Air Mata Ima

Sudah tiga hari ini, lewat sepenggal siang, mataku selalu nanar di bingkai jendela kamar. Menunggu suara langkah kaki tersaruk-saruk sesekali diselingi batuk. Aku kian hari kian didesak keinginan --yang timbul karena kekosongan waktu-- untuk mengamati gerak gerik seorang perempuan.

Perempuan itu memunguti kemasan gelas plastik bekas air mineral yang berserakan di setiap sudut tanah becek sisa hujan semalam. Mengais rejeki dari barang yang sudah orang buang.

Itu dia, bisikku pelan pada diriku sendiri. Di luar penampilannya yang kumal dan kurang gizi, aku merasa dia memiliki raut muka yang manis. Serupa dengan bunga yang kusam dimakan debu jalanan.


Aku memanjangkan leherku. Menyongsong kedatangan perempuan lusuh dan kering yang gontai memanggul karungnya yang masih setengah isi. Di sebelah kirinya bocah perempuan kecil berjalan agak tertinggal, sambil menyeka ingus yang muncul tanpa diminta di hidungnya. Noda menghitam kemudian kering di terpa angin. Sepertinya tangan yang dipakai untuk menyeka itu penuh debu berdaki.

Sudah tiga malam, di rumah mertuaku dihelat sebuah rangkaian hajat. Adik iparku yang sempat membuat pusing kepala gara-gara masalah perempuan, akhirnya menikah juga.

Di kampungku, menikah bukan persoalan mudah. Banyak tahapan acara adat yang harus dilaksanakan demi menjunjung tradisi dan menjaga harga diri keluarga. Pernikahan yang dilaksanakan secara kilat dengan melewatkan tahapan-tahapan acara adat akan menimbulkan kesan negative dan desas desus miring akan membuat panas kuping. Hari ini adalah hari ketiga  minu ae petu. Acara untuk mengundang sanak keluarga dan kenalan-kenalan dalam rangka membantu pembiayaan acara nikah nanti.

Maka selama tiga hari itu pula, perempuan itu rajin bertandang. Biasanya dia datang setelah selesai makan siang. Ketika semua sanak keluarga yang terlibat dalam acara adat pernikahan adik iparku sudah kekenyangan dan kelelahan, perempuan itu mulai bekerja membersihkan halaman depan rumah kami dengan memunguti seluruh gelas plastic bekas air mineral.

Tak ada yang memperhatikan dia kecuali aku. Panas hawa pantai ditambah debu dan asap knalpot dari jalan di muka rumah, membuatku tidak bisa beristirahat siang dengan nyaman. Satu-satunya hal yang membuatku bisa tenang berdiam diri adalah perempuan itu. Kuperhatikan tangannya yang gelap di sengat matahari, mengambil gelas plastik memasukkanya ke dalam karung berulang-ulang sampai habis.

Aku melongokkan mukaku keluar jendela. Di atas akar pohon mangga yang mencuat ke permukaan tanah, anaknya duduk merengek. Meminta pulang karena lapar. Sementara perempuan itu terus membenahi isi karungnya agar mudah dia genggam karena sudah sarat isinya. Sekali dua, ia menyahuti rengekan anaknya dengan halus.
“Iya, sabar ya nak, sedikit lagi kita pulang sudah,” ujarnya sambil tersenyum tipis.

Tak jauh dari tempatku berdiri, kulirik istriku sedang terlelap kecapekan. Mulai jam 4 dini hari tadi di berkutat di dapur mempersiapkan makan minum untuk semua yang akan datang di acara minu ae petu adik laki-lakinya.

“Tunggu sebentar,” aku menyeru perempuan itu ketika kulihat kemudian dia sudah beranjak dari halaman rumah.

Dia terkesiap menoleh ke arahku, sementara anaknya terus menarik-narik bajunya mengajak pulang.  

“Ini ada sedikit uang untuk beli makanan. Saya lihat dia terus merengek kelaparan dari tadi,” aku mengarahkan mataku pada anak itu seraya mengulurkan selembar lima puluh ribuan kepadanya.

Sejenak dia diam. Tapi kemudian, dia menggeleng tegas.

“Terima kasih, tapi tidak. Saya tidak bisa menerima itu” dia menunduk seraya membalikkan badannya dan bergegas meninggalkanku. Aku masih bisa melihat kilatan aneh di matanya. Mendung tebal bergayut di situ.

Aku ingin mencegahnya. Hanya saja keinginan itu hanya diam di dalam hati.
Perempuan itu semakin menjauh. Punggungnya sedikit membungkuk untuk menahan beban yang sarat. Di belakangnya mengintil anak perempuan sambil menarik-narik ujung bajunya. Mungkin dia merutuki ibunya yang tidak mau menerima uang pemberianku tadi. Lalu entah mengapa, aku seperti terseret oleh arus yang dihanyutkan perempuan itu di atmosfer sekelilingku. Kakiku mulai mengambil langkah mengikuti jejak yang ditinggalkan anak beranak itu.

*

Rumah bebak bambu, seukuran kamar tidurku di Surabaya. Dari jauh aku bisa memastikan, aku harus menundukkan badanku supaya kepalaku tidak terantuk kayu bila hendak masuk ke dalamnya. Atapnya daun kepala yang dianyam sekenanya. Lalu disusun menumpuk tak beraturan untuk melindungi penghuninya dari panas dan hujan. Sebagian sudah lapuk, mengering dihantam sinar matahari yang masih garang sore ini. Aku menunggu, duduk di dahan waru yang condong ke tanah. Di sampingku deburan ombak musim barat mengganas menjilat pantai.

Perempuan itu mencampakkan pikulannya di samping rumah. Disekitarnya berjejalan barang rongsokan menutupi hampir seluruh tanah pekarangan yang tersisa. Dia menyeka keringat yang meluncur di dahinya, menarik nafas dan menjatuhkan pantatnya di sebuah bangku. bocah perempuan yang sudah mendahuluinya tiba di rumah, sudah melesat entah kemana. Aku mendengar perempuan itu berteriak mengingatkan anaknya bahwa makan siang akan segera siap. Makan siang, di jam begini, batinku trenyuh.

Setelah melepas lelahnya, perempuan itu kembali bangkit. Meraih keranjang dari anyaman daun kelapa, lalu menghilang di telan bayangan rumah bebak itu. Tak seberapa lama, dia telah muncul dengan keranjang yang dipenuhi daun singkong. Aku menghela nafas. Sejenak ketika aku berniat untuk pulang, suara laki-laki mengurungkan niatku.

“Hari ini nasib baik sedang berpihak padaku, Ima. Lihatlah!”

“Waah, Ini banyak sekali, Kak. Besok kita bisa belanja di pasar. Aku ingin membelikanmu sarung. Sarungmu sudah koyak terlalu lama.”

“Besok, Kau bisa membeli semua yang kau inginkan.”

Aku melihat dari kejauhan, keduanya saling melempar senyum. Seperti senyum sekuntum bunga pada seeekor kupu-kupu. Lalu keduanya mendekat satu sama lain, mereka berbicara hal-hal yang sepertinya tidak terlalu penting. Mengabarkan anaknya yang belum mendapat makan siang. Menceritakan kejadian siang tadi di rumahku. Menunjukkan kaki yang terluka karena menginjak duri. Mengusap kening yang basah berkeringat. Sedikit bercanda. Tertawa bersama. Laki-laki itu lalu mengecup bibir si perempuan.

Aku memalingkan mukaku. Berusaha mengenyahkan pemandangan yang mengingatkanku pada kemesraan yang lama tidak pernah  kurasakan. Kemudian menyeret kakiku menjauh dari rumah gubuk itu.

Sepanjang perjalanan pulang aku terbayang wajah perempuan lusuh itu. Membandingkannya dengan istriku yang selalu terlihat cantik dan bergaya. Sejak bangun tidur, dia akan segera mandi lalu duduk didepan meja riasnya sampai aku selesai bersiap ke kantor. Ketika malam, aku pulang, ritual yang sama dia lakukan di depan meja riasnya. Membersihkan make upnya, bermasker, mengeroll rambutnya lalu tidur di sampingku kaku persis mayat hidup. Entah mengapa, aku menjadi asing dengan perempuan yang telah empat tahun menemani hidupku ini. Hawa aneh menyergap perasaanku.

**

Aku akan segera meninggalkan kampungku. Tapi aku harus menyelesaikan sesuatu. Aku memutuskan untuk mempersiapkan semuanya dengan matang. Sebab aku tahu jika tidak, aku akan dihantui rasa sesal seumur hidupku.

Pagi-pagi,  kudatangi gubuk bebak bambu itu sekali lagi. Mungkin untuk terakhir kalinya. Kukatakan pada istriku, aku harus membeli suplemen penambah energy untuk menjaga stamina selama perjalanan pulang. Istriku mengangguk dengan sedikit mengernyit. Mungkin dia merasa heran sejak kapan aku mengkonsumsi suplemen penambah energy seperti itu. Tapi aku tidak memedulikannya.

Ketika aku tiba di gubuk itu, sepi masih menyelimuti udara sekitarnya. Aku meneguhkan hatiku. Lalu kurogoh saku celanaku. Dan kuletakkan uang berjumlah dua puluh juta di bale-bale. Aku hendak melangkah pulang, saat tiba-tiba pintu berderak. Seraut wajah terbit di balik pintu. Dia terperanjat melihatku.

“Aku, hanya ingin minta maaf. Dan mungkin uang itu bisa menebus kesalahanku padamu dulu,” aku tercekat sesaat, “walaupun aku tahu kesalahanku tak mungkin tertebus oleh apapun.”

“Kau tidak perlu berbuat itu, bahkan tidak seharusnya kau datang ke rumahku,” 

“Ima, aku benar-benar minta maaf.”

“Pergilah. Sebelum suamiku bangun dan mematahkan gigimu.”

Mata perempuan itu mulai merebak, air menuruni pipi tirus, menggantung di ujung rahangnya yang gemeretak menahan bah yang hampir pecah. Kemudian menetes satu persatu. Jatuh di lantai tanah berdebu tak jauh dari tempat kakinya berpijak.

Aku semakin tercekat.

“Pergi, pergilah!” dia semakin meradang.

Kata-kata yang hendak kuucapkan, urung keluar dari mulutku. Begitu ingin aku menghapus semua penderitaannya. Penderitaan yang telah aku benamkan dalam hidupnya lima tahun lalu. Pada sebuah malam, di atas perahu yang tertambat di pinggir pantai.

Aku melangkah gontai. Meninggalkan tangisan perempuan yang aku yakin akan terus menghiasi pikiranku sepanjang sisa hidupku. Kudengar rengekan kecil di sela isak tangis Ima. Rengekan yang semakin membuatku lunglai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar