Ponsel Dinah

Pintu kamar terkuak. Jun masuk dengan handuk melilit di pinggang. Rambutnya basah. Dari ujung rambutnya yang membentuk kelompok-kelompok mengerucut menetes air ke tengkuknya. Sebidang dadanya masih mengguratkan sulur-sulur sungai kecil menggerayang hingga ke pinggang.

Lelaki muda berperawakan biasa itu mengibaskan badannya. Mandi ditengah hawa dingin begini membuatnya menggigil. Jika tidak karena akan berangkat ke luar kota, mungkin Jun akan membiarkan badannya tak tersentuh dinginnya air. Setengah melirik, Jun memandang istrinya yang sedang membereskan sprei di tempat tidur mereka. Tak biasanya Dinah, istrinya, sediam ini saat mereka berduaan saja.


Jun mengenakan baju seragamnya dengan penasaran. Ingin sekali dia menggoda Dinah agar pagi ini lebih bergairah karena senyum Dinah yang merekah. Biasanya, justru Dinah yang kerap menggodanya. Apalagi setelah dia mandi seperti ini. Dinah akan menyeruduknya dari belakang dengan pelukan. Menghadiahkan kecupan-kecupan yang menggelikan di bagian telinga dengan sengaja. Sambil membisikkan kata-kata mesra yang hanya bisa didengar mereka berdua saja.

“Din.”

Tidak ada respon. Jun beringsut mendekati Dinah yang membelakanginya. Diraihnya pinggang bak biola milik Dinah yang menerawang dari balik lingerie berwarna pink.

“Kenapa kamu diam saja, Dinah,” bisik Jun tepat di telinga Dinah. Udara hangat dari nafas Jun menerpa sekitar leher Dinah. Perempuan itu menggeliat. Tapi masih dengan aksi diamnya.

Jun membalikkan tubuh Dinah dengan lembut. Ditatapnya mata Dinah yang murung dirundung mendung. Tiba-tiba, Dinah menunduk dan setetes air dari matanya jatuh di punggung kaki suaminya.

“Jangan lama-lama di Jogja,” Dinah meminta seperti anak kecil merengek sebuah permen.

Jun tertawa.

“Aku cuma tiga hari saja, Dinah.”

“Tapi, Kak Jun pergi bersama Dessy. Aku takut…” Dinah menggulung dirinya di rengkuhan suaminya. Dia merasa  nyaman dan kuatir pada saat yang sama.

“Kamu lebih cantik dari Dessy, Sayangku,” Jun nyengir sambil memperkuat rengkuhannya. Di dadanya yang lembab dan dingin terasa ada sesuatu yang mengalir hangat. Dada jun menggelegak.

“Iya, memang. Tapi…” Dinah tak bisa meneruskan omongannya, keburu Jun menutup mulutnya dengan ciuman.

Ini bukan pertama kalinya Dinah memperlihatkan rasa cemburunya. Rasa cemburu yang selalu membuat Jun utuh menjadi seorang lelaki. Siapa yang tak senang, setiap kali Dinah cemburu, ekspresi yang tertangkap mata oleh Jun adalah betapa Dinah tidak mau kehilangan Jun. Dinah selalu mengungkapkan kecemburuannya dengan manis. Dicampur dengan rengekan, sedikit air mata lalu caranya Dinah menggulungkan dirinya ke dalam pelukan Jun, selalu membuat Jun berdebar.

Dinah tidak pernah membumbui cemburunya dengan kecurigaan dan ketidakpercayaan. Suatu kali pernah karena dibakar api cemburu, Dinah menolak untuk dibonceng oleh Jun. Dia memilih berjalan kaki sepanjang satu kilometer sampai ke rumahnya setelah memergoki suaminya membonceng Sinda bendahara organisasi masyarakat dimana Jun bertindak sebagai sekretarisnya.

Sebelumnya, Jun pamit untuk mengikuti rapat penting sore itu. Dan Dinah karena bosan seharian terkurung di rumah memutuskan untuk jalan-jalan di pusat pertokoan dengan berjalan kaki. Dia tengah hamil tujuh bulan waktu itu.

Karena merasa bersalah telah melukai hati Dinah, Jun memperturutkan keinginan Dinah. Dia membiarkan istrinya melenggang dengan perut buncitnya, sementara dia sendiri menguntit Dinah dari belakang. Diam tak protes dan menjalankan motornya perlahan tak jauh dari Dinah. Dalam hatinya berkecamuk perasaan tak enak, Jun merasa setibanya di rumah, mereka akan perang baratayudha.

Tetapi ternyata. Setelah pintu rumah tertutup dan mereka berdua sudah berada di dalam rumah, bukan amarah yang Jun terima. Dinah dengan segenap perasaannya menubruk suaminya dengan pelukan. Dia bersimbah air mata yang sedari tadi ditahannya agar tak mengucur di jalanan.

“Kak Jun jangan buat itu lagi, aku cemburu. “ katanya disela sedu sedan tangisannya.

Jun menciumi kening istrinya bertubi-tubi. Padahal tadi dia sudah mempersiapkan sebuah dalih yang jitu untuk menangkal tuduhan istrinya. Diam-diam dia jatuh cinta lagi pada Dinah, yang sedang terisak di dadanya. Sejurus kemudian, mereka telah bergelut diwarnai desahan dan deritan sofa.

Itu terjadi delapan bulan setelah pernikahan mereka. Cemburu pertama yang datang menghias rumah tangga mereka.

Tetapi hampir setahun belakangan ini, kecemburuan yang kerap diekspresikan oleh Dinah, menjadi hambar di hati Jun. Dia tidak lagi merasakan apa-apa ketika dilihatnya Dinah menampakkan raut wajah murung. Acap diabaikannya perubahan sikap yang sengaja diperlihatkan Dinah pada dirinya.

Kecemburuan Dinah menjadi hal lumrah yang tidak lagi bisa menimbulkan efek balik yang biasanya membuatnya bergairah. Jun jenuh. Dan kejenuhan itu tertangkap oleh kejelian mata Dinah sebagaimana jelinya dia menangkap momen-momen yang selalu membuatnya merasakan hati dibakar api yang meranggas.

Hanya saja Dinah tidak bisa berbuat apa-apa. Dia menghanyutkan diri pada perubahan sikap Jun. Menerimanya dengan hati ciut karena merasa dia tak lagi diindahkan oleh Jun.

Pernah suatu malam, Dinah memeluk suaminya lalu berkata dengan suara lirih: “Kak, kalau Kak Jun udah bosan sama aku, kasih tahu aku ya.”

Jun hanya mengernyit. Merasa Dinah terlalu mendramatisir suasana. Lalu tanpa merubah posisi tubuhnya, dia mendengus dan berkata: “ Hmmmh, nggak usah ngomong kayak gitu.”

Dan malam itu dingin meringkus Dinah. Jun ngorok di sisinya hingga pagi menjelang. Dinah dikepung gundah.

Sejak saat itu, mereka seperti dua batang pisang jika di atas ranjang. Tidak lagi ada gelitikan tangan Jun di pinggang yang membuat Dinah menggelinjang. Tidak terdengar lagi canda yang menggoda saat mereka duduk di teras menunggu senja. Dapur jadi sepi karena Jun sering alpa untuk sekedar menjawil pipi istrinya saat kuali tengah mendesiskan aroma tempe goreng kesukaannya.

Dinah tak tahan lagi. Pagi ini ketika dia membuka ponsel Jun yang menderingkan nada sms, dia menemukan sms Jun yang ditujukan Dessy. Sebuah pesan pendek tapi sontak membuat seluruh darah Dinah tersirap naik ke kepala.

Terima kasih, Sayang.

Itu saja. Tiga kata yang mengubah pagi yang tenang menjadi pagi yang gemuruh oleh badai yang bergelora di hati Dinah. Dengan tergesa dan tangan gemetar menahan kesal, Dinah menyusuri riwayat sms yang ada di kotak masuk ponsel Jun. Dia mencari-cari percakapan apa yang telah terjadi antara suami yang amat dicintainya itu dengan perempuan berambut keriting bernama Dessy. Nihil. Apa yang dicarinya tidak ditemukan di sana. Dinah dirasuki prasangka, pasti seluruh percakapan yang dia maksud sudah dihapus oleh suaminya.

Dinah muntab. Sisi keperempuanannya terkoyak. Dia tidak rela suaminya membagi perhatian dan kasih sayangnya pada perempuan lain. Dengan geram tertahan, dia naik ke ranjang yang membungkus diri dengan selimut.

Dia tidak mempedulikan Jun yang telah selesai mandi. Dari balik selimutnya, Dinah sebal tak terkira mendengar Jun bersiul-siul sambil mengenakan baju seragamnya.

Sejak kapan Jun suka bersiul, pikirnya sengit.

Ketika Jun kemudian pamit pergi ke kantor, Dinah setengah ketus memberitahukan ada sms yang masuk ke ponsel Jun tadi.

Jun hanya bertanya dari siapa, lalu ber-ooh. Dan tanpa menghiraukan istrinya yang kembali bergumul dengan selimut, Jun ngeloyor begitu saja meninggalkan Dinah yang semakin kelimpungan. Suara siulan Jun masih terdengar. Sampai raungan knalpot motornya menggerus siulan itu. Pikiran Dinah masih porak poranda.

Dinah memikirkan cara untuk membalas suaminya. Ketika sebuah ide melintas, Dinah menyeringai.

Sore sudah hampir surut. Jun seperti biasa pulang ke rumah dengan wajah kusut, berdebu dan berkilat-kilat karena keringat. Dia menemukan Dinah tengah duduk di teras, membaca majalah kadaluarsa yang sudah ribuan kali dibolak baliknya. Raut wajahnya tampak tenang.

Jun sedikit heran. Tapi Dinah berlagak pura-pura tak ingin mengetahuinya. Dia terus mengasyikkan dirinya menekuri majalah usang di tangannya.

Sesaat kemudian terdengar bunyi getar ponsel milik Dinah berderak-derak di meja. Ponsel itu menari-nari sebelumnya akhirnya disambar Dinah dengan rupa muka yang dibuatnya sesumringah mungkin. Lalu Dinah terlibat pembicaraan yang hangat. Sepertinya Dinah bercakap-cakap dengan seseorang yang dikenalnya dengan dekat.

Jun mencuri dengar sambil melucuti pakaiannya. Hatinya berdesir mendengar tawa Dinah yang renyah. Sudah lama dia tidak mendengar tawa Dinah seperti sore ini. Namun demi didengarnya Dinah menyudahi pembicaraannya, Jun segera mengibaskan pikirannya jauh-jauh. Wajahnya menampakkan raut datar. Dia cuma mengangguk tidak jelas, saat Dinah menawarinya makan.

Dinah berbalik, seraya bibirnya mengukir sebentuk senyum.

Berhari-hari berikutnya, Jun semakin sering menemukan istrinya melekat dengan ponselnya. Masak, nonton tivi, mencuci, menyetrika bahkan sedang pipis atau pup, ponsel Dinah tak pernah berada jauh dari genggaman tangannya.

Jun mulai keki. Dia diliputi rasa tidak nyaman. Seperti tengah ditelikung dari belakang. Ingin rasanya Jun menginterogasi Dinah. Tapi ego dan harga dirinya terlalu tinggi untuk itu. Jun memendam saja ketidak sukaannya pada gerak gerik istrinya yang mencurigakan.

Hingga Jun tak mampu lagi menahan amarahnya. Dia belum pernah merasakan sakitnya merasa dikhianati oleh istrinya. Dia tidak berpikir lagi bahwa selama ini Dinahlah yang merasa tercurangi. Panas api cemburu menyala-nyala di dadanya.

Jun baru saja mencuri baca sms yang masuk ke ponsel istrinya sewaktu Dinah sedang mandi. Hari ini dia tidak semangat pergi bekerja. Terbayang apa yang dilakukan Dinah saat dia sedang tidak ada. Mungkin Dinah sibuk bercengkrama dengan seorang laki-laki yang tadi memberinya ucapan selamat pagi dihiasi emoticon smiley.

Tidak ada kata sayang atau kalimat yang luar biasa. Tapi entah mengapa Jun merasa tersaingi oleh keramahan laki-laki asing itu. Terbersit ingatan dia sudah jarang mengajak Dinah bercengkrama, tapi sekali lagi egonya menyingkirkan rasa bersalahnya. Lantas dibacanya kembali sms itu untuk mengompori hatinya yang kini serupa arang di perapian.

“Sms apaan ini?” Jun mencerca Dinah dengan seringai sinis.

“Sms apa sih? Siniin hapenya,” Dinah merenggut ponselnya dari tangan Jun.

Dinah sekilas membaca sms yang dimaksud Jun. Dia menyembunyikan senyumnya di balik geraian rambutnya yang basah. Kemudian berlalu dan mematut-matut wajahnya sendiri di depan cermin.

“Cuma sms dari teman, kenapa sih mukamu sampai begitu?” sambil mengatakan itu Dinah merasakan debur di jantungnya mulai meninggi. Dinah sedikit takut menghadapi kemarahan suaminya. Di sisi lain adrenalinnya terpacu karena merasa telah berhasil membuat suaminya emosi.

“Tapi tidak sepatutnya seorang istri menerima sms seperti itu dari laki-laki lain. Tidak pantas.” Jun terengah-engah.

Dinah segera maklum kalau Jun benar-benar marah. Selama tiga tahun kehidupan rumah tangganya bisa dihitung dengan jari Jun menampakkan amarahnya. Dia beranjak dan mendekati suaminya yang kini sudah terbaring telentang menumpukan kedua tangan di kepalanya. Keningnya berkerut. Bibirnya cemberut.

Jun terus meluapkan amarahnya. Dinah yang merangsek rapat ke tubuhnya diam saja. Pasrah menerima omelan suaminya yang memantul-mantul di dinding kamar mereka. Dia menikmati kedekatan yang aneh ini. Dinah lebih memilih untuk menerima kemarahan suaminya asalkan hati lelaki itu sepenuhnya untuknya. Daripada dia harus dipanggang rasa cemburu dan Jun sama sekali tak mau tahu.

Rupanya lelaki itu punya cemburu juga. Ada rasa takut kehilangan seperti yang perempuan selalu rasakan. Hanya saja kadang ego menghalangi mereka untuk mengakuinya. Kita hanya harus tahu bagaimana membuat mereka mengungkapkannya. Meski secara tersirat. Itu sudah cukup.

Siang membakar pepohonan yang meranggas. Dinah keluar dari kamarnya. Rambutnya kusut masai. Tanpa suara, Dinah membongkar sebuah ponsel yang pagi tadi dia sembunyikan di lemari dapur. Dengan sekali gerak, Dinah mematahkan kartu sim yang dikoreknya dari badan ponsel itu. Lalu pecahan kartu sim itu dia hempaskan ke dalam tong sampah.

Dinah tersenyum puas.


PS: Cerpen untuk Teh Neni Nuriyah Nurfaridah. 


Repost from  my Facebook Notes, Waikabubak, 15 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar