Semasa kanak-kanak dulu, ketika masih duduk di bangku kelas 4 SD, saya tersihir oleh puisi Diponegoro gubahan Sang Pujangga Indonesia, Chairil Anwar. Saya seolah dirasuki semangat berperang yang disebarkan oleh bait teraakhir puisi itu. Untuk bocah sekecil itu, kata:
Maju
Serbu
Serang
Terjang, itu terasa sangat magis. Masih ingat betul rasanya saat saya membaca kata-kata itu. Merinding.
Tapi tak lama kemudian, sebagaimana bocah lainnya, saya kembali sibuk dengan bermain, bercanda dan main gila. Saya lupa dengan puisi itu. Sampai saat saya harus memberikan kelas puisi pada anak-anak santri Ponpes Baitul Hikmah, saya harus menelusuri lagi ingatan-ingatan saya tentang puisi yang pernah saya baca. Puisi Diponegoro ini salah satunya.
Ada baiknya bagi saya, untuk mengumpulkan puisi-puisi Chairil Anwar yang pernah saya tahu, saya baca dulu, agar saya sesekali bisa menyedot semangat darinya dengan mudah. Terutama di usia saya seperti sekarang ini, yang sudah sering merasa letih.
PUISI KEHIDUPAN
Hari hari lewat, pelan tapi pasti
Hari ini aku menuju satu puncak tangga yang baru
Karena aku akan membuka lembaran baru
Untuk sisa jatah umurku yang baru
Daun gugur satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Umurku bertambah satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Tapi… coba aku tengok kebelakang
Ternyata aku masih banyak berhutang
Ya, berhutang pada diriku
Karena ibadahku masih pas-pasan
Kuraba dahiku
Astagfirullah, sujudku masih jauh dari khusyuk
Kutimbang keinginanku….
Hmm… masih lebih besar duniawiku
Ya Allah
Akankah aku masih bertemu tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Akankah aku masih merasakan rasa ini pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Masihkah aku diberi kesempatan?
Ya Allah….
Tetes airmataku adalah tanda kelemahanku
Rasa sedih yang mendalam adalah penyesalanku
Astagfirullah…
Jika Engkau ijinkan hamba bertemu tahun depan
Ijinkan hambaMU ini, mulai hari ini lebih khusyuk dalam ibadah…
Timbangan dunia dan akhirat hamba seimbang…
Sehingga hamba bisa sempurna sebagai khalifahMu…
Hamba sangat ingin melihat wajahMu di sana…
Hamba sangat ingin melihat senyumMu di sana…
Ya Allah,
Ijinkanlah
PRAJURIT JAGA MALAM
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa
nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang
tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan
bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah
mati ini
Aku suka pada mereka yang berani
hidup
Aku suka pada mereka yang masuk
menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut
debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa
nasib waktu !
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara
Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan
angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi
mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap
hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di
malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding
yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang
diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa
memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai
tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk
kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi
bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di
malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding
yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas
pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi
debu
Beribu kami terbaring antara
Krawang-Bekasi
HAMPA
kepada sri
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan
melati
Harum rambutmu mengalun bergelut
senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa
tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak
membelah
DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus
kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa
mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru
tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si
pacar.
angin membantu, laut terang, tapi
terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin
mendayu,
di perasaan penghabisan segala
melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”
Amboi! Jalan sudah bertahun ku
tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan
cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng
sendiri.
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
kelam dan angin lalu mempesiang
diriku,
menggigir juga ruang di mana dia
yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi
semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d)
sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku
jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah
baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak
lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan
peristiwa berlalu beku
PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari
kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami
lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat
di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat
satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita
berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita
bertolak & berlabuh
DERAI DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap
merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah
rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak
terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari
cinta
di antara gudang, rumah tua, pada
cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu
tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau
berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga
kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari
berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak
bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang
ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap
harap
sekali tiba di ujung dan sekalian
selamat jalan
dari pantai keempat, sedu
penghabisan bisa terdekap
Paling suka yang "AKU"....melekat banget dari kecil hehehehehehehe
BalasHapusYang Terempas dan Yang Terputus.... bagus juga .... :)
BalasHapuskeren,,,
BalasHapus