Romantisme Sendu Setoples Cengkeh


Adakah kita pernah begitu mencinta seseorang yang jauh dan tak terjangkau oleh angan sekalipun? Begitu dalam dan sunyinya rasa itu tenggelam di dasar hati kita, sehingga gelora dan buncah-buncah gairah yang awalnya menerbitkan sebersit senyum, kemudian berubah menjadi seleret sendu. Bahkan ia terlalu kelabu untuk bisa berubah menjadi warna-warna yang hidup. Cinta sendu yang terbawa hingga mati.

Saya baru sampai ke halaman 145 pada lembar-lembar novel "Amba" yang berat dan tebal. Untuk saya yang jarang sekali membaca buku bermutu seperti itu, banyak udara yang harus saya sesap terlebih dahulu untuk memberi jeda pada otak yang keliyengan membacai rentetan kalimat yang bersayap-sayap. Kalimat yang penuh diksi yang ketat. Saya bertekad untuk mengkhatamkannya dalam beberapa hari ini. Jika saya bisa. Sebab saya tergoda untuk mengetahui adakah cinta yang teramat sendu seperti itu pada diri Amba pada Bhisma. Sebagaimana halnya cinta Dimas Suryo pada Surti Anandari dalam "Pulang", novel Leila S. Chudori.

Kedua novel itu sama-sama mengupas sejarah kelam era tahun 65-an. Sejarah yang tak pernah habis dikuliti oleh siapapun yang tak habis mengerti bagaimana peristiwa termuram sepanjang abad itu bisa terjadi dan membawa luka perih yang tak kunjung kering meneteskan darah. Sebab di sebuah sudut kota asing di luar negeri sana, di celah gang sempit sebuah pemukiman padat, di senyap sebuah desa terpencil yang terapung di pulau nan entah, bertebaran orang-orang yang hingga akhir hayatnya dicekam ketakutan. Didera teror paling menyeramkan. Diberi cap di dahinya yang tak terhapuskan, lalu dikenali sebagai orang sesat yang mesti dilenyapkan.

Namun, saya selalu tersedot oleh pesona kisah lain, yang ibarat cokelat --ia lumer di mulut begitu kita kulum-- dalam novel "Pulang". Ada sesuatu yang sangat romantis, setidaknya bagi saya, di keseluruhan kalimat-kalimatnya, sehingga saya terpalingkan dari pembahasan tentang kelamnya latar belakang cerita sang Dimas Suryo. Sebuah poin yang membuat novel ini bernas karena Leila melakukan riset mendalam bertahun-tahun tentang itu, dan membuat saya tetap tak menurunkan acungan dua jempol saya pada nilai historis dalam novel itu.

Namun, sekali lagi saya dibetot oleh pesona lain. Romantisme setoples cengkeh yang dipajang Dimas Suryo di rumahnya. Mungkin karena saya perempuan dan seperti perempuan lain, saya suka cokelat dan romantisme.

Dimas Suryo, lelaki yang menyimpan sendu di dadanya. Terbuang. Asing dan sepi. Ia terlempar jauh dari tanah air karena nasib menggoreskan ia harus dikelompokkan oleh penguasa sebagai penganut haluan kiri, meskipun sebenernya ia bukan. Di masa itu semua mesti jelas dan pasti. Engkau memihak siapa? Adalah pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan ragu. Warnamu harus jelas. Hitam atau putih. Menjadi kelabu berarti sama dengan bersekongkol dengan lawan penguasa. Dan sebagai akibantnya, Dimas harus merasakan getirnya hidup tanpa kewarganegaraan. Orang yang tak diterima di tanah airnya sendiri.

Di sana. Di sudut kota Paris, Dimas Suryo merawat kenangan dalam toples berisi cengkeh dan juga bubuk kunyit. Dua hal eksotik yang membuatnya tetap terhubung dengan tanah air. Aroma rempah itu meredakan rindu yang bergulung-gulung menghantamnya. Menjaga rasa cintanya agar senantiasa membuncah meski ia telah dikhianati separah-parahnya. Bukan oleh tanah airnya, melainkan oleh penggenggam kekuasaan di sana. Bukan oleh gadis yang amat dicintainya, melainkan oleh panggilan jiwanya sendiri yang serupa kapal yang enggan berlabuh selama-lamanya.

Ia mencintai Surti Anandari sedemikian, hingga ia selalu mencium sekilas bau melati setiap ingat pada kekasihnya itu. Tapi jiwa lelakinya meronta, ketika usai bercinta, Surti menyiratkan sesuatu untuk ia berhenti berpetualang. Menetap dan tinggal. Ia kuatir akan banyak buku-buku terlewatkan untuk dibaca. Akan ada puisi-puisi dan sastra yang tertinggal jauh di belakang. Dan dalam kegamangannya ia membiarkan Surti pergi dalam tangisnya.

Tidak ada yang bisa dilakukan untuk mentahtakan cintanya bagi Surti. Ia hanya mampu untuk memelihara semua kenangan tentang Surti, wangi melati, percintaan yang membara dan tiga nama indah yang ia sematkan suatu saat jika mereka punya anak. Yang ternyata tidak terjadi. Semua itu hanya jadi kenangan yang membeku dan membuat Dimas dirajam sembilu. Ia menelan semuanya. Dalam keterasingan. Di tengah hiruk pikuk keramaian Paris dan rumitnya kehidupan rumah tangganya dengan Vivienne, perempuan Paris yang selalu meredam gejolak birahinya dengan segenap cinta.

Hanya pada toples cengkeh dan bubuk kunyit itu, Dimas meluapkan kesenduannya. Kerinduannya. Pada tanah airnya. Dan pada Surti. Perempuan yang dulu sering ia kirimi puisi. Perempuan yang menempatkan dirinya serupa udara. Bukan hanya ada di dapur --tempat mereka dulu pertama bercinta--, di warna kuning kunyit, di aroma cengkeh. Tapi di mana-mana. Selama-lamanya.

Saya membayang-bayangkan, romantisme "gila" yang mencecar-cecar dalam kisah "Pulang" itu benarkah ada? Jika ada, betapa ingin saya sedikit saja merasakannya....





Tidak ada komentar:

Posting Komentar