Kisah Ranti dan Ranto



“Tunggu…..”

Ranti tercekat, gemuruh di dadanya spontan senyap. Dia menunggu suara itu memaksanya untuk berhenti.

“Kita harus bicara. Aku, ingin kita berpisah dengan cara yang lebih indah dari pertemuan kita. Aku mohon, Ranti. Berhentilah…”

Dengan suara parau, Ranto mencoba menahan langkah Ranti. Meski hatinya ragu Ranti mau. Hingga keraguannya menyebabkan kata-katanya berdesau serupa angin kemarau.

“Jadi benar, kau akan meninggalkan aku,” Ranti terisak, lehernya sesak. Dia masih membelakangi Ranto yang terpaku.

“Tidak ada keindahan dalam setiap perpisahan. Kau menginginkan hal yang nonsense. Perpisahan selalu berkarib dengan luka dan kesedihan. Meski begitu, aku tak kan mampu mencegah perpisahan. Sesakit apapun rasanya, kau harus tau, aku akan rela menerimanya.”

“Ranti, andai aku bisa mengungkapkan semuanya kepadamu.”

“Ungkapkanlah, Sayang. Akupun berhak tahu apa penyebab porak porandanya hubungan kita. Untuk apa aku menemuimu disini, Ranto.”

Ada yang berdesir di hati Ranto saat mendengar kata sayang yang terucap dari bibir Ranti. Kedua tangannya mengambang sejenak di udara sebelum akhirnya menyentuh bahu Ranti. Membalikkannya hingga keduanya berhadapan.

“Sulit bagiku untuk mengatakan hal yang akan membuatmu sedih, Ranti. Itu membuatku tersiksa. Aku tak ingin melihatmu menjatuhkan air mata karena aku.”

“Tapi membiarkanku sama menyakitkannya dengan mengatakan apapun itu yang membuat kita jadi begini. Aku lebih memilih, kau mengatakannya dengan terang benderang sejak awal.”

“Maafkan aku Ranti. Aku ingin memberimu waktu untuk bersiap menghadapi ini semua. Aku sendiri perlu waktu untuk bisa menerima apa yang terjadi.”
“Apa yang sebenarnya terjadi, Ranto?”

Hening. Senja mulai menenggelamkan diri dalam kelam malam. Kerlip lampu taman memercik dari setiap sudut yang mulai gelap.

“Sudah, malam. Aku antar kau pulang. Besok jam 6 pagi, aku akan menunggumu di kantin. Semua akan kuceritakan padamu.”

Ranti mendesah. Dia tidak ingin menghabiskan meski hanya satu malam lagi untuk memikirkan misteri ini. Lelah mendera jiwanya. Tapi kepalanya telah mengangguk. Lalu mereka berjalan bersisian. Pelan. Diam-diam.

Keesokan harinya.

Ranti datang bersama embun yang masih tersisa di sela-sela dedaunan. Wajahnya pucat, sepucat rembulan yang menggantung  di langit. Suasana masih senyap. Belum ada kesibukan di kantin sederhana itu, kecuali seorang yang sedang membenahi letak kursi dan meja. Di salah satu sudut, sosok lelaki yang dicintainya duduk mendekap dada.

“Hai, aku tak mengira kau bisa sepagi ini datang,” sapanya pada lelaki yang telah menunggunya sejak pagi belum menampakkan diri itu.

“Aku yang berjanji untuk bertemu denganmu jam 6 pagi, kan.”

“Rasanya baru kali ini, kau bisa datang,” Ranti melirik jam tangannya, “bahkan beberapa menit sebelum waktu yang kita sepakati. “

Ranto menarik sudut bibirnya, membentuk segaris senyum tipis. Pandangannya tak pernah lepas dari wajah Ranti. Cantik, desisnya dalam hati. Sebentar lagi wajah itu sudah tidak berhak dia nikmati lagi.

“Paradoks,”  Ranti menambahkan kemudian. Dia menghenyakkan badannya di sebuah kursi.

Senyum di bibir Ranto lamat menghilang. Dengan gerak badan seolah pohon tumbang, dia mengikuti Ranti, duduk di kursi tepat di depan Ranti. Entah bagaimana dia tahu pertemuan kali ini tidak akan mudah untuk menyelesaikannya.

“Ya, aku tahu selama ini aku yang selalu membuatmu menunggu. Sekalinya aku bisa datang lebih awal dari dirimu, ternyata itu untuk pertama dan terakhir kalinya.”

“Ketika aku bangun tadi, aku mengingat semua puisimu, Ranto. Setelah hari ini, tak akan ada lagi puisi tercipta untukku.”

Kecupan pagi dari sang sepi, menyadarkanku bahwa tak ada yang lebih kekal dari sunyi, merengkuhku lebih tenggelam ke kepiluan tak bertepi.”

“Aku belum pernah mendengarnya.”

“Terlintas begitu saja, saat memandangmu tadi.”

“Itu bukan puisi cinta, ada duka yang dalam di sana.”

“Duka itu yang sekarang aku rasakan, Ranti. Aku harus berhenti mencintaimu.”

“Bukankah kau yang menginginkan perpisahan ini, Ranto. Ingat semua tanyaku yang tak kau jawab. Kau membuatku yakin bahwa kau sudah tidak menginginkan aku.”

“Aku tak ingin menambah duka yang akan muncul dari kenyataan yang aku hadapi, dengan memberi lagi duka milikku sendiri padamu. Tapi ternyata aku tak mampu mencegahnya.”

Ranto diam sejenak, kemudian. “ Aku menghindar darimu, karena aku tidak ingin melibatkanmu dalam kesedihanku. Aku tak menjawab semua tanyamu, karena aku tahu semua jawab hanya akan memurukkanmu dalam kekecewaan, bukan memuaskan rasa ingin tahumu.”

“Kau ingin melindungiku dari apa, Ranto? Hal buruk apa yang terjadi padamu hingga kau sedemikian rupa menyembunyikannya dariku?”

“Ranti, belum pernah sebelumnya aku mencintai seorang perempuan begitu dalam seperti aku mencintai dirimu. Aku bukan lelaki yang sempurna, tapi dengan kehadiranmu hidupku terasa lebih sempurna. Aku mencintaimu bahkan sebelum aku mengetahui namamu. Sejak kau tersenyum pada pagi di saat kita pertama berkenalan,  diam-diam aku membuat janji untuk diriku sendiri, kau akan menjadi perempuan terakhir untukku.”

“Dan janji itu harus kau ingkari…”

Ranto membuang nafasnya ke udara, seperti ingin membuang semua beban di otaknya.

“Ketika ayahku meninggal, aku sempat berpikir duniaku akan berakhir. Hanya aku yang menjadi tumpuan keluargaku. Kakakku meninggalkan beban dua orang yang harus Ibuku tanggung. Sementara Ibu, melihat fisiknya pun aku tak tega untuk membiarkan beliau bekerja menghidupi kami dan membiayai kuliahku. Aku ingin berhenti. Pulang ke kampung dan bekerja menggantikan ayahku mengurus kebun cengkeh. Tapi Ibu bersikeras. Beliau menginginkan aku menyelesaikan kuliah dan bekerja sesuai ijazah yang aku raih.”

“Lalu…”

“Aku tak melihat lagi setitikpun air mata jatuh di pipinya, sejak ayah meninggal. Ibu begitu keras berusaha mendapatkan keinginannya. Sosoknya berubah dari sosok yang lemah lembut, menjadi sosok yang keras, liat dan teguh pada niatnya. Aku tak bisa menolaknya. Aku berusaha mewujudkan keinginannya untuk selesai kuliah dan kemudian bekerja.”

Ranti menahan nafasnya. Dia merasa ada sesuatu  yang tajam ditusukkan pelan-pelan di hatinya. Dia bisa menduga arah pembicaraan Ranto.

“Sekarang, Ibumu menginginkan sesuatu darimu. Yang menyebabkan kau harus meninggalkan aku kan?”

“Ranti, jika saja aku bisa mengatakan tidak. Aku akan mengatakannya saat itu juga. Tidak ada yang lebih kuinginkan di dunia ini kecuali dirimu.”

“Aku tak lagi jadi yang terpenting bagimu. Jelas sudah.”

“Aku tak bisa menolak keinginan Ibuku. Perempuan yang pernah mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkanku.”

“Dan aku yang harus dikorbankan. Aku hanya seorang perempuan yang tak penting.”

“Jangan katakan itu Ranti. Setiap puisi yang kugubah untukmu itu adalah tanda bahwa kau seorang yang berarti dalam hidupku.”

“Tapi tidak cukup penting, sehingga kau berpikir tidak masalah menjadikanku sebagai seorang yang harus menanggung semua kesedihan ini.”

“Bagaimana aku harus menjelaskan semua ini padamu, Ranti. Tentang rasa sakitku karena harus meninggalkanmu. Tentang dukaku karena aku harus melakukan sesuatu yang aku tak pernah bayangkan akan terjadi padaku. Tentang betapa aku ingin kamu terhindar dari turut merasakan kepedihanku.”

Senyap. Tiba-tiba suara deru motor menggeriap di udara. Panjang, lama kemudian menghilang. Satu demi satu penghuni kampus menampakkan dirinya.
Ranto meraih sebatang rokok mild dari sakunya. Beberapa detik berikutnya, asap putih meliuk-liuk. Aroma tembakau menyebar.

“Pertemukan aku dengan Ibumu, Ranto. Beliau belum mengenalku.”

“Tak mudah menaklukkan hati Ibu, terutama saat ini, Ranti.”

“Seperti apakah perempuan yang telah Ibumu pilihkan, Ranto?”

“Dia hanya perempuan desa, biasa. Tidak sepertimu. Kau, jauh lebih segala-galanya dari dia.”

“Jadi apa yang membuat Ibumu bersikeras kau harus memilih dia?”

“Dia sudah mendapatkan tempat tersendiri dalam hati Ibu. Bahkan aku tidak bisa membuat Ibu mengosongkan sedikit saja tempat di hatinya untukmu. Dan itu terjadi setelah kematian Ayah.”

“Jadi tidak ada peluang sedikitpun untuk memenangkan hati Ibu?”

“Ini bukan sekedar memenangkan hati Ibu, tidak semata-mata soal selera Ibu.”

“Adakah yang belum aku fahami disini?”

Mata Ranti menyelidik  jauh hingga ke dalam hati Ranto. Menembus telaga bening di mata Ranto. Mata yang dulu sering menjadi tempat Ranti menelusupkan kerinduannya. Mata yang teduh seolah menyimpan mendung abadi di dalamnya.

“Ranti, aku ingin kau tahu. Di luar semua  ini, aku benar-benar mencintaimu. Tidak sedikitpun aku mengharap ini terjadi. Yang kuharapkan adalah aku lulus dari sini, meminangmu lalu kita menikah dan seperti ceritamu, kita akan mempunyai  banyak anak. Aku ingin menjadi tua bersamamu, Ranti. Aku ingin menutup mataku yang penghabisan di pangkuanmu.”

Kata-kata Ranto terdengar sayup, jauh dan pilu. Ranti menekuri lantai. Rambutnya tergerai menutupi wajahnya. Setetes air mata jatuh langsung ke lantai.

“Semua yang kau katakan itu sekarang sudah tak ada gunanya, Ranto. Hanya membuat aku terluka lebih dalam. Aku harus mengkandaskan mimpiku justru ketika aku tahu tak jauh lagi mimpiku akan berlabuh di dermaga kenyataan. Aku harus tetap meninggalkanmu, kan. Meskipun aku mempercayai kata-katamu tadi.”

“Maafkan aku Ranti. Ketidakberdayaanku untuk menolak keinginan Ibu. Ketidakmampuan untuk mengecewakan Ibu, telah membuatmu terluka. Aku ternyata hanya lelaki lemah yang tidak bisa memperjuangkan cinta kita.”

Setetes buliran bening menganak sungai di pipi Ranti. Kali ini wajahnya menengadah, menatap ke atas. Bibirnya bergetar.

“Aku tidak mau cinta kita berdiri di atas murka orang tua. Jika memang Ibumu tidak menginginkan aku, aku harus mundur. Kecuali kau masih berniat mempertahankan hubungan kita,” dengan suara parau Ranti mengatakan kalimat yang terakhir. Dia masih mengharap Ranto mau berbuat sesuatu untuk mereka.

Ranto tercenung. Ada sedikit keraguan menerpa hati. Di depan Ranti, yang menitikkan air mata dan membuatnya trenyuh sekaligus perih, dia tahu hatinya yang sudah mulai bulat untuk menerima perempuan pilihan ibunya akan mudah berubah arah. Seperti sekarang.

“Apa maksudmu, Ranti?”

“Kau cinta aku, kan Ranto?”

“Lebih dari aku mencintai diriku sendiri.”

“Kalau begitu, temui Ibumu. Katakan bahwa ada aku, kekasihmu, yang juga siap berbagi hidup bersama-sama denganmu untuk berbakti pada Ibu. Katakan bahwa aku pun bisa dengan sepenuh hati menyayangi beliau.”

“Aku tidak tahu, Ranti. Apakah itu akan berhasil membuat Ibuku menuruti kemauan kita.”

“Kita belum mencobanya.”

“Ibu bukan orang yang mudah kita taklukkan.”

“Tapi Ibumu seorang perempuan juga, Ranto. Sisi keibuannya pasti akan tersentuh, jika aku turut menghadap beliau.”

“Kau mau menemui Ibuku, Ranti?” Ranto menatap mata Ranti dalam-dalam. Ia ingin meyakinkan sesuatu.

“Mengapa tidak. Dengarkan aku Ranto. Kita telah bersama selama dua tahun lebih. Aku sudah sampai pada keyakinan bahwa aku ingin menghabiskan hidup bersamamu. Kau pun begitu bukan? Betapa banyaknya waktu terbuang sia-sia hanya karena kita takut mencoba.”

“Entahlah, Ranti. Kau belum mengenal Ibuku. Beliau perempuan yang keras. Kata-katanya sulit kita bantah. Kemauannya tidak boleh kita tolak.”

“Hmmmhh…..lalu untuk apa semua pembicaraan kita. Jika begini keadaannya, tinggalkan saja aku semaumu. Mungkin itu jauh lebih mudah untukku,” nada bicara Ranti menanjak tajam. Dia kesal.

“Ranti…”

Keduanya terdiam. Sunyi meringkus  suasana. Pagi masih menyisakan dinginnya.

“Aku pesankan cappuccino ya,” Ranto mencoba mencairkan kebekuan yang lindap diantara mereka.

Ranti mendesah lalu mengangguk. Hatinya masih belum bisa menerima kebimbangan Ranto dalam memperjuangkan cinta.

Secangkir cappuccino mengepulkan aroma hangat telah tersaji di meja. Ranti menyeruputnya dengan penuh perasaan. Seolah dia ingin melesapkan sebagian resahnya dalam kehangatan cairan kecoklatan itu.

Sementara Ranto menghirup kopi hitamnya pelan.

“Aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja, Ranti. Tidak denganmu. Kau bukan sekedar kekasih penghibur hatiku, kau adalah seseorang yang ingin kubawa dalam sisa hidupku. Aku tidak mau masalahku ini meninggalkan luka yang dalam untukmu. Untuk mengabarkan ini padamu saja, membutuhkan pergulatan yang panjang, apalagi untuk membawamu langsung berhadapan dengan Ibu. Apakah itu sepadan dengan hasil yang akan kita raih. Bukankah kamu akan lebih menderita lagi bila sampai di hadapan Ibuku, kau sama sekali tidak mendapat sambutan yang layak dari beliau. Bagaimana bila beliau mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatimu. Aku tidak bisa membayangkannya.”

Ranti menggelengkan kepalanya demi menyanggah kalimat Ranto.

“Aku sepenuhnya sadar akan resiko itu. Tapi bukan berarti harus menyerah sebelum mencobanya.”

“Kau terlalu berharga bagiku untuk aku turut libatkan dalam masalahku ini Ranti.”

“Masalahmu. Masalahmu lagi. Ini menyangkut hidupku. Ini masalahku juga, Ranto. Kita bukan sepasang asing yang baru kemarin sore bertemu lantas jatuh cinta,” sergah Ranti kesal. Dia mulai putus asa dengan tekadnya untuk mempertahankan cintanya.

Its not that simple,” Ranto berbisik pada dirinya sendiri.

“Baiklah. Jadi aku harus melepaskan dirimu dengan penuh kerelaan,” ada nada satir pada ucapan Ranti.

Ranto terdiam gamang. Terbayang kerut kemerut di wajah ibunya. Lalu sosok kurus kecil dan seorang kanak-kanak yang montok . Bergantian ketiga bayangan itu menginvasi dirinya. Ia menguatkan hatinya.

“Mungkin memang jejak perjalanan kita sudah harus kita akhiri disini, Ranti. Betapapun inginnya aku meneruskan tangan kita bertautan hingga ke tujuan.”

“Kau sungguh mengecewakanku, Ranto.”

“Bencilah aku, sebut aku penjahat paling brengsek, lupakan aku, Ranti. Dengan begitu aku terbebas dari rasa bersalahku padamu yang menyiksa ini.”

“Aku mencintaimu Ranto. Memintaku untuk membencimu bukan hal yang mudah. Kau harus melakukan sesuatu yang benar-benar buruk untuk itu. Sedangkan kau, sekarang, hanya seorang anak yang tidak bisa menolak keinginan ibunya. Bagaimana aku bisa membencimu. Aku bermimpi menjadi seorang ibu suatu saat kelak. Tidak mungkin aku membencimu karena kau ingin membahagiakan ibumu. Aku hanya kecewa, saat sadar ternyata tidak ada sedikitpun keinginanmu untuk berjuang meminta restu Ibumu bagi kita. Untuk aku.”

“Aku sudah mencobanya, Ranti. Dan aku tahu persis ibu tak tergoyahkan.”

“Itu karena kau melakukanna sendirian. Mungkin saja bila kita melakukannya bersama-sama, Ibu akan melihat keteguhan cinta kita.”

“Tidak semudah yang kau bayangkan, Ranti.”

“Katakan ya, Ranto. Just, say yes. Selebihnya aku akan menanggung semuanya. Aku bersedia.”

“Bukankah sudah aku katakan, aku tidak mau kau menderita lebih dalam lagi.”

“Kau menyerah….” Ranti menghela nafas panjang.

“Ranti, percayalah. Aku sudah memikirkan semuanya. Aku mengambil keputusan yang akan sesedikit mungkin menimbulkan penderitaan bagimu. Biarlah aku saja yang menanggung duka menikahi seseorang yang tak kucintai. Demi sebuah bakti kecil yang mungkin tak bisa tuntas untuk membalas jasa ibuku. Orang tuaku. Ini kesempatan terakhirku untuk berbuat satu hal untuk membahagiakan Ibuku. Beliau sudah tua. Mungkin hidupnya tinggal bilangan jari saja.”

Ranti tergugu. Habislah sudah seluruh kekuatan dirinya. Dia luruh kembali dalam dekapan duka. Tak ada yang bisa Ranti katakan lagi untuk menjaga agar hubungannya tidak karam.

“Kau seorang perempuan yang menakjubkan Ranti. Bukan hanya bagiku. Setiap lelaki yang melihatmu, mengenalmu, sepakat denganku bahwa kau begitu menarik hati. Aku bangga pernah menjadi seseorang yang bisa masuk ke dalam hatimu, berdiam di dalamnya begitu lama. Aku bahagia karenanya.”

Ranti terisak. Sepasang jemari bertaut. Ranto mengelus punggung tangan Ranti yang halus.

“Jika kau tak ingin mengenangku, sebagai lelaki yang pernah kau cintai. Buang seluruh kenangan itu jauh-jauh, Ranti. Jangan biarkan aku berubah menjadi racun yang akan mengisap sari pati kehidupanmu pelan-pelan. Carilah penggantimu. Seorang laki-laki yang lebih bisa membahagiakan dirimu. Memperlakukanmu seperti ratu. Aku yakin kau akan mendapatkan kebahagiaan lebih dari yang pernah bisa aku berikan.”

Bukan itu yang aku inginkan, bisik Ranti dalam hati. Bukan menikah dengan lelaki lain yang aku impikan. Kau tak pernah tergantikan, Sayang.

“Aku tak ingin melupakanmu, Ranto. Kau lelaki yang pertama kali merebut hatiku. Tidak ada seorangpun lelaki yang bisa menerbitkan bahagia di hatiku seindah kau melakukannya selama ini. Bagaima aku bisa melupakan seorang laki-laki yang menyebutku sebagai perempuan berselendang pelangi,” tangisan Ranti pecah. Dia terisak menahan getaran yang mengguncang dadanya. Dia menelungkupkan kepala di tepian meja.

Ranto tercekat. Dia menggenggam tangan Ranti erat-erat. Berharap genggamannya bisa meredakan tangisan Ranti. Dibiarkannya Ranti menghabiskan aliran emosi yang tengah membanjir. Betapa ingin dia merengkuh tubuh yang sedang berguncang-guncang di hadapannya. Agar dia bisa meredam kesedihan Ranti dan menyesapnya habis ke dalam tubuhnya sendiri.

Sepoi angin menelisik kulit. Kantin masih sepi.

“Ranti, kau akan selalu menjadi perempuanku yang berselendang pelangi. Perempuan yang akan kunikahi itu hanya akan menjadi istriku. Dia tidak akan pernah menggantikan dirimu dalam hatiku.”

Tapi aku ingin menjadi istrimu, Ranto. Aku ingin menjadi ibu dari anak-anakmu, jerit Ranti  memantul-mantul di dinding hati. Dia dicekam ketidakberdayaan.

“Seperti apa rupanya? Aku ingin mengenalnya,” entah darimana suara itu datang, tiba-tiba Ranti telah mengatakan hal yang mengejutkan Ranto.

“Ranti…”

“Katakan, Ranto, agar aku tidak diliputi penasaran. Aku tidak mau menyerahkan begitu saja lelaki yang kucintai pada perempuan yang aku tidak ketahui seperti apa wujudnya.”

“Aku tidak memiliki fotonya. Sedangkan aku sendiri tidak begitu mengingat rupanya. Hmmm, aku tidak bisa mengingat rupanya.”

“Kalau begitu pertemukan aku dengannya.”

Ranto menatap wajah Ranti. Setelah segala usaha yang Ranti lakukan untuk bisa rela menerima keputusan Ranto. Tak sanggup rasanya Ranto mengecewakan Ranti sekali lagi. Perempuan itu sekilas mirip dengan Ibunya. Dia selalu tak ingin membuatnya kecewa. Ranto menghembuskan oksigen yang kini serasa meracuni rongga dadanya.

“Kau tahu itu tidak mungkin,” beberapa detik menguap begitu saja di udara, sebelum akhirnya, “Aku ceritakan yang sebenarnya terjadi.”

Tatapan Ranto menembus kedalaman telaga di mata Ranti. Lalu dia kembali membuka suara.

“Hidupku tergadaikan oleh sebuah wasiat, Ranti. Wasiat yang Ayahku sampaikan pada Ibu menjelang akhir hayatnya. Ibu menjaga wasiat itu dengan rapi selama bertahun-tahun tanpa aku tahu. Empat bulan sebelumnya kakakku satu-satunya hilang tanpa jejak. Samudera menelan jasadnya. Dia lenyap bersama kapalnya ketika berlayar menuju Makasar. Kami amat kehilangan. Ayah dilanda duka berkepanjangan, sehingga membuatnya menderita lahir batin. Penyakitnya semakin parah, memikirkan anak sulungnya yang tidak diketahui dimana jasadnya,” Ranto menerawang jauh. Matanya berkaca-kaca.

“Sampai kemudian beliau meninggal. Dan meninggalkan wasiat itu. Beruntung Ibuku adalah seorang perempuan yang tegar. Meski aku sudah berniat untuk berhenti kuliah, namun beliau melarangku dan bertekad membiayaiku hingga lulus. Dan wasiat Ayah itu, Ibu simpan seorang diri menunggu aku siap untuk menjalani tugas berat itu.”

Ranto menelan ludahnya yang terasa pahit. Tangannya meremas jemari Ranti yang dingin.

“Ketika itulah kemudian aku bertemu denganmu. Jika saja aku tahu sebelumnya bahwa aku harus menikahi perempuan itu, mungkin aku akan berusaha untuk tidak jatuh cinta padamu.”

“Betapa bahagianya dia bisa memilikimu, sementara aku harus rela berpisah denganmu.”

“Tidak, dia sama resahnya denganku memikirkan ini. Dia tahu aku sudah memiliki kekasih. Sebagai perempuan desa dengan segala kekurangan dia tidak ingin keberadaannya tidak mendapat tempat di hatiku. Karena itu dia telah memberi kebebasan untukku memilih.”

“Dan kamu telah memilih perempuan itu.” Ranti berkata dengan kesedihan yang menancap tajam.

“Aku memilih untuk mengorbankan hidupku sendiri untuk memenuhi wasiat ayah. Untuk membahagiakan ibu. Dan menjadi suami pengganti kakak kandungku yang hilang ditelan samudera sewaktu berlayar. Dia butuh suami, anaknya butuh ayah.”

Ranti terkesiap. Betapa absurdnya hidup. Dia menghabiskan waktunya untuk mencintai Ranto, tapi kekasihnya itu tidak bisa dia miliki seutuhnya. Ranto telah menciptakan berbait-bait puisi cinta untuk dirinya, nyatanya dia terpaksa harus mengorbankan dirinya demi seorang perempuan yang pernah menjadi istri kakak kandungnya. Sementara perempuan itu.…

Ranti dilanda rasa yang berkecamuk. Duka seolah berkuasa dalam dirinya. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Dan kini, dia sudah tak ingin menahan Ranto lagi.

“Baiklah, tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan,” katanya pelan. Terasa ada getir yang mengiris-iris hatinya.

“Maafkan aku, Ranti.”

“Semoga kau bahagia dengan perempuan pilihanmu itu,” Ranti beranjak dari tempat duduknya. Dia sebisa mungkin mencoba menguasai dirinya yang limbung. Kemarin dia menginginkan perpisahan ini. Tapi kini, sadar bahwa Ranto akan menikahi perempuan lain dia seperti mau tumbang saja rasanya. Lelaki yang amat dicintainya ini akan segera jadi milik orang lain. Tidak akan ada lagi puisi cinta yang bisa meredam rindunya. Tidak ada lagi kata-kata mesra yang menyiratkan cinta ditujukan untuk dirinya seorang.

Dengan hati yang remuk-redam Ranti meninggalkan Ranto yang terpaku. Cinta dan duka terkadang bersenyawa. Siapapun tidak bisa menangkis duka yang berkelindan dalam cinta. Meski itu cinta sejati sekalipun.


PS: Ini adalah cerpen hasil remidi. Ada sedikit perbedaan dengan versi aslinya. Pada versi asli saya memasukkan karakter lain, meskipun sifatnya hanya pelengkap saja. Namun karena tidak diizinkan, maka karakter tambahan itu saya hilangkan, dengan sedikit merombak alur cerita tentunya. Tapi karena tema cerpen ini sudah ditentukan maka sebenarnya tidak ada perubahan berarti dalam ceritanya.

Repost from My Facebook Notes, Waikabubak, 25 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar