Mencangkul di Ladang Pahala



Yang berseragam dan tidak berseragam bahu membahu bersama
 
Hari Jumat selepas Ashar, tanggal 15 kemarin, saya tengah iseng mencabuti ramput yang tumbuh liar di halaman rumah. Segerombolan suami-suami yang hampir tiap hari nongkrong di rumah demi mencari suasana santai selepas kerja penat seharian, ramai membicarakan sesuatu. Jelas sekali di situ yang bersuara paling vokal adalah my beloved husband, hehehe.

Kelihatannya serius, nih. Saya membatin sambil mengorek-ngorek akar rumput dengan parang tumpul. Entah karena parangnya yang tumpul atau tertarik dengan isi pembicaraan para suami-suami itu, akhirnya saya malah lebih menegakkan cuping telinga saya ketimbang merapihkan rerumputan yang tercerabut tidak tentu arah itu.


Estafetkan pahala hingga puncak langit

Ini sesuatu tentang bagi kerja pagi, siang dan malam. Tentang penumpukan kerja pada pagi hari bila tidak dibagi shift. Dan masing-masing lelaki itu mengatakan saya bagian pagi, saya bagian siang, dan ada yang memilih malam. Penasaran, pembicaraan tentang apa ini? Tersebab saya adalah golongan kaum perempuan bekerja yang hommy, alias kalau pulang kerja langsung ngerem di rumah saja, alhasil saya sama sekali tidak bisa menduga-duga arah pembicaraan mereka.

Okelah, akan saya tunggu sampai suami menceritakannya dengan jelas apa yang mereka diskusikan dengan semangat 45 itu. Meskipun saya penasaran setengah mati, tapi saya agak gengsi untuk bertanya. Takut dijawab dengan kelakar kering oleh suami: "mau tau aja atau mau tau banget?" Hehehe...

Dan sampai keesokan harinya saya sama sekali tidak mendapat clue, atau jawaban dari kepenasaran saya itu. Yah, sudahlah...

Ketua Ta'mir Masjid Agung Al Azhar Sumba Barat , Sang Pelopor Renovasi

Maka, keesokan harinya, saya siap tempur melawan segunung cucian, baju kotor sekeluarga selama seminggu dan dua set bedcover kotor yang tebalnya, alamaaak. Hal yang membuat saya penasaran semalaman sudah tergulung deru mesin cuci yang berderak-derak menggilas cucian. Saya berkeringat di hari yang tak panas itu.

Tidak lama kemudian, ketika saya sedang meraup cucian untuk dimasukkan ke dalam mesin cuci, saya kedatangan tamu. Rupanya Mama Tanjung, begitu saya memanggilnya, datang untuk membicarakan rencana memasak lauk untuk santapan dalam acara pengecoran dek Masjid Agung Al Azhar yang tengah di renovasi besar-besaran. Ziiiip, benak saya langsung nyantol. Ohhhh, ini toooh yang diobrolkan oleh para lelaki budiman itu. Rupanya mereka bersiap menyumbang tenaga untuk menyukseskan pengecoran tersebut.


Pemandangan kegiatan gotong royong dari seberang jalan

Sementara para lelaki yang sumbang tenaga untuk mempercepat proses pengecoran, para ibu urun tangan menyiapkan santapannya. Aduhai, harmonisnya. Saya salut akan kebersamaan ini. Berapa banyak sih, pembangunan masjid yang hampir seluruh prosesnya melibatkan urun tangan warganya? Bukan hanya pada pengumpulan dananya saja. Melainkan sampai pada proses pembangunannya. Saya tahu persis, karena Ketua Ta'mirnya adalah atasan saya di kantor, sehingga saya tahu bahwa panitianya merangkap sebagai perancang desainnya, kontraktornya, mandor, tukang belanja bahan, bahkan ikut bekerja seperti dalam proses pengecoran dek ini. Sehingga tidak heran saat ada pekerjaan kasar sekalipun yang membutuhkan tenaga masal, sekali calling di masjid, warga berduyun-duyun datang berpartisipasi.

Rapatkan barisan....

Lihatlah, betapa guyubnya semua orang yang merasa memiliki kecintaan kepada masjid tertua di Waikabubak ini. Rela menyisihkan waktu dan tenaganya untuk menyokong pembangunan rumah ibadah tempat Tuhan bersemayam. Ada dorongan dari hati yang terdasar untuk turut melangitkan pujian kepada Sang Maha Pencipta dengan berkotor-kotor dan berpayah-payah melarutkan cairan cor-coran ke atas dek masjid. Diterpa panas, diterjang angin dan ditimpa deraian hujan. Sejak matahari mengintip di balik bukit dan pepohonan sampai gelap merajai angkasa. Semua berpadu.

Tetap semangat meskipun bekerja saat malam

Alangkah indahnya bila sendi-sendi kehidupan bermasyarakat selalu dijalani dengan konsep yang sudah hidup sejak nenek moyang kita yang purba dulu. Beban yang berat akan ringan. Hal yang mustahil bisa terwujud. Dan semua kebanggaan ketika sesuatu itu tercapai, akan dirasakan dengan porsi yang sama. Tidak ada yang merasa lebih berjasa, tidak ada yang tinggi mengakui semua terjadi karena uangnya. Semua ikut bangga sebab ada nilai magis yang tak bisa ditukar dengan tumpukan uang, jasa atau nama. Nilai-nilai ilahiyah yang mungkin ada di sela-sela hati yang sibuk oleh dunia, bahkan pada seorang hamba yang masih jauh dari Tuhannya.

Barisan ibu-ibu majelis ta'lim penyuplai semangat dan tenaga
Begitu banyak masjid megah dan indah berdiri di seantero dunia. Tapi berapa banyak masjid yang di langit-langitnya, di setiap shaf yang terbentang dan setiap inchi dindingnya bertebaran pahala-pahala yang menjadi ukiran penghias masjid itu yang asalnya dari tetesan keringat para pencari Tuhan? Saya yakin Masjid Agung Al Azhar ini adalah salah satu diantara yang sedikit itu. Catatan sejarah teragung yang bernaung di Arsy, akan mencantumkan satu persatu dengan teliti siapa mempersembahkan apa. Bahkan bila apa yang dipersembahkan kepada Tuhan itu hanya sebesar biji dzarrah.

Masih banyak tenaga, waktu, dana, pikiran dan keringat yang harus dilakukan demi berdirinya Masjid Agung Al Azhar yang anggun dan kokoh. Masih perlu banyak tangan-tangan terulur demi kebanggaan umat Islam itu.

Sore itu, minggu tanggal 17 Maret 2013, suami saya pulang dengan tangan hampa.
"Yaah, Mi. Abi ga kerja tadi." seolah petani yang gagal panen ia berkata.
"Lo, kenapa? Bukannya abi datang ke masjid untuk kerja?" saya balik tanya.
"Waktu abi mau kerja, Aba Ibni larang saya; 'eeeets, kau tak usah kerja' katanya."

Saya tersenyum. Masih banyak ladang pahala menunggu untuk dicangkul. Semoga masih diberi waktu.


Waikabubak, 22 Maret 2013

8 komentar:

  1. Wahhh Jeng, kayanya bagus tuh. ditunggu bentuk jadinya Masjid ya.penasarannnnn

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama, kami semua juga sudah penasaran semua gimana nanti jadinya....
      Makasih sudah mampir, Jeng....

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Pak KUA katikutana kok, komentnya udah dihapussss...?

    BalasHapus
  4. Sory t.Lie tadi yg koment saya, trnyata td lom logout akun KUA Katikutana jdny tak hapus takut aa marah, hehehe....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Owh, owh, owh...gitu to Jeng. Heheheh, blog baru nih....mampir dulu aaaah.

      Hapus
  5. hiiiiii, hiiiiii,,,,,,hiiiii,,,,, (rimabaaay sambil sekat air mata dengan ujung baju, sampe keliatan perut, untung aja pake kaos dalam,,,,). Semangat karena SEMUA, berjuang karena SEMUA, berhasil karena SEMUA, wahai SEMUAAAAA!!!! jangan saling diam, jangan saling cuek, jangan saling meninggalkan. Kita bisa karena SEMUA bukan karena SATU..... Hidup SEMUAAAAAA !!!!!!!

    BalasHapus