Sudah tidak ada
lagi tugas untuk menulis sebuah cerita pendek. Padahal menulis cerita
pendek sangat menerbangkan semangatku hingga ke awang-awang. Baru saja
tadi saya meminta pertemanan dengan seorang penulis wanita muda dari
Bandung, namanya Skylashtar Maryam. Sejenak aku berpikir, mengapa dalam
namanya ada kata Sky. Langit, angkasa atau awang-awang. Rupanya ini
sebabnya. Menulis membuat jiwa seseorang serasa melangit. Terbang ke
suatu tempat yang bahkan belum pernah dia jejakkan kaki sebelumnya.
Benar atau tidaknya pradugaku itu, aku tak bisa terlalu ambil pusing
sekarang. Setidaknya itu adalah nalar terlogis yang bisa aku pikirkan.
Dan yang terpenting itulah yang aku rasakan ketika aku menulis sebuah
cerita pendek. Passion.
"Tidak ada penulis yang bisa menguasai semua bidang tulisan. Tulislah yang menjadi passion dan keahlian kamu. Find out your way, find out your destiny." Begitu tulis Skylashtar Maryam di akun facebooknya. Di awal minggu kesembilan ini, bukan kebetulan aku bertemu dengan Skylashtar Maryam dan pada saat yang sama aku juga menemukan apa yang menjadi passionku. Aku pernah mengira bahwa aku ini akan menjadi penyair. Ternyata aku cuma bisa jadi penikmat syair-syair yang keindahannya menjadi latar pandang di jiwa. Lalu aku mengira aku mampu menjadi essais. Menulis opini-opini yang menarik dan menggelitik. Tapi tidak. Semua sudah aku coba, dan entah bagaimana mulanya tiba-tiba aku merasa hidup ketika menulis sebuah cerita pendek. Jadi, siap-siap saja, Skylashtar. Ada satu lagi pesaingmu di dunia cerita pendek. Hehehehe.
Ah, cukup sudah membualnya. Mari sekarang aku bagikan kepada kalian, tugas menulisku yang ketujuh dari Gradien Audisi. Juga sekaligus tugas kedelapan. Dan tugas kesembilan yang baru saja kuterima beberapa jam yang lalu.
Tugas ketujuh dan kedelapan adalah memaparkan setting. Pada tugas ketujuh aku diberi tiga foto yaitu foto ruang meeting, kamar mandi dan dapur. Sementara pada tugas kedelapan, aku diberi foto wajah, api, air dan awan. Dengan syarat tidak boleh menggunakan dialog, tidak boleh memasukkan karakter dan minimal foto itu dipaparkan dalam 350 kata, aku menggumuli foto-foto itu seolah foto itu adalah foto kekasih yang sedang kurindui. Hasilnya, sila teman-teman baca nanti di note yang aku khusukan untuk memuat tugas-tugasku itu. Serius, kaku dan apa adanya. Apa boleh buat, saya tidak bisa bermain-main dalam diksi.
Lalu di minggu kesembilan ini, tugasku memaparkan setting emosi. Ada empat setting yang harus kubedah dalam 75 kata saja, tapi dengan syarat tidak boleh menggunakan kata yang mewakili emosi dan padanannya. Sulit kubayangkan. Tapi ini sudah tidak relevan untuk pengeluhan semacam itu lagi. Dan sebuah cikal bakal novel disematkan dalam tugasku. Sinopsis novel dalam 600 lebih kata beserta premisnya dalam kalimat pendek.
Mungkin tugas memaparkan setting ini merupakan salah satu prasyarat penting untuk menulis novel. Pernah aku baca di entah media online apa, menulis adalah mengingat detail. Kini aku paham maksudnya. Novel membutuhkan setting dalam detail. Bukan hanya sepintas dan seadanya saja. Sebab sebuah kisah akan hidup dan menjelma di pikiran kita bilamana penulisnya sukses menggambarkan settingnya. Bila tidak, jangan harap novel itu akan membekas dalam ingatan pembacanya.
Seperti novel Galaksi Kinanthi, yang kujadikan benchmark dalam penulisanku nanti. Masih kuingat latar suasana gunung kidul yang kerontang, bocah perempuan menggendong adik laki-lakinya menyusuri kali bersama temannya, pelarian seorang gadis TKW di Kuwait dan petualangan dengan SUV di Great Plains. Jelas terekam dalam otakku. Padahal aku belum pernah menginjakkan kaki di ketiga tempat itu. Seperti itulah mengolah setting dan memaparkan dengan detail yang komplit menjadi sangat menentukan dalam menulis novel.
Jadi, bagaimana ini kelanjutannya. Bisakah aku melakukan itu semua? That is a big question for me to answer.
Repost from My Facebook Notes, Waikabubak, 6 November 2012
"Tidak ada penulis yang bisa menguasai semua bidang tulisan. Tulislah yang menjadi passion dan keahlian kamu. Find out your way, find out your destiny." Begitu tulis Skylashtar Maryam di akun facebooknya. Di awal minggu kesembilan ini, bukan kebetulan aku bertemu dengan Skylashtar Maryam dan pada saat yang sama aku juga menemukan apa yang menjadi passionku. Aku pernah mengira bahwa aku ini akan menjadi penyair. Ternyata aku cuma bisa jadi penikmat syair-syair yang keindahannya menjadi latar pandang di jiwa. Lalu aku mengira aku mampu menjadi essais. Menulis opini-opini yang menarik dan menggelitik. Tapi tidak. Semua sudah aku coba, dan entah bagaimana mulanya tiba-tiba aku merasa hidup ketika menulis sebuah cerita pendek. Jadi, siap-siap saja, Skylashtar. Ada satu lagi pesaingmu di dunia cerita pendek. Hehehehe.
Ah, cukup sudah membualnya. Mari sekarang aku bagikan kepada kalian, tugas menulisku yang ketujuh dari Gradien Audisi. Juga sekaligus tugas kedelapan. Dan tugas kesembilan yang baru saja kuterima beberapa jam yang lalu.
Tugas ketujuh dan kedelapan adalah memaparkan setting. Pada tugas ketujuh aku diberi tiga foto yaitu foto ruang meeting, kamar mandi dan dapur. Sementara pada tugas kedelapan, aku diberi foto wajah, api, air dan awan. Dengan syarat tidak boleh menggunakan dialog, tidak boleh memasukkan karakter dan minimal foto itu dipaparkan dalam 350 kata, aku menggumuli foto-foto itu seolah foto itu adalah foto kekasih yang sedang kurindui. Hasilnya, sila teman-teman baca nanti di note yang aku khusukan untuk memuat tugas-tugasku itu. Serius, kaku dan apa adanya. Apa boleh buat, saya tidak bisa bermain-main dalam diksi.
Lalu di minggu kesembilan ini, tugasku memaparkan setting emosi. Ada empat setting yang harus kubedah dalam 75 kata saja, tapi dengan syarat tidak boleh menggunakan kata yang mewakili emosi dan padanannya. Sulit kubayangkan. Tapi ini sudah tidak relevan untuk pengeluhan semacam itu lagi. Dan sebuah cikal bakal novel disematkan dalam tugasku. Sinopsis novel dalam 600 lebih kata beserta premisnya dalam kalimat pendek.
Mungkin tugas memaparkan setting ini merupakan salah satu prasyarat penting untuk menulis novel. Pernah aku baca di entah media online apa, menulis adalah mengingat detail. Kini aku paham maksudnya. Novel membutuhkan setting dalam detail. Bukan hanya sepintas dan seadanya saja. Sebab sebuah kisah akan hidup dan menjelma di pikiran kita bilamana penulisnya sukses menggambarkan settingnya. Bila tidak, jangan harap novel itu akan membekas dalam ingatan pembacanya.
Seperti novel Galaksi Kinanthi, yang kujadikan benchmark dalam penulisanku nanti. Masih kuingat latar suasana gunung kidul yang kerontang, bocah perempuan menggendong adik laki-lakinya menyusuri kali bersama temannya, pelarian seorang gadis TKW di Kuwait dan petualangan dengan SUV di Great Plains. Jelas terekam dalam otakku. Padahal aku belum pernah menginjakkan kaki di ketiga tempat itu. Seperti itulah mengolah setting dan memaparkan dengan detail yang komplit menjadi sangat menentukan dalam menulis novel.
Jadi, bagaimana ini kelanjutannya. Bisakah aku melakukan itu semua? That is a big question for me to answer.
Repost from My Facebook Notes, Waikabubak, 6 November 2012
Eh ada namaku disebut-sebut ^^
BalasHapusHehe....eh, kok ketemu juga ya sama yang empunya nama...padahal sengaja nulis diem-diem...:D
Hapus