Arrrggghh. Pernah merasa menyesal karena sadar telah
melakukan kesalahan dan sudah lambat untuk memperbaiki kesalahan itu?
Saya mengalaminya kemarin. Untuk sesuatu yang anggap sangat penting
sehingga sedapat mungkin saya harus menghindar dari kesalahan. Dan
rasanya sangat menyebalkan. Nggondok di leher, tidak hilang-hilang
sampai hari ini.
Jadi ceritanya begini.
Hari minggu pagi. Tidak seperti biasanya saya, begitu sulit untuk
menegakkan badan saya dari tempat tidur. Alarm yang saya pasang di jam
5.00 WITA sudah berdering lima belas menit yang lalu. Pegal di punggung
dan pundak membuat saya enggan menjejakkan kaki di lantai yang dingin.
Tapi, saya tetap harus bangun kan? Maka dengan lunglai saya mulai
bergerak menuju kamar mandi dan kemudian keluar buru-buru karena ingat
ada hal yang sangat mendesak untuk dikerjakan pagi itu. Tugas GWA03
saya. Ini jam berapaaaa, saya panik melihat jam dinding.
Lalu setelah menyelesaikan satu dua hal yang perlu, saya segera
memburu laptop saya dan mulai memburu aksara, menyerbu kata-kata.
Menulis saja, pikir saya untuk menenangkan hati karena sebenarnya saya
bingung dan kalut belum menemukan ide untuk menulis.
Saya sampai mengabaikan rumah yang berantakan. Perut keronconganpun
tidak saya hiraukan. Beruntung ada Adil, si Sulung yang bisa saya
andalkan untuk membuat nasi goreng untuk mengganjal perut lapar. Dan
rumah sedang sepi. Icha si Bungsu sedang di rumah sepupunya, sementara
suami sedang di Bandara El Tari dalam perjalanan pulang dari Kupang.
Jadi saya terbebas dari perasaan bersalah karena sengaja melalaikan
tugas kerumahtanggaan karena harus menghindar terkaman dead line, makhluk yang paling ditakuti oleh setiap penulis yang ada di dunia.
Kira-kira 4 jam saya duduk menyelesaikan tulisan saya. Mengerjakan
tulisan sebanyak 1000 kata dalam jangka waktu sekian bukan hal yang
mudah saya kerjakan. Saya harus berulang membongkar pasang beberapa
kalimat dan paragraf. Hal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan oleh
penulis. Menulis dan mengedit tidak boleh dikerjakan dalam waktu yang
bersamaan. Namun karena saya kepepet maka kaidah itu saya abaikan.
Begitu selesai, saya mengirimkan tugas saya itu via email kepada
Gradien Audisi. Kemudian dengan menarik nafas lega, saya kembali
melanjutkan hidup saya yang tadi terjeda. Icha dan dua sepupunya yang
lincah datang meramaikan suasana, dapur kembali ngebul, rumah rapi dan
sayapun mandi bersiap menyambut kedatangan suami.
Namun ketentraman saya mendadak sontak berhenti. Petang harinya, saya iseng mengakses kembali Gmail dan membuka attacment
tugas saya. Saya ingin membaca kembali tulisan saya dalam format html.
Sekedar membaca saja, tanpa menyangka bahwa saya menemukan satu
kesalahan yang amat sangat dihindari oleh para penulis. Ada missmatch
data. Pada paragraf pertama saya menulis nama tokoh dalam tulisan saya
dengan ejaan Fandy, sementara kemudian di paragraf ketiga dan seterusnya
saya menulisnya dengan ejaan Fandi. Oh, My God.
Kesesuaian data dalam menulis, bahkan fiksi sekalipun, amatlah
penting. Itulah makanya penulis perlu melakukan semacam riset dan
kemudian mencatat data-data yang diperlukan supaya tidak terjadi
kesalahan menulis seperti yang telah saya lakukan. Kelihatannya sepele
sih. Tapi coba bayangkan bila saya harus menulis sebanyak puluhan ribu
kata. Jika tidak dibantu dengan catatan, bisa jadi kesalahan penulisan
itu bukan saja terjadi pada penulisan nama. Mungkin umur si tokoh,
tempat kejadian, waktu kejadian, ciri-ciri fisik tokoh dan bahkan lupa
jenis kelamin tokoh tulisan itu. Apalagi ditambah dengan intaian makhluk
buas bernama dead line itu, hehehe.
Tidak puas dengan kesalahan pertama, saya kemudian menelusuri attachment
kedua. Tanpa menunggu waktu lama, mata saya langsung tertumbuk pada
kesalahan lain yang saya lakukan. Kali ini saya salah menuliskan
kalimat. Mungkin saya kehilangan konteks. Saya menulis; "Bagaimana aku
tidak bisa mengelak. Sementara seharusnya saya menulis; "Bagaimana aku
bisa mengelak". See....! Itulah akibatnya kalo menulis dalam keadaan terburu-buru.
Ingin rasanya saya mengganti tugas yang sudah terlanjur saya
kirimkan. Tapi apa daya. Ludah yang sudah saya buang tidak mungkin saya
jilat kembali. Hiks, hiks. Maka, saya hanya bisa menunggu.
Masih ada kurang lebih dua puluh jam kedepan untuk saya menenangkan
hati, semoga kesalahan yang saya buat, tidak terdeteksi oleh Gradien
Audisi. Suatu hil yang mustahal, meminjam ungkapan khas Asmuni pentolan
Srimulat.
Sekian dulu curhatan hati saya pagi ini. Doakan saya, ya. Selasa pagi saya tidak dieliminasi. Amiiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar