Lelaki Malamku


Lelakiku, maaf kali ini ku mengganggumu lagi. Seperti malam-malam yang telah lalu. Kala aku mendatangimu dengan leher yang tercekik karena menahan jeratan pilu. Sungguh, aku bukan bermaksud membuatmu berpaling dari apa yang menjadi kesenanganmu. Menghabiskan malam dengan menghitungi berapa puntung rokok yang telah kau habiskan dan mereguk secangkir teh manis yang kubuatkan untukmu Isya tadi.

Bukan, sayangku. Aku bukan ingin memintamu untuk berhenti mendentingkan gitar itu. Kemudian memenggal lagu yang baru setengah kau nyanyikan di dangau kita yang baru. Untuk sekedar membaringkan tubuhmu di sampingku, di saat denyut nadimu masih menuntut matamu untuk berjaga.  Karena nada yang keluar dari dawai-dawai gitar itu sejatinya kau persembahkan untukku, meski kau bentangkan jarak padaku malam ini.

Aku telah membasahi sepertiga malam-malam kita dengan air mataku. Tidak, kali ini aku tak ingin meluruhkannya lagi di depanmu. Aku akan segera menghapusnya begitu ia mengambang di kelopak mata. Tak perlu kuatir, kau harus menyediakan dada dan pundakmu untuk tempatku memeluk sesuatu. Usah pula kau gerakkan tanganmu dingin terpapar embun itu, untuk melerai anak sungai yang membanjiri pipiku.

Aku tak ingin engkau gundah. Karena aku tahu pasti, engkau bukan lelaki yang tahan melihat air mata yang mengalir di pipi seorang perempuan, seperti aku. Kau membenci airmataku. Air mata yang membuat hatimu merasa kalah dalam pertandingan memberikan kebahagiaan kepada perempuan. Dan membuatmu memicingkan matamu, menekan gemuruh dada dan lalu membekukan seluruh tubuhmu.

Tak pernah kusangsikan, ketegaran dan kekokohanmu telah melapisi seinci demi seinci tubuhku yang rapuh. Kini meski terombang ambing oleh angin badai. Kau akan dapati aku berdiri di sampingmu setegar  bunga ephorbia dihantam kemarau panjang. Ia akan tetap tersenyum. Menghiasi tubuhnya dengan rimbunan kelopaknya yang merah jingga. Dan menyembunyikan batangnya yang ringkih dengan menempelkan duri-duri disekujur tubuhnya.

Lelakiku, semoga kau tak pernah jera. Menerima kata cinta yang terucap begitu saja dari bibirku, setiap aku menatap matamu. Lima huruf indah itu telah bersenyawa dengan nafasku. Setiap kuhembuskan nafasku, kata cinta itu turut terhembus dari bibirku. Waktu  kau memagutku hingga nafasku memburu, seketika itu huruf huruf itu berdesakan di atas lidahku mencari cara untuk menyeruak di wajahmu..

Kau telah begitu lama merebahkan tubuhmu hanya untuk sekedar menemani pembaringanku. Melepaskan segala hal yang penting dalam hidupmu demi membantuku mengeringkan air mataku. Betapa keakuanku terlalu menuntutmu berada disisiku selalu. Padahal panggilan jiwamu adalah malam yang panjang yang tak hendak kau tinggalkan.



Waikabubak, 20 Mei 2011 repost from my facebook notes

2 komentar:

  1. cuma sekedar corat coret aja, mas. masih harus belajar banyak dr blogger senior seperti mas agung. makasih ya udah mampir :D

    BalasHapus