Apa Yang Menarik dari Dimsum Terakhir-nya Clara Ng...?



Nama Clara Ng sebenarnya sudah sangat terkenal di jagat perbukuan Indonesia. Namun Sumba adalah tempat segala anonim bermukim. Jadi jangan heran bila semua jari di tubuh kita tidak habis dipakai untuk menghitung jumlah orang Sumba yang mengenal namanya.

Perempuan Cina berusia  40 tahun ini sudah menelurkan karya yang lumayan banyak. Ia dengan senang menulis cerita fiksi untuk menghibur anak-nak dan dewasa. Konon ia beranggapan menulis adalah cara yang brilian untuk mencegah dirinya agar tidak gila.

Saya pertama kali mengenal namanya dari jejaring sosial twitter. Petualangan saya di dunia twitter yang terkenal penuh intrik itu akhirnya membawa saya kepada nama Clara Ng. Saya langsung tertarik begitu membaca namanya. Kemudian saya menemukan cerpennya di situs Cerpen Koran Minggu dan saya langsung menyukainya. Namun tentu saja saya tidak begitu saja dengan mudah menemukan buku-buku novelnya di Sumba sini. Dan....

Suatu hari saya iseng ngetwit, bertanya buku-buku apa yang bagus untuk dikoleksi. Banyak mention muncul. Salah satunya merekomendasikan buku Dimsum Terakhir karya Clara Ng. Woallaaaa.... Saya pun berusaha menelusuri kemungkinan saya untuk memiliki buku tersebut dengan berbagai cara. Termasuk berburu ke Gramed Kupang ketika kebetulan saya dinas luar di Kota Karang itu. Nihil. Buku Clara Ng sedang kosong di situ. Sampai akhirnya, berkat kebaikan hati seorang murid sekaligus teman saya, Naima (tulisan tentang ini ada DISINI), saya mendapatkan Dimsum Terakhir yang langsung saya lahap dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam.

Bukan karena saya seorang pembaca yang bagus. Saya malah sebenarnya seorang Slow Reader. Justru karena buku Dimsum Terakhir itu begitu memikat saya, sehingga saya tidak bisa berhenti membaca sejak halaman awal hingga tamat. Kalaupun saya harus berhenti, otak saya terus memikirkan bagaimana kelanjutan kisahnya. Dan ini membuat saya terkagum-kagum akan kelihaian Clara Ng meramu bahasa sehingga tercipta kisah yang runut, dramatik, detil tapi sekaligus membuai pembaca untuk tidak berhenti membaca sebelum sampai halaman akhir.

Saya terpikat pada kisah bagaimana empat perempuan kembar yang bertebaran di berbagai penjuru tempat, berjibaku dengan ego, keinginan dan masalah pribadinya masing-masing saat diharuskan bertemu oleh sebuah kondisi darurat. Sang ayah yang sudah renta dan hidup menyendiri sejak kepergian istrinya sedang sekarat. Mereka berdebat tentang siapa yang paling memungkinkan untuk tinggal bersama sang Ayah, merawat dan menyiapkan segala keperluannya. Tidak ada yang merasa cukup banyak waktu untuk libur sejenak dari rutinitas pekerjaannya masing-masing. Semua dengan alasan dan dalih yang sama-sama dipaksakan. Persoalan kemudian merumit, ketika suatu saat sang Ayah berpesan agar keempat putrinya itu bisa menikah sebelum dirinya meninggal. Rupanya kesepian akibat ditinggal istrinya begitu menukik-nukik dirinya sehingga ia tak ingin meninggal dalam keadaan mengetahui empat gadis kembar itu belum memiliki teman hidup.

Berbagai intrik mengambang ke permukaan. Siska yang pengusaha sukses di Singapura, merasa perempuan tak harus menikah untuk bahagia. Sebab pengalamannya mengatakan lelaki hadir hanya untuk menyakiti. Ia berkencan dengan lelaki mana saja yang ia inginkan tapi untuk menjalin komtmen, Big No. Lalu bagaimana dengan amanat ayahnya?

Indah yang ditekan oleh ketiga saudarinya untuk menerima kewajiban merawat ayahnya hanya karena dia berdomisili di dekat kediaman ayahnya, juga memendam masalahnya sendiri. Sebagai wartawan, ia terjebak pada cinta lokasi saat ia mewawancari lelaki yang begitu menawan hati. Sayang ia salah melabuhkan cintanya. Perkenalan intim yang dijalaninya, membawa dirinya berhubungan intim justru dengan lelaki yang disumpah untuk tidak mengumbar birahi seumur hidupnya. Tidak mungkin ia meminta dinikahi oleh lelaki yang hidup dan matinya hanya untuk melayani Tuhan.

Sementara Siska dan Indah bergelut dengan masalahnya, Rosi setengah mampus menutupi keadaan dirinya yang merasa berbeda. Ia hidup dalam dua dunia, dengan dua status, dua nama dan dua kondisi psikis yang bertolak belakang. Ia merasa dirinya lelaki. Dan mencintai perempuan sebagaimana lelaki. Permintaan sang ayah untuk segera menikah membuat pacar perempuannya ngambek, dan Rosi dilanda stress. Apa yang harus ia lakukan. Meneruskan sandiwara gilanya, atau mengaku dengan pasrah pada ayahnya. Lalu seisi dunia serentak mengecamnya....?

Dan Novera tenggelam dalam dukanya. Merasa dirinya perempuan tidak sempurna dan tidak mungkin ada lelaki yang sudi menerima dirinya sebagai istri. Tanpa sepotong organ yang bernama rahim.

Semua kisah yang pelik itu diramu oleh Clara Ng dengan bahasanya yang renyah, hangat, mengalir dan dramatik. dibumbui oleh latar kehidupan kaum Chineese yang kental. Saya menyukainya diksi dan alurnya yang mudah dimengerti, dan pesan-pesan moral yang begitu lugas disematkannya disana-sini. Namun jangan berharap bahwa pesan moral yang diemban oleh kisah ini dibawa ke ranah yang pragmatis, ritualistis dan religius. Clara Ng mengajak kita agar hidup tidak semata dinilai dari hitam atau putihnya sesuatu. Ada nilai kekeluargaan, nilai kebebasan berkehendak, nilai ketulusan, kasih sayang dan jiwa besar yang diperlihatkan di novel ini. Entah apa lagi sebutannya, saya belum mampu mendeskripsikan dengan tepat. Yang jelas, kisah ini membukakan mata saya, akan makna keluarga dan kasih sayang orang tua.

Saya menitikkan air mata saat membaca kalimat berikut:
"Pernah dengar kalimat ini? Manusia adalah makhluk yang mempunyai daya tahan dan kekuatan luar biasa. Tapi kesepian adalah virus yang sungguh mematikan."
Mata abu-abu Nung terlihat sendu ketika dia meneruskan ucapannya dalam bisikan. Aku terpana seperti tersihir.
'Jangan cuma naksir, Dharma. Cintailah Rosi sepenuh hati. Temani agar dia tidak kesepian. Oom berterima kasih kepadamu karena telah mencintai dan mendampingi Rosi sampai selama ini..."

Saya bukan penganut Lesbianisme, tetapi saya bisa merasakan disitu, betapa kasih sayang terindah yang pernah diberikan oleh seorang ayah terhadap pacar perempuan anak gadisnya itu terasa mengharukan.

Betul, kata Nung. Kesepian adalah virus yang sungguh mematikan. Maka sudah seharusnya kita menutup lubang-lubang kosong dalam hidup anak-anak kita, pasangan kita, orang tua kita dan keluarga kita. Agar tidak ada lagi yang merasa hidupnya tak berharga dan memilih jalan mengakhiri nyawanya sendiri. Karena direnggut sepi.


Waikabubak, 22 Maret 2013

2 komentar:

  1. Pernah baca sinopsisnya sih...waktu ke gramedia,waktu itu sempat pengen beli tp tertunda....hehehehehehe....jd tambah penasaran aj....^^

    BalasHapus
  2. Strongly recomended deh...hehehe. Bagus.

    BalasHapus