggi
Kami Bertiga
dalam kamar ini kami bertiga:
aku, pisau dan kata –
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata
aku, pisau dan kata –
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata
Pertemuan
Perempuan mengirimkan air matanya
Ke tanah-tanah cahara, ke
kutub-kutub bulan
Ke landasan cakrawala, kepalanya
di atas bantal
Lembut bagai bianglala
Lelaki tak pernah menoleh
Dan di setiap jejaknya; melebat
hutan-hutan,
hibuk pelabuhan-pelabuhan, di
pelupuknya sepasang matahari
Keras dan fana
Dan serbuk-serbuk hujan
tiba dari arah mana saja (cadar
bagi rahim yang terbuka,
udara yang jenuh)
Ketika mereka berjumpa, di
ranjang ini
Maut
Maut dilahirkan waktu fajar
Ia hidup dari mata air;
Itu sebabnya ia tak pernah
mengungkapkan seluk-beluk karat
yang telah mengajarinya bertarung
melawan hidup; ia juga takkan mau
Menjawab teka-teki sejakala
Yang telah menahbiskannya
Menjadi Penjaga gerbang itu
Maut mencintai fajar
dan mata air, dengan tulus
Narcissus
seperti juga aku: namamu siapa,
bukan?
pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalam
tetapi jangan saja kita bercinta
jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma
pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalam
tetapi jangan saja kita bercinta
jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma
atau tunggu sampai angin
melepaskan selembar daun
dan jatuh di telaga: pandangmu berpendar, bukan?
cemaskah aku kalau nanti air hening kembali?
cemaskah aku kalau gugur daun demi daun lagi
dan jatuh di telaga: pandangmu berpendar, bukan?
cemaskah aku kalau nanti air hening kembali?
cemaskah aku kalau gugur daun demi daun lagi
Perahu
Kertas
Waktu masih kanak-kanak kau
membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan
perahumu bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di bandar-bandar
besar,” kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan
berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun menunggu
kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si
tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu
dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.”
Kepompong
Itu
kepompong yang tergantung di daun
jambu itu mendengar kutukmu yang kacau terhadap hawa lembab ketika kau menutup
jendela waktu hari hujan
kepompong itu juga mendengar
rohmu yang bermimpi dan meninggalkan tubuhmu: melepaskan diri lewat celah
pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara bening dan
bermuatan bau bunga
dan kepompong itu hanya bisa
menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan-kiri, belum saatnya ia menjelma kupu-kupu;
dan, kau tahu , ia tak berhak bermimpi
Kisah
Kau pergi, sehabis menutup pintu
pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang tercetak di plat alumunium
itu. Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka tak pernah
melihatmu lagi.
Sehabis penghujan reda, plat nama
itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi.
Hari ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu, seperti mencari sesuatu. la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya namamu nyaring-nyaring.
Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu.
Hari ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu, seperti mencari sesuatu. la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya namamu nyaring-nyaring.
Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu.
Perahu Kertas, Kumpulan Sajak,
1982.
akulah si telaga
berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang
harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
– perahumu biar aku yang menjaganya
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
– perahumu biar aku yang menjaganya
Kukirim
Padamu
kukirimkan padamu kartu pos
bergambar, istriku,
par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya.
par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya.
Aku, tentu saja, tak ada di
antara mereka.
Namun ada.
Namun ada.
Sajak
Subuh
Waktu mereka membakar gubuknya
awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak,
“Jangan bermimpi!” dan ia terkejut tak mengerti.
Sejak di kota
itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna
hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu,
mereka membakar tempat tinggalnya.
“Jangan bermimpi!” gertak mereka.
Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, “Jangan bermimpi! “
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan …..
“Jangan bermimpi!” gertak mereka.
Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, “Jangan bermimpi! “
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan …..
Bunga 1
(i)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, “Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!”
(ii)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ….
Teriaknya, “Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!”
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, “Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!”
(ii)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ….
Teriaknya, “Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!”
Atas Kemerdekaan
kita berkata : jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya : langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya : langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala
terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula
Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu :
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu :
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah
cermin tak pernah berteriak;
ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak,
meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;
barangkali ia hanya bisa bertanya:
mengapa kau seperti kehabisan suara?
ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak,
meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;
barangkali ia hanya bisa bertanya:
mengapa kau seperti kehabisan suara?
Sajak November
siapa yang sudah
tahu siapa sebenarnya kami ini
bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur
yang berjejal
bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental
bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur
yang berjejal
bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental
tapi siapa yang bisa memahami
bahasa kami
dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan
siapa yang akan berbicara atas nama kami
yang berjejal dalam kubur
dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan
siapa yang akan berbicara atas nama kami
yang berjejal dalam kubur
bukanlah pujian-pujian kosong
yang mesti dinyanyikan
bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan
tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami
siapa yang bisa paham makna kehendak kami
bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan
tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami
siapa yang bisa paham makna kehendak kami
kami yang telah lahir dari
ibu-ibu yang baik dan sederhana
ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
tanpa dicatat namanya
kepada Ibu yang lebih besar dan agung :
ialah Tanah Air
ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
tanpa dicatat namanya
kepada Ibu yang lebih besar dan agung :
ialah Tanah Air
kami telah menyusu dari pada
bunda yang tabah
yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
untuk pergi lebih dahulu
apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami
apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami
mereka hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik
tanpa mengeluh serta putus asa
yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
untuk pergi lebih dahulu
apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami
apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami
mereka hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik
tanpa mengeluh serta putus asa
di Solo dua orang dalam satu
kuburan
di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan
di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan
dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik
tapi katakanlah kepada anak cucu kami;
di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu
bertimbun dalam satu lobang
dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu
di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan
di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan
dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik
tapi katakanlah kepada anak cucu kami;
di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu
bertimbun dalam satu lobang
dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu
tambur yang paling besar telah
ditabuh
dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami
terompet yang paling lantang ditiup
dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu
kami pun bangkit dari kubur
memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah
kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan
diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya
dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami
terompet yang paling lantang ditiup
dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu
kami pun bangkit dari kubur
memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah
kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan
diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya
kami hanya berkelahi dan sudah
itu : mati
kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka
dan hari depan, sudah itu : mati
kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka
dan hari depan, sudah itu : mati
orang-orang pun menyiramkan air
bunga yang wangi saat itu
tanpa tahu siapa kami ini
tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus
tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal
tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah
dan sudah itu : mati
tanpa tahu siapa kami ini
tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus
tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal
tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah
dan sudah itu : mati
siapa berkata bahwa kami telah
musnah
siapa berkata
siapa berkata
kami kenal nama-namamu di mesjid
di gereja di jalan di pasar
kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah
di ladang dan di laut, meskipun kalian
tiada menyadari kehadiran kami
kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah
di ladang dan di laut, meskipun kalian
tiada menyadari kehadiran kami
siapa berkata bahwa kami telah
musnah
siapa berkata
siapa berkata
tanah air adalah sebuah landasan
dan kami tak lain baja yang membara hancur
oleh pukulan
ialah kemerdekaan
dan kami tak lain baja yang membara hancur
oleh pukulan
ialah kemerdekaan
kemarin giliran kami
tapi besok mesti tiba giliranmu
kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih
terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak
hidup dan mengerti makna kemerdekaan
tapi besok mesti tiba giliranmu
kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih
terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak
hidup dan mengerti makna kemerdekaan
dan kami adalah baja yang membara
di atas landasan
dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan
(mungkin besok tiba giliranmu)
dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan
(mungkin besok tiba giliranmu)
siapa yang tahu cinta saudara,
paman dan bapa
siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak
ingat untuk apa kamu pergi
siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam
siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia
ingat kenapa kami tak kembali
siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak
ingat untuk apa kamu pergi
siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam
siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia
ingat kenapa kami tak kembali
begitu hebatkah kemerdekaan itu
hingga kami korbankan
apa saja untuknya
jawablah : ya
begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa
jawab lagi : ya
apa saja untuknya
jawablah : ya
begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa
jawab lagi : ya
sudah kau dengarkah suara sepatu
kami tengah malam hari
datang untuk memberkati anak-anak yang tidur
sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan
bahasa dan kehendak kami
sudah kau dengarkah suara napas kami
menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur
sebab kami selalu dan selalu lahir kembali
selalu dan selalu berkelahi lagi
datang untuk memberkati anak-anak yang tidur
sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan
bahasa dan kehendak kami
sudah kau dengarkah suara napas kami
menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur
sebab kami selalu dan selalu lahir kembali
selalu dan selalu berkelahi lagi
mungkin pernah kau kenal kami
dahulu, mungkin juga tidak
mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak
tapi toh tak ada bedanya:
kami telah memulainya
dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya
mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak
tapi toh tak ada bedanya:
kami telah memulainya
dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya
dan memang tak ada bedanya :
kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan
bagimu adalah awal pertaruhan
awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi
meski kami pernah kau kenal atau tidak
meski kami pernah kau jumpa atau tidak
kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan
bagimu adalah awal pertaruhan
awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi
meski kami pernah kau kenal atau tidak
meski kami pernah kau jumpa atau tidak
kami adalah buruh, pelajar,
prajurit dan bapa tani
yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik
kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung
lantaran satu harapan yang pasti
walau tak pernah kembali
yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik
kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung
lantaran satu harapan yang pasti
walau tak pernah kembali
kami hanyalah kubur yang rata
dengan tanah dan tak bertanda
kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama
tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami
agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan
mengeluarkan ampun
kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi
tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini
agar tak lagi mengembara arwah kami
kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama
tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami
agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan
mengeluarkan ampun
kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi
tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini
agar tak lagi mengembara arwah kami
kami telah lahir, hidup dan
berkelahi : dan mati
kami telah mati
lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini
hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami
kami telah berkelahi; dan mati
tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami
dan mengatakannya kepada siapa pun
tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami
yang telah mati pagi sekali
dan berjalan tanpa nama dan tanda
dalam satu lobang kubur
kami telah lahir dan selalu lahir
selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah
selalu dan selalu berkelahi
di mana dan kapan saja
kami telah mati
lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini
hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami
kami telah berkelahi; dan mati
tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami
dan mengatakannya kepada siapa pun
tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami
yang telah mati pagi sekali
dan berjalan tanpa nama dan tanda
dalam satu lobang kubur
kami telah lahir dan selalu lahir
selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah
selalu dan selalu berkelahi
di mana dan kapan saja
biarkan kami bicara lewat suara
anak-anak
yang menyanyikan lagu puja hari ini
biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana
dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini
yang menyanyikan lagu puja hari ini
biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana
dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini
Sementara bendera yang kami
tegakkan dahulu berkibar
atas rasa bangga kami yang sederhana
atas rasa bangga kami yang sederhana
biarkanlah kami bicara hari ini
lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja
lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta
lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja
lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta
Kolam di Pekarangan
/1/
Daun yang membusuk di dasar kolam
itu masih juga tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya.
Ia ingin sekali bisa
merindukannya.
Tak akan dilupakannya hari itu
menjelang subuh hujan terbawa angin memutarnya pelahan, melepasnya dari ranting
yang dibebani begitu banyak daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak
bergoyang.
Ia tak sempat lagi menyaksikan
matahari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan yang kalau siang
diharapkan lumut yang membungkus batu-batu dan menempel di dinding kolam itu.
Ada sesuatu yang dirasakannya
hilang di hari pertama ia terbaring di kolam itu, ada lembab angin yang tidak
akan bisa dirasakannya lagi di dalam kepungan air yang berjanji akan
membusukkannya segera setelah zat yang dikandungnya meresap ke pori-porinya.
Ada gigil matahari yang tidak
akan bisa dihayatinya lagi yang berkas-berkas sinarnya suka
menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika angin
lewat tanpa mengatakan apa-apa.
Zat itu bukan angin. Zat itu
bukan cahaya matahari.
Zat itu menyebabkannya menyerah
saja pada air yang tak pernah bisa berhenti bergerak karena ikan-ikan yang di
kolam itu diperingatkan entah oleh Siapa dulu ketika waktu masih sangat purba
untuk tidak pernah tidur. Ia pun bergoyang ke sana ke mari di atas hamparan
batu kerikil yang mengalasi kolam itu. Tak pernah terbayangkan olehnya bertanya
kepada batu kerikil mengapa kamu selalu memejamkan mata. Ia berharap bisa
mengenal satu demi satu kerikil itu sebelum sepenuhnya membusuk dan menjadi
satu dengan air seperti daun-daun lain yang lebih dahulu jatuh ke kolam itu. Ia
tidak suka membayangkan daun lain yang kebetulan jatuh di kaki pohon itu,
membusuk dan menjadi pupuk, kalau kebetulan luput dari sapu si tukang kebun.
*
Ia ingin sekali bisa merindukan
ranting pohon jeruk itu.
*
Ingin sekali bisa merindukan
dirinya sebagai kuncup.
/2/
Ikan tidak pernah merasa
terganggu setiap kali ada daun jatuh ke kolam, ia memahami bahwa air kolam
tidak berhak mengeluh tentang apa saja yang jatuh di dalamnya. Air kolam,
dunianya itu. Ia merasa bahagia ada sebatang pohon jeruk yang tumbuh di pinggir
kolam itu yang rimbunannya selalu ditafsirkannya sebagai anugerah karena
melindunginya dari matahari yang wataknya sulit ditebak. Ia senang bisa
bergerak mengelilingi kolam itu sambil sesekali menyambar lumut yang terjurai
kalau beberapa hari lamanya si empunya rumah lupa menebarkan makanan. Mungkin
karena tidak bisa berbuat lain, mungkin karena tidak akan pernah bisa memahami
betapa menggetarkannya melawan arus sungai atau terjun dari ketinggian, mungkin
karena tidak pernah merasakan godaan umpan yang dikaitkan di ujung pancing. Ia
tahu ada daun jatuh, ia tahu daun itu akan membusuk dan bersenyawa dengan dunia
yang membebaskannya bergerak ke sana ke mari, ia tahu bahwa daun itu tidak akan
bisa bergerak kecuali kalau air digoyang-goyangnya. Tidak pernah dikatakannya
Jangan ikut bergerak tinggal saja di pojok kolam itu sampai zat entah apa itu
membusukkanmu. Ikan tidak pernah percaya bahwa kolam itu dibuat khusus untuk
dirinya oleh sebab itu apa pun bisa saja berada di situ dan bergoyang-goyang
seirama dengan gerak air yang disibakkannya yang tak pernah peduli ia meluncur
ke mana pun. Air tidak punya pintu.
*
Kadangkala ia merasa telah
melewati pintu demi pintu.
*
Merasa lega telah meninggalkan
suatu tempat dan tidak hanya tetap berada di situ.
/3/
Air kolam adalah jendela yang
suka menengadah menunggu kalau-kalau matahari berkelebat lewat di sela rimbunan
dan dengan cerdik menembusnya karena lumut merindukannya. Air tanpa lumut? Air,
matahari, lumut. Ia tahu bahwa dirinya mengandung zat yang membusukkan daun dan
menumbuhkan lumut, ia juga tahu bahwa langit tempat matahari berputar itu
berada jauh di luar luar luar sana, ia bahkan tahu bahwa dongeng tentang daun,
ikan, dan lumut yang pernah berziarah ke jauh sana itu tak lain siratan dari
rasa gamang dan kawatir akan kesia-siaan tempat yang dihuninya. Langit tak
pernah firdaus baginya. Dulu langit suka bercermin padanya tetapi sekarang
terhalang rimbunan pohon jeruk di pinggirnya yang semakin rapat daunnya karena
matahari dan hujan tak putus-putus bergantian menyayanginya. Ia harus merawat
daun yang karena tak kuat lagi bertahan lepas dari tangkainya hari itu sebelum
subuh tiba. Ia harus merawatnya sampai benar-benar busuk, terurai, dan tak bisa
lagi dikenali terpisah darinya. Ia pun harus habis-habisan menyayangi ikan itu
agar bisa terus-menerus meluncur dan menggoyangnya. Air baru sebenar-benar air
kalau ada yang terasa meluncur, kalau ada yang menggoyangnya, kalau ada yang
berterima kasih karena bisa bernapas di dalamnya. Ia sama sekali tak suka
bertanya siapa gerangan yang telah mempertemukan kalian di sini. Ia tak peduli
lagi apakah berasal dari awan di langit yang kadang tampak bagai burung kadang
bagai gugus kapas kadang bagai langit-langit kelam kelabu. Tak peduli lagi
apakah berasal dari sumber jauh dalam tanah yang dulu pernah dibayangkannya
kadang bagai silangan garis-garis lurus, kadang bagai kelokan tak beraturan,
kadang bagai labirin.
*
Ia kini dunia.
*
Tanpa ibarat.
Sajak Desember
kutanggalkan mantel serta topiku yang tua
ketika daun penanggalan gugur
lewat tengah malam. kemudian kuhitung
hutang-hutangku pada-Mu
kutanggalkan mantel serta topiku yang tua
ketika daun penanggalan gugur
lewat tengah malam. kemudian kuhitung
hutang-hutangku pada-Mu
mendadak terasa: betapa miskinnya
diriku;
di luar hujan pun masih kudengar
dari celah-celah jendela. ada yang terbaring
di kursi letih sekali
di luar hujan pun masih kudengar
dari celah-celah jendela. ada yang terbaring
di kursi letih sekali
masih patutkah kuhitung segala
milikku
selembar celana dan selembar baju
ketika kusebut berulang nama-Mu; taram
temaram bayang, bianglala itu
selembar celana dan selembar baju
ketika kusebut berulang nama-Mu; taram
temaram bayang, bianglala itu
Nocturno
kubiarkan cahaya bintang
memilikimu
kubiarkan angin yang pucat
dan tak habis-habisnya gelisah
tiba-tiba menjelma isyarat merebutmu
entah kapankah bisa kutangkap
kubiarkan angin yang pucat
dan tak habis-habisnya gelisah
tiba-tiba menjelma isyarat merebutmu
entah kapankah bisa kutangkap
Mata
Pisau
mata pisau itu tak berkejap
menatapmu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
Mata
Jendela
Pandanglah yang masih sempat ada…
Pandanglah aku: sebelum susut dari Suasana…
Sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara…
Terpantul si dinding-dinding gua…
Pandang dengan cinta…
Pandanglah aku: sebelum susut dari Suasana…
Sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara…
Terpantul si dinding-dinding gua…
Pandang dengan cinta…
Meski segala pun sepi tandanya
waktu kau bertanya-tanya,
Bertahan setia langit mengekalkan
warna birunya…
Bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata
Bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata
Pada
Suatu Pagi Hari
Maka pada suatu pagi hari ia
ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin
pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan
sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit
berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin mambakar tempat tidur. Ia hanya
ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di
lorong sepi pada suatu pagi
Metamorfosis
ada yang sedang menanggalkan
kata-kata yang satu demi satu
mendudukkanmu di depan cermin
dan membuatmu bertanya
tubuh siapakah gerangan
yang kukenakan ini
ada yang sedang diam-diam
menulis riwayat hidupmu
menimbang-nimbang hari lahirmu
mereka-reka sebab-sebab kematianmu
yang kukenakan ini
ada yang sedang diam-diam
menulis riwayat hidupmu
menimbang-nimbang hari lahirmu
mereka-reka sebab-sebab kematianmu
ada yang sedang diam-diam
berubah menjadi dirimu
berubah menjadi dirimu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar