Merindukan Pulang


Selalu ada alasan untuk pulang, Meski sebenarnya tak butuh satupun alasan untuk kembali ke sesuatu yang kita sebut rumah.

Orang melangkahkan kakinya. Mencari banyak hal yang membuat ia merasa belum lengkap tanpa memilikinya. Mengejar jawaban dari pertanyaan yang berlesatan bagai kilat dalam hidupnya. Berkelana, menyusuri jalan dan tempat asing yang jauh, untuk kelak berhenti melakukan semuanya dan merindukan pulang.

Kata pulang menjadi demikian magis untuk dilafalkan di bibir. Mengejanya membuat hati teriris-iris. Terlebih bila pulang, adalah satu-satunya jalan untuk merasakan kembali nyamannya rumah. Tak banyak orang yang mampu menjadikan tempat dimana ia berpijak menjadi rumah, tempat ia melabuhkan hati dan tubuhnya dengan nyaman. Padahal perantauan menjanjikan kesenangan dan banyak hal yang tidak dapat ditemui di kampung halaman.

Pulang adalah kembali ke akar. Tempat awal tumbuhnya segala yang hidup.

Namun pulang bagi beberapa orang yang terbuang menjelma menjadi bintang. Jauh dan tak terjangkau. Hanya kilaunya saja yang berpendar di dada, hilang muncul. Mereka sampai rela untuk pulang meskipun dalam keranda. Untuk orang semacam mereka, kaum buangan, pulang adalah hal teragung sehingga kehilangan nyawa mungkin jadi satu-satu alasan untuk bisa kembali mencium bau tanah, merasakan indahnya rumah dan bersatu dengan bumi yang menumbuhkan mereka.

Orang-orang itu, seperti tokoh yang digambarkan oleh Leila Chudori dalam novelnya 'Pulang', hanya mampu membaui kampung halaman, tanah airnya, dari aroma kenangan. Ketika pulang sudah menjadi kata yang muskil untuk diwujudkan, hanya dengan menghirup bau kenanganlah segala rindu itu terlunaskan. Meski darah kesedihan dan air mata nelangsa tetap menetes dari luka sayat di tubuh harapan.

Bahagialah, mereka yang lahir tumbuh dan menua di kampung halaman. Tak perlu merasakan sesaknya rindu yang menderu-deru. Tak payah untuk menelusuri jalan menuju kampung halaman yang mungkin sebagian telah terlupakan digerus ingatan yang lekang dimakan zaman.

Bahagia jualah, bagi siapa saja yang bisa mengecap syahdunya mengucapkan kalimat: "Aku pulang", setiap jeda kesibukan di perantauan menggiring untuk mereka kembali di tanah asal sendiri. Menyesap romantisme menatap kelebatan pohon dipinggir jalan dari balik jendela kendaraan. Menikmati desauan angin yang membisikkan ucapan selamat datang. Menatap kerlip lampu-lampu rumah penduduk di kejauhan saat malam tiba dari becak yang dikayuh perlahan.

Pulang, kembali ke asal. Barangkali di sana, di teras sebuah rumah yang teduh sedang menunggu, seseorang dari masa lalu.


2 komentar:

  1. Sesama perantau........pulang adalah hal yang sakral. Selalu adacerita unik di balik perjalanan pulang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah. Sakral....
      Lihat bagaimana kita mempersiapkan diri ketika akan pulang.

      Hapus