Kejutan Dari Icha


Hidup penuh dengan kejutan-kejutan. Sebagian ada yang membuat sedih, kecewa, marah, tegang dan stress. Separuh lagi hadir untuk memberikan senyuman, kebahagiaan dan rasa bangga.

Saya baru saja mengalami kejutan jenis yang kedua. Sebuah kejutan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Hal sesimpel dan sespontan yang disodorkan begitu saja oleh gadis kecil saya, Icha, ternyata membuncahkan rasa bangga dan bahagia yang tak terkira.


Jika saja saya sedikit sensitif terhadap beberapa kejadian sebelumnya, mungkin kejadian malam ini akan berakhir biasa saja. Dia akan kehilangan daya kejutnya karena saya telah berhasil menangkap sinyal-sinyal yang dilepaskan secara tidak sengaja oleh anak saya itu. Namun, begitulah cara Tuhan mengatur semuanya. Tak bisa dikira, unpredictable dan kadang-kadang hadir dengan jalan yang tidak biasa. Malam ini, saya menaikkan puji kepadaNya untuk sebuah kejutan kecil yang manis yang Dia hadirkan di hidupku.

Berbeda dari kakaknya yaitu Adil, Icha tumbuh dengan karakter lebih keras, kaku, cenderung memaksa dan sulit mendengarkan omongan orang. Ayahnya sering bercanda bahwa dia gadis jawa yang berkarakter ende. Kebetulan Icha memang dilahirkan di kampung kelahiran saya, Pekalongan. Sementara, Adil gadis ende yang berkarakter jawa, karena Adil dilahirkan di Kampung halaman Ayahnya, Ende.

Pada suatu hari pernah saya memarahi Icha karena dia telah menghilangkan uang dua puluh ribuan di sekolahnya, bahkan sebelum sempat dia belanjakan. Uang itu saya berikan dengan catatan dipergunakan untuk keperluan jajannya di sekolah selama sepuluh hari. Saat itu saya betul-betul kehabisan uang kecil. Sehingga dengan terpaksa saya berikan uang pecahan dua puluh ribu kepada Icha. Seperti biasa, saat saya marah, Icha hanya diam seribu bahasa dengan muka yang dilipat-lipat. Kebiasaan ini jelas diturunkan oleh ayahnya, hihihi. Kemudian setelah menumpahkan kekesalan saya, kehidupanpun kembali berjalan normal.

Namun rupanya, keadaan yang saya sudah anggap berjalan normal kembali itu tidak berlaku buat Icha. Dia masih menyimpan rasa sesalnya. Tapi dia hanya menyembunyikan untuk dirinya sendiri. Sampai pada hari ketiga setelah kejadian itu, sepulang dari kantor, saya menemukan secarik kertas terselip diantara tumpukan make up saya di meja rias. Isinya adalah sebagai berikut:

"Umi yang baik hati dan saya cintai. Saya minta maaf sekali sudah menghilangkan uang yang umi berikan buat saya. Jangan marah lagi ya Umi. Anakmu, Icha."

Saya terhenyak, namun tidak bisa memeluk buah hati saya itu karena beberapa menit sebelumnya dia pamitan untuk berkunjung ke rumah sepupunya. Dan karena rutinitas-rutinitas di rumah dan kantor, catatan kecil dari Icha itu kemudian seolah saya lupakan keberadaannya.

Dan berbulan setelah itu, sebuah kejutan manis mengingatkan saya kembali kepada catatan kecil dari Icha. Kini kejutan itu hadir dalam bentuk yang jauh lebih sempurna. Sebuah puisi. Ini adalah keajaiban. Icha menulis puisi pertamanya di usia 9. Di usia itu saya sedang gila-gilanya pada membaca, tapi tak sebuah puisi pun sempat saya buat. Tapi Icha, saya tidak pernah melihatnya tekun membaca seperti ketekunan saya membaca, tapi justru telah membuahkan sebuah puisi. Saya pun tercengang dan sontak teringat catatannya diatas. Apakah Icha sedang berusaha memberitahu saya bahwa dia memiliki minat yang sama dengan saya? Seharusnya saya sebagai ibunya tahu hal ini sejak awal. Agar saya bisa membimbing dan mengarahkan minatnya secara tepat. Sebab minat dan bakat bisa lenyap jika terkubur oleh ketidaktahuan dan ketidakpedulian orang tua. Satu hal yang tentu sangat merugikan anak.

Penasaran, saya membuka-buka binder koleksi Icha. Ternyata diantara coretan-coretan tidak jelas, terselip beberapa bait lagi puisi. Wow...apa  yang saya tahu tentang gadis kecil saya ini. Saya telah kehilangan banyak moment berharganya.

Untuk memberikan apresiasi yang mendalam bagi kejutan manis yang dia persembahkan untuk saya malam ini, tadi saya berjanji untuk menulis catatan di facebook tentang puisinya. Yang tentunya dengan kemampuan berbahasa dan perbendaharaan diksi yang masih terbatas, masih perlu banyak bimbingan untuk sampai pada tahap sempurna. Namun keberaniannya untuk menjelajah dunia yang baru, patut saya hadiahi pelukan dan pujian. Bila ibu gurunya memberikan nilai 100 untuk puisinya itu (yang satu-satunya nilai 100 di kelasnya), maka saya memberinya nilai 200. Sedikit berlebihan. Tapi tidak mengapa untuk memicu semangatnya lagi dalam menulis.

Maka selanjutnya, catatan ini saya tuliskan sebagai memorabilia atas kebanggaan saya sebagai seorang ibu dan monumen bagi puisi pertama Icha di hidupnya yang masih panjang ke depan. Semoga kelak di saat dia mungkin telah menuliskan ribuan puisi indah dan prosa yang menarik, dia tidak melupakan puisi pertamanya ini.

Puisi satu

Sekolahku

Sekolahku
Kau sangat bagus dan cantik
Lapangan luas dan bagus
Tiang bendera berdiri tegak

Sekolahku
Benderamu berwarna merah putih
Merah berani putih suci
Berarti kita berani dan suci

Sekolahku
Aku akan sekolah disini sampai aku lulus
Biarpun aku tidak lulus
Aku akan berusaha sampai aku bisa


Karya Icha



Puisi dua

Lumba Lumba

Lumba-lumba
Kau sangat pintar
Kalau kulihat, aku jadi terpesona
kupandang-pandang wajahmu
main bola basket kau bisa
Aku sangat suka kau

Lumba-lumba
Diriku bangga padamu
Aku akan menjemputmu


Karya Nawrah Izzatun Naja
(puisi yang ditulis di binder)


Puisi tiga

Orang Tua

Orang tua
Kau begitu menyayangiku saat aku kecil
Ku sangat sayang padamu
Karena kau yang mendidikku

Orang tua
Ku cinta padamu
Ku sayang padamu
Ku rindu padamu

Karena kau yang mengurusku
Waktu aku masih kecil

Karya Nawrah izzatun Naja
(puisi yang ditulis di binder)

Puisi empat

Kupu-kupu

Kupu-kupu
Kau adalah teman baikku
Kau selalu kucintai dengan sepenuh hati

Kupu-kupu
Sayapmu indah 
Dan berwarna warni

Aku suka padamu 
Karena kau sangat cantik
Dalam sepenuh hatiku
Maka kusebut kau sahabatku


Karya Nawrah Izzatun Naja
(puisi yang ditulis di binder)


Repost from Facebook Notes, Waikabubak, 5 Mei 2012.

2 komentar: