Enigma Cinta


“Horor itu adalah sisi gelap hatiku selama ini. Lengang, sepi dan muram,” kataku padamu malam ini. Kamu hanya terdiam. Memberiku kesempatan untuk menyalahkanmu.

“ Serupa rembulan yang dari kejauhan dikagumi semua orang. Tidak seorangpun tahu, betapa merananya menjadi sekeping rembulan. Terpecelat jauh dari keramaian, kosong, gelap dan kusam berdebu. Meski setiap mata yang memandangku terpana dan takjub oleh keelokanku, semua kekaguman itu tak membuatku terbebas dari kesenyapan panjang yang meradang,” ujarku kemudian.

Kita saling berbagi nafas. Begitu lama, hingga kurasakan kamu seperti menjelma di hadapanku.


“Aku tak ingin mengingat satu titik yang menjadikanku serupa rembulan itu, Har. Satu jeda yang lengket di ingatanku seperti permen karet menempel di sepatumu ketika tak sengaja kau menginjaknya. Sekeras apapun usahamu untuk mengenyahkan  permen karet sialan itu, dia tetap saja disitu. Membuat langkah jadi tersendat, kesal, terganggu dan  merasa terbelenggu,” kata-kataku mengalir bak air bah.

Kudengar kau menghela nafas, menghimpun oksigen untuk membebaskan dadamu yang terasa sesak.

“Rin…” suaramu bergetar. Suara yang tujuh tahun tak pernah kudengar itu merasuk di telingaku, menembus ke hatiku.

Sebuah kisah yang ingin kulupakan seumur hidupku, kembali membayang di benakku.

Suasana di kampus sore itu sedikit panas. Lembab meremang dari tembok-tembok yang angkuh mengangkang di sela-sela selasar. Sisa-sisa hawa panas siang itu menjelma menjadi pengap. Beberapa pasang mahasiswa sedang duduk bercengkrama di bawah pohon flamboyan yang tumbuh berjejer di sepanjang jalan di belakang kampus. Di parkiran yang sedang tidak sarat, lima orang temanku nangkring di atas sepeda motor. Kuliah baru saja usai. Kampus kembali tenang.
Aku menunggu. Berdiri di selasar yang membelah kampusku menjadi dua. Diantara selasar itu terdapat kantor senat, sekretariat redaksi majalah mahasiswa. Dan sebuah tempat yang setiap sore selalu kukunjungi. Sebuah tempat yang kemudian menorehkan kenangan dan kepiluan di hatiku.

Tidak lama dirimu datang. Menenteng gitar, berjalan dengan langkah bergegas menuju ke tempatku berdiri. Lalu seraya melempar senyum, kamu menyapaku.

“Rin, sudah lama nunggu ya. Sorry, tadi aku ketiduran. Dosennya nggak nanyain aku kan?” lalu kamu tertawa, membuat pundakmu berguncang pelan.

“Aku sampai ubanan nunggu kamu, Har,” aku merajuk, pura-pura ngambek.

Kamu mengacak-acak poniku lalu menggodaku: “Cantiknya hilang loh, kalau ngambek.”

Aku sedikit mengelak, terdengar di sudut parkiran teman-temanku usil menggoda kita. Lalu ku ajak kamu segera bergabung dengan anggota grup band lain yang sudah menunggu di sanggar. Sebenarnya aku ingin cepat menghindar dari celotehan teman-temanku yang membuatku gugup.

Kamu selalu membuatku gugup. Bahkan dari semenjak awal aku mengenalmu. Meskipun terlihat biasa-biasa, semua sikapmu berhasil memicu debar di dadaku. Semua perhatian, bahasa tubuh dan kata-katamu tidak pernah terasa datar mendarat di hatiku. Selalu terasa indah, seperti alunan melodi  gitarmu saat mengiringi laguku.

Kita menjadi begitu dekat setelah itu. Setelah kamu selalu mengiringi lagu-laguku. Ada geletar yang sedemikian halus, merayap melalui udara yang kita sesap, lalu meresap ke dalam setiap pori-pori tubuhku. Geletar yang timbul dari tatapan matamu yang teduh, saat jemarimu lincah memetik senar. Aku selalu menyanyi dengan dada yang riuh dibuatnya.

Kukira aku akan selamanya di dekatmu. Ternyata tidak.

Kita duduk berhadapan di satu sore yang lain. Aku melagukan sebuah tembang seperti sedang menumpahkan angan-angan. Dan kamu  memainkan gitar. Masih kuingat senandung lagu itu sampai kini. Aku baru saja menamatkan lagu itu, ketika seorang gadis manis melambaikan tangannya dan menghujanimu dengan senyum ceria. Kamu terpana dan kemudian bertanya, siapa dia.

Ada segores luka tipis menganga. Tapi aku dengan senyum yang kupaksa, mengenalkan gadis itu padamu.  Bagaimana aku tidak bisa mengelak. Gadis itu adalah sahabatku. Sahabat yang kepadanyalah aku ceritakan semua pesonamu. Sama sekali tak kuduga, jika sore itu adalah sebuah titik yang membuat telaga bening di hatiku membeku untuk selamanya.

Lalu luka yang tadinya hanya segores tipis belaka, kian menganga seiring kedekatanmu dengan dia. Saat kamu berjalan di sampingnya. Saat tatapan teduhmu terarah padanya. Saat senyum jenakamu menggodanya. Bahkan saat keluhanmu menjadi miliknya. Aku terluka semakin dalam.

Tapi aku harus tetap tersenyum di hadapanmu. Dan berkata, aku baik-baik saja. Memandang dengan perasaan tersayat, kamu menemani dia pulang. Membiarkan aku mematung sendiri seraya menutup mata, menahan air yang akan runtuh dari sana.

Sejak saat itu hatiku meradang. Meski kepada dunia aku katakan aku turut bahagia. Duka telah menelusup jauh hingga ujung syarafku.

Sampai suatu hari, entah datang dari mana, sebuah keberanian muncul di kepalaku. Begitu saja. Kulangkahkan kakiku menuju rumahmu. Disana kudapati kamarmu kosong, gitarmu tergeletak di tepi tempat tidur. Aku ragu, tapi urung menanggalkan niatku. Kuletakkan sepucuk surat yang kutulis dengan sepenuh jiwa di atas gitar itu. Lalu berbalik pulang dengan perasaan tak karuan.

“Apa ini, Rin?” kamu bertanya padaku keesokan harinya dengan wajah kusut. Matamu memerah saga. Ada bekas air mata mengambang di kelopaknya. Tanganmu memegang kertas yang tak kalah kusut. Suratku

“Maafkan aku. Aku cuma ingin kamu tahu, Har. Setelah itu kamu membenciku pun aku rela,” kataku bergetar. Ini lebih buruk dari melihatmu menggandeng tangan dia. Aku seharusnya tahu jika menyatakan cinta pada seorang yang hatinya bukan untukku rasanya akan sesakit ini.

Aku berpaling dan melangkah menjauhi kamu. Sejauh-jauhnya. Selama-lamanya. Aku membawa lukaku pergi.

Itulah satu-satunya pengalaman terdekatku bersentuhan dengan cinta. Jika semua yang terjadi itu bisa dikatakan cinta. Kamu menjadi satu-satunya lelaki dalam hidupku yang jauh menjelajah ke ruang-ruang hatiku. Satu-satunya lelaki yang pernah aku tangisi saat kurindu.

Dan kini kita tiba-tiba dipertemukan. Suaramu yang dulu menentramkanku, sekaligus membuatku terluka, menyeruak di keheningan malam.Tangisku meleleh. Kamu membisikkan namaku berulang kali.

“Aku membunuh cinta yang saat itu tumbuh di hatiku, Har. Tahukah kamu betapa sakitnya itu?” kataku mendakwamu.

“Aku yang salah, Rin. Tidak bisa membedakan mana cinta yang tulus dan mana cinta sesaat,” jawabmu.

“Aku mencari-cari cinta yang seperti dulu kurasakan padamu, Har. Semua hanya untuk membunuh cintaku padamu. Untuk melupakanmu. Aku ingin jatuh cinta, sama seperti ketika aku jatuh cinta padamu. Tapi sia-sia. Tak ada lagi cinta. Tidak ada cinta di hatiku kecuali untukmu,” kucecar dirimu bertubi-tubi hingga habis nafasku.

Aku tersedu. Di ujung sana kamu terus membisikkan namaku. Kebekuan yang bertahun-tahun menyelimuti hatiku, setetes demi setetes mencair. Aku merasakan kehangatan menelusup di dalamnya. Wajahku basah kuyup oleh air mata. Aku meluruhkan tujuh tahun penantian akan cinta.

Aku ingin jatuh cinta, Har. Sekali lagi. Untuk terakhir kalinya, padamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar