Rahasia Kalimas



Tetes-tetes air hujan masih jatuh satu persatu. Peci lusuh yang menempel di kepala beruban lelaki tua  berwajah ramah itu basah. Untung masih sedikit tebal, meskipun sudah lusuh dan beludrunya sudah lama luruh seiring waktu. Setidaknya kepala yang kelabu itu masih bisa terlindung dari percikan air hujan yang dingin. Bau sangit yang datang dari got di kiri kanan jalan menguar di udara. Gericik roda geledek  yang dia dorong bersimponi dengan bunyi hujan yang menimpa seng rumah-rumah di perkampungan ini.

Lelaki itu mengangkat pecinya. Menengadah seperti hendak memandang Tuhan, atau mungkin berdoa. lalu menggaruk-garuk kepalanya dan kembali menyurukkan peci lusuh itu di kepalanya. Ketika dia lewat di depan gardu tempatku nongkrong, dia menganggukkan kepala, namun pandangan matanya jatuh di kubangan air yang berjarak hanya tiga inchi dari jempol kakinya. Lalu menghela geledek berisi jerigen-jerigen air yang sudah kosong semua, bergerak menjauh. Lamat dan gontai, menuju rumahnya.


Tidak ada yang menghiraukan dia. Jarwo sibuk mengerutkan jidatnya memikirkan jalan keluar dari kemelut yang ada di serangkum kartu remi di genggamannya. Telinganya sarat dengan jepitan jemuran berwarna warni, yang dia ambil diam-diam dari tali jemuran istrinya. Mungkin ini yang dinamakan senjata makan tua. Kasmin dan Kiwil mengeluarkan bunyi tawa yang dibuat-buat untuk memprovokasi Jarwo. Sementara tiga orang tetangga kami yang ikut menonton permainan seru kami juga asyik mengusili Jarwo yang terancam bertambah jepitan di telinganya. Hanya aku yang sempat melempar seulas senyum pada lelaki tua yang kerap aku perhatikan belakangan ini.

Pak Rebo, begitu semua orang di kampung kami memanggilnya. Tidak ada yang tahu apakah nama itu nama aslinya atau bukan. Tinggal di ujung gang berjarak seratus meter dari rumahku. Rumahnya terlampau sederhana untuk disebut rumah. Cuma ruangan kotak tiga kali tiga meter yang dibangun dari tempelan-tempelan bilik bambu. Sengnya sudah bolong-bolong dimakan karat. Itupun dulu dia peroleh dari seng bekas yang dibuang Pak RT di tanah kosong persis di samping rumahnya. Di rumah itu dia hidup sendiri. Istrinya sudah lama meninggal. Konon karena tertabrak kereta sepulang bekerja memunguti sisa sayur yang afkir dan dibuang pemiliknya di Pasar Wonokromo. Aku tak begitu mengingatnya karena sewaktu kejadian itu aku masih bocah ingusan.

Satu-satunya anak laki-laki Pak Rebo hanya sekali dua  menjenguknya. Jaelani memilih pindah dan menyewa kamar kost di belakang terminal Bungurasih. Orang sekampung kerap menggunjingkannya.  Mengejeknya dengan kata-kata kotor. Bahkan Gondo, preman kampung kami yang sudah belasan kali diciduk polisi karena mencopet, kerap melecehkannya. Bukan cuma kata-kata saja, Jaelani pernah berjalan terseok-seok dengan mata sembab dan mulut menyumpah-serapah.

Sejak itu Jaelani pergi meninggalkan bapaknya seorang diri.

Sebenarnya Jaelani adalah teman sebayaku. Hanya saja dia tidak menamatkan sekolah dasarnya, karena kesulitan ekonomi. Tapi sebenarnya Jaelani mogok sekolah saat menginjak kelas empat karena kesal dan malu menjadi bahan olok-olokan teman-teman. Pak Rebo tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah anak semata wayangnya untuk keluar dari sekolah. Mungkin uang spp sekolah anaknya teramat membebani pikirannya. Jadi ia membiarkan anaknya terbebas dari siksaan batin dijadikan bahan tertawaan. Dengan begitu Pak Rebo pun terhindar dari tagihan spp tiap bulan.

Kemudian Jaelani mulai bergaul dengan kelompok anak-anak pengamen jalanan yang biasa mangkal di Terminal Joyoboyo. Kebanyakan dari mereka cuma berbekal kecrekan. Terbuat dari lempengan-lempengan tutup botol minuman, kecap, saos atau apa saja. Direkatkan pada sebilah kayu dengan bantuan paku. Disusun sedemikian, hingga bisa mengeluarkan bunyi-bunyian. Lalu berbekal suara sumbang mereka menggerayah setiap angkot yang mangkal dan bis-bis kota, menyanyikan sebuah lagu dangdut kepada penumpang yang gerah.

Jaelani yang bersuara kemayu, mendulang receh setiap kali dia tampil di terminal yang selalu ramai itu. Penampilannya yang kenes dan gerak-geriknya yang luwes mengundang senyum dan kadang tawa para penumpang yang bosan menunggu angkot. Dia tidak menyanyi secara asal-asalan seperti teman-temannya. Tapi penuh penjiwaan, seolah dia sedang tampil di panggung konser. Jika lagunya sedih, Jaelani sampai menitikkan air mata. Sementara itu Jaelani tak segan memutar pinggulnya dan menggedikkan pundaknya bak penyanyi India, bila ia sedang melagukan nyanyian ceria.

Hidup di jalanan, akhirnya membentuk Jaelani seperti sekarang. Mungkin tadinya sekedar untuk menunjang penampilannya untuk ngamen. Dia mulai memoles wajahnya dengan bedak, gincu dan pemerah pipi. Lalu pelan-pelan, dia mengganti pakaiannya dengan rok, kaos ketat dan mengenakan wig panjang.

Seisi kampung rebut dan geger menertawakan, saat suatu hari Jaelani memberanikan diri membuka jati dirinya. Dia bosan kucing-kucingan. Pergi dengan pakaian laki-laki, berdandan dan mengganti pakaiannya dengan kostum ngamennya di WC umum terminal, kemudian kembali memakai pakaiannya laki-lakinya untuk pulang.

Aku kasihan. Tapi tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah tawa yang membahana setiap orang-orang kampung mengolok-olok dia.

Awakmu kok nekat sih, Rek?! Kasihan bapakmu ngenes denger omongane orang kampung,” suatu kali aku berkata begitu padanya.

“Buat apa ngereken omongane orang, sing penting aku gak minta-minta makan sama mereka,” begitu Jaelani menjawabku

Mungkin aku satu-satunya orang di kampungku yang masih membuka diri untuk bergaul dengan Jaelani. Terlepas dia adalah teman SDku dulu, aku memang trenyuh dengan keadaan Jaelani. Terutama bila melihat bapaknya, Pak Rebo, berjalan terseok-seok mendorong geledek menjajakan air bersih dalam jerigen besar keliling kampung.

Sebenarnya Pak Rebo pernah murka. Saat mendengar dari gunjingan orang, bahwa Jaelani berdandan layaknya perempuan saat ngamen. Aku sudah kelas 2 SMA waktu itu.

Malu mempunyai anak yang berperilaku ganjil, Pagi itu Pak Rebo menyemprot Jaelani dengan makian dan sumpah serapah. Orang tua yang berperawakan kurus lagi pendek itu, menunjuk-nunjuk muka anaknya seraya membuang pakaian-pakaian perempuan yang dia temukan di lemari Jaelani. Lalu dengan kalap dia mengusir Jaelani.

Jaelani menangis meratap-ratap. Memeluk kaki Pak Rebo yang gemetar menahan amarah. Betisnya yang tinggal tulang berbalut kulit keriput, basah oleh air mata anak laki-lakinya.

Akhirnya, Jaelani beringsut dari gubuk kecil milik bapaknya, setelah memunguti pakaian kerjanya. Pergi membawa hati dan pikiran yang remuk redam. Dia masih sempat meletakkan sejumlah uang hasil ngamennya malam itu di bangku. Satu-satunya bangku yang ada di rumahnya.
Pak Rebo yang masih berguncang dadanya, akhirnya menggelosor dan terduduk di pintu.

Aku pikir setelah kejadian itu Jaelani tidak akan muncul lagi di kampung kami. Orang-orang mulai melupakan dia. Ibu-ibu sibuk mencari kutu dan menggantinya bahan gunjingannya. Aku tenggelam dalam soal-soal  bersiap menamatkan sekolah. Di kepalaku sudah tersusun rencana hendak melamar kerja jadi satpol PP. Ketimbang jadi sekuriti di mal-mal, terdengar lebih gagah rasanya kerja jadi satpol PP itu.

Hingga suatu hari, Pak Rebo terkapar batuk darah di gubuknya. Seorang ibu yang mencari Pak Rebo ke rumahnya untuk meminta dikirim air bersih, menemukan lelaki yang terlihat semakin renta itu sedang bergelut melawan penyakitnya. Kemudian orang-orang kampung membawa Pak Rebo ke Rumah Sakit Karang Menjangan. Meskipun mereka sering mengolok-olok Jaelani, tapi rupanya Pak Rebo dan penderitaannya membuat mereka jatuh iba.

Entah siapa yang menyebarkan kabar. Di hari terakhir Pak Rebo dirawat, Jaelani muncul mengagetkan orang yang tengah menjenguk Pak Rebo. Semua terpaku dan setengah tidak percaya. Perempuan cantik yang rusuh menyerbu Pak Rebo dengan tangis itu ternyata Jaelani. Dia menjelma menjadi perempuan. Tidak terlihat lagi sisa-sisa kelelakiannya kecuali benda yang menonjol di lehernya.

Jaelani menangis tersedu-sedu meminta ampun pada bapaknya. Dia memeluk tubuh renta bapaknya. PakRebo pun menangis. Kuduga dia merasa menyesal telah mengusir anaknya.

Meski lelaki tua itu tetap tidak sepenuhnya setuju dengan perubahan yang diperlihatkan anaknya itu, tapi dia lebih takut kehilangan Jaelani lagi.
Di usia yang mulai senja, siapapun tak ingin sendiri dirundung sepi.

Sejak itu, Jaelani kembali tinggal dengan bapaknya. Kini dia dipanggil Enjel. Sesuai permintaanya.

Kampung kembali riuh dengan tawa dan celutukan-celutukan iseng. Meski sudah tidak terlalu sinis dan  mencibir. Jaelani atau Enjel, semakin leluasa bergerak dan melenggang di jalanan mengumpulkan rupiah demi rupiah.

Pak Rebo pasrah akan keadaan anaknya. Dia kembali menekuni pekerjaanya menjajakan air bersih ke seantero kampung. Menjelajah gang-gang sempit bau sangit. Mendorong geledeknya yang semakin hari semakin reyot. Bergeretak dan mencicit setiap roda-rodanya berputar mengukur jalan. Seperti menyaingi kerentaan tuannya.

Jaelani selalu menyisakan separuh uang hasil ngamennya untuk Pak Rebo. Tak berbilang rasa sayangnya pada lelaki tua itu setelah penerimaan bapaknya akan jati dirinya yang baru. Dia sanggup berbuat apapun untuk menyenangkan lelaki tua. Di rumahnya, Jaelani mengerjakan seluruh pekerjaan. Memasak, mencuci, membereskan rumah dan memijit pundak bapaknya sesekali. Layaknya anak perawan.

‘Hidup cuma tinggal menerima apa yang sudah disuratkan oleh Gusti Pengeran,” begitu katanya pada suatu petang yang diguyur hujan. Aku tengah berteduh di rumahnya yang kulewati pagi dan sore. Aku melihat selembar kertas HVS berukuran folio bergambarkan wajah Jaelani dalm rupa perempuan tertempel di dinding bilik rumahnya.

Aku mengangguk-ngangguk dan mulai mengagumi ketabahan lelaki tua itu diam-diam. Keadaan sulit telah mengguratkan tabah sedemikian kuat di dadanya.
Jika memiliki anak serupa Jaelani adalah merupakan sebuah ujian, maka aku yakin Pak Rebo telah lulus dari ujian itu. Bukanlah hal gampang menerima kenyataan anak laki-laki yang dibanggakan, ternyata malah memilih untuk menanggalkan kelelakian dan menukarnya dengan identitas sebagai perempuan.
Memutuskan untuk menerima keadaan lebih membuat hidup Pak Rebo lebih tenang. Ketimbang terus-terusan memelihara rasa tak puas dengan keadaan.

Namun hidup terkadang memberi begitu banyak penderitaan. Jaelani kemudian mulai menjadi sasaran pelecehan secara seksual. Sesuatu yang membuat dia akhirnya tak tahan dan pindah menjauh dari kampung kami. Yang tak dinyana justru membawa dia ke dunia yang gelap, samar dan menakutkan. Dunia yang menjerumuskannya dan sekaligus menjerat aku pada bayang bayang kengerian seumur hidupku.

Kampung kami goyah karena sebuah berita mulai terdengar santer. Kabarnya Jaelani terlihat berkeliaran di jalan-jalan. Saat malam mulai beringsut datang. Lampu-lampu jalan mulai bersinar temaram. Dibawah bias sinar lampu yang terhadang oleh rimbun dedaunan, Jaelani berdiri seolah sedang menanti.
Adalah Darman, tukang ojek kampung kami yang terkenal hidung belang. Yang pertama kali menghembuskan berita miring itu. Seisi kampung mulai bergunjing kembali tentang Jaelani. Lebih gayeng dari semula.

“Apa kataku,” celutuk Kiwil saat kami usai main kartu, “pasti orang begitu itu akan masuk ke dunia esek-esek.”

Dia berkata begitu sambil menggaruk-garuk betisnya yang penuh koreng setengah kering.

“Yaa, mesti ae, Rek. Wong uripe nang dalan-dalan, hidupnya keliaran di jalan,” tukas Tarjo tukang parkir di sebuah mini market di kawasan Wonokromo  menimpali.

“Cepat atau lambat Jaelani bakalan nyemplung kalo gak kecemplung, ke dunia gituan,” Tarjo menambahkan seraya menyundut rokoknya yang tadi mati.

‘Amit-amit  jabang bayi, ojok sampe anak keturunanku ada yang kelakuane kayak gitu,” sambung Kiwil lagi. Rupanya dia teringat istrinya yang sedang hamil delapan bulan.

“Alah-alah, Wil. Paling yo awakmu doyan juga kalo disodori Jaelani,” Jarwo yang dari tadi lesu karena selalu kalah main kartu, menimpali sambil mencibir. Mukanya yang tidak simetris bengkok sana sini, terlihat aneh dan menggelikan.

Semua pecah tertawa. Menertawakan Kiwil yang diledek Jarwo. Dan juga menertawakan muka Jarwo yang mirip topeng gagal produksi. Kiwil misuh-misuh dengan makian khas orang Surabaya.

Aku ikut tertawa. Bukan ingin menertawakan nasib Jaelani yang memprihatinkan. Tapi karena memperhatikan mimik muka Jarwo yang menggelikan. Jaelani masih temanku. Aku merasa tidak tega menertawakan nasibnya.

Entah bagaimana jika Pak Rebo turut mendengar pembicaraan kami. Aku tak bisa membayangkan betapa nelangsa rasa hidupnya.

Sebenarnya aku khawatir, aku bakal dihadapkan pada situasi yang mengharuskan aku menjadi pihak yang antagonis di mata Jaelani. Situasi yang terjadi karena pekerjaanku adalah melakukan penertiban-penertiban yang membersihkan kota dari persoalan-persoalan sosial. Merazia pengemis, pedagang kali lima yang menggelar dagangan di bahu-bahu jalan raya, gelandangan dan bisnis esek-esek yang marak menjamur di tempat remang-remang. Juga waria yang mangkal di jalan-jalan seperti Jaelani.

Kekhawatiranku  muncul, karena aku tahu persis, Jaelani tetap menyokong kehidupan Pak Rebo yang senin kemis. Beberapa hari sekali dia selalu datang menjenguk bapaknya, sambil membereskan rumah seperlunya. Kemudian pergi setelah menyerahkan sejumlah uang untuk Pak Rebo.

Pak Rebo sendiri, semakin hari sudah tak lagi sekuat dulu mendorong geledek, mengitari kampung. Batuknya lebih sering menemani langkahnya menjajakan air dalam jerigen.

Esok harinya apa yang aku khawatirkan benar-benar terjadi.

Senin pagi, kepala Satpol PP dalam apel mengumumkan bahwa sebentar malam giliran merazia prostitusi liar di pinggir-pinggir jalan. Razia malam nanti dibagi di beberapa titik. Di bundaran Waru Surabaya Selatan. Di jalan Irian barat di sepanjang Kali Mas  tempat mangkal waria-waria yang sudah terkenal di mana-mana. Dan di Ketabang Kali di jalan Slamet.

Aku gamang. Entah mengapa aku diserbu rasa gundah yang tak ku tahu pasti apa penyebabnya. Aku teringat Jaelani. Dalam hatiku aku berharap, mudah-mudahan Jaelani sebentar malam absen mangkal di jaln-jalan. Bila dia terjaring dan dimasukkan ke panti rehabilitasi sosial, Pak Rebo pasti akan menderita batin. Belum lagi jatah uang tambahan dari Jaelani otomatis akan terhenti.

Arahan dari Kepala Satpol PP yang berapi-api meletup-letup di udara pagi yang mulai tercampur polusi. Lamat-lamat kudengar kota harus ditertibkan. Harus dibersihkan dari sampah-sampah masyarakat. Untuk menciptakan kota Surabaya yang tertib, teratur dan nyaman. Sisanya tak kudengar lagi. Aku mendadak pening.

Matahari serasa cepat beranjak dari bumi. Malam kembali merajai. Udara pengap dan gerah perlahan diselusupi dingin embun.

Aku sudah berkumpul dengan anggota lain di pelataran kantor. Menanti aba-aba dari Kepala Satpol PP untuk bergerak ke tempat-tempat yang sudah ditentukan. Aku bersama dalam satu regu yang terdiri dari dua unit mobil patroli dan satu truk yang akan digunakan untuk mengangkut pekerja seks jalanan dan waria yang terjaring dalam operasi kali ini.

Kami meluncur menuju kawasan Irian Barat. Sepanjang jalan aku resah. Teman-temanku yang sesekali bercanda untuk mencairkan ketegangan sebelum pecah perang, tak mampu menghiburku.

Mobil patrol terus mendekati target razia di bantaran Kali Mas yang berair butek kehijauan. Bulan pucat di atas kepalaku seperti menjadi saksi penertiban kami malam ini. Bayang-bayangnya yang pudar memantul di permukaan Kali Mas yang mengalir tenang.

Dari ujung jalan sudah terlihat sosok-sosok memakai baju minim melenggang di trotoar. Sebagian ada sedang terlibat pembicaraan dengan pengendara motor yang parkir di pinggir jalan.

Aku dan teman-teman bersiap. Meraba kencang pentungan yang terselip di pinggang. Kemudian meloncat dari mobil memburu waria-waria yang tak menduga ada razia.

Keadaan yang senyap dan damai, mendadak ricuh. Lelaki hidung belang yang sedang bertransaksi dengan waria-waria itu sekejap kocar-kacir. Menstater motornya dan dengan tergesa-gesa memacu motornya meninggalkan teman warianya. Keluar menuju ujung lain jalan Irian Barat yang akan membawanya menghindar dari kejaran kami.

Para lelaki yang berdandan lebih menor dari perempuan asli, segera lintang pukang. Disertai teriakan-teriakan dan umpatan kotor, mereka berlari berkelit menghindarkan diri dari serbuan kami. Selop-selop tinggi berhamburan ditinggalkan pemiliknya yang panik menyelamatkan diri.

Kami terus berlari, berteriak memburu waria-waria yang saat berlari menjauh dari kami, tak terlihat lagi gaya kemayunya. Larinya kencang dan membabi buta, lupa lenggak lenggoknya yang biasanya mengalahkan peragawati.

Bak harimau yang memburu rusa di padang Afrika, kami terus mengejar waria-waria itu sekuat kami berlari.

Aku terengah-engah mengejar laki-laki hidung belang yang lari meninggalkan teman kencannya di belakang tertangkap oleh beberapa temanku. Aku berteriak menyuruhnya berhenti tapi dia tidak mau berhenti. Lelaki yang belum mengancingkan kemejanya baik-baik itu melesat meninggalkanku menerobos petugas lain yang menghadang didepannya lalu keluar dari Irian Barat dan melompat ke dalam taksi yang kebetulan melintas.

Aku kembali menuju mobil patrol. Kulihat beberapa temanku berhasil meringkus waria-waria yang kewalahan menghindar.

“Ampuun, Pak. Akyu cuma cari makan. Akyu gak nyolong, Paak. Gak sudi akyuuu melok awakmu.”

Terdengar jeritan dari mulut waria yang tertangkap oleh temanku. Ditangannya sebuah wig dicengkeram erat-erat. Dia sedang mempertahankan modal kerjanya. Sebentar meronta-ronta, kemudian menyerah dan sambil ngomel-ngomel tidak karuan tersaruk-saruk diseret temanku dinaikkan ke dalam truk.
Aku sempat menoleh ke arahnya. Sepintas aku seperti mengenal sosoknya yang dibalut blus seksi bercorak lurik-lurik seperti kulit zebra. Deg.

Itu Jaelani.

“Enjel…!” tak sadar aku memanggil nama perempuannya.

Jaelani menoleh padaku kaget. Mungkin dia tidak menduga ada petugas Satpol PP yang mengenal namanya. Temanku yang sedang mencengkeram kedua tangan Jaelani mendelik heran. Aku tak peduli tatapannya. Kuhampiri mereka.

“Lepaskan aku, Din. Aku gak mau dimasukkan ke panti,” Jaelani yang segera mengenaliku, merengek-rengek memintaku untuk melepasnya. Aku disergap iba dan bingung sekaligus. Kasihan pada Jaelani dan takut dimarahi atasanku hinggap pada saat yang sama. Aku tertegun sesaat.

Tiba-tiba entah mendapat keberanian dari mana, aku sengaja menubruk temanku yang masih terheran-heran padaku. Cengkeramannya kendor. Aku berteriak menyuruh Jaelani melarikan diri. Teriakanku disambut makian temanku yang terhuyung hilang keseimbangan.

“Cepat lariii…,” aku mendorong yang Jaelani yang malah bengong kaget melihat kenekatanku. Tapi kemudian dia lari terbirit-birit masih menenteng wignya.
Temanku yang tadi kutubruk, jadi beringas dan berlari kesetanan mengejar Jaelani. Dia berteriak meminta bantuan teman-temanku yang lain. Aku berdiri cemas memegang kepalaku di samping truk yang sarat waria. Mereka berteriak riuh menyemangati Jaelani yang melarikan diri. Suasana kembali ricuh.

Jaelani yang ngibrit berlari menyisir bahu jalan. Di belakangnya tujuh orang temanku tak mau kalah memacu kakinya untuk kembali menangkap waria temanku itu.

Melihat dirinya kepepet dikejar sosok-sosok sangar, Jaelani mengarahkan larinya ke pinggir kali yang ikut menjadi saksi kekisruhan ini. Lalu sosoknya kulihat melayang sejenak di udara, dan terjun bebas ke dalam Kali Mas yang sedang meluap airnya. Aku mendengar suara air berdebur seperti ditimpa sesuatu yang berat. Beberapa menit suara kecipak menyita udara. Riuh rendah dari dalam truk mendadak hilang. Lenyap seiring melemahnya suara kecipak air.
Aku menggigil.

Keesokan harinya, aku mangkir dari kerja. Aku tak sanggup memikirkan kejadian yang sungguh tidak pernah kuduga itu. Kepalaku pening. Seharian aku berbaring, sampai ibuku capek menanyai aku.

Tiga hari berlalu.

Gerimis membuat murung kampungku. Dengung suara orang-orang kampung yang berjalan beriringan ke arah rumah Pak Rebo, menusuk-nusuk telingaku. Aku larut dalam gelombang diam diantara kerumunan orang-orang. Rasa gundahku yang menggumpal,  kian menyesak di dada. Aku terdiam seribu bahasa terseok-seok melangkahkan kakiku yang berat bak digayuti barbel raksasa.

Di depanku, seorang lelaki tua berjalan lamat-lamat, seolah langkahnya tidak menapak tanah, melainkan mengambang diiringi semilir angin yang datang bersama gerimis senja ini. Mukanya yang gelap semakin berkerut diserbu keriput. Ada genangan air mata membayang di sudut mata tuanya.  Aku merasa semangat hidupku ikut runtuh bersama air mata yang luruh di pipi Pak Rebo.

Aku merenungi nasib lelaki tua yang beranjak tua dan kini benar-benar sebatang kara. Entah seperti apa rupa hari-hari ke depannya bagi Pak Rebo. Mungkin sebagian hatinya ingin turut larut dilebur waktu. Sementara belum lagi masa baginya tiba. Mungkin juga dia merasa ada yang salah dengan takdir yang datang menyapa di usianya yang senja.

Iring-iringan kami beranjak menjauhi tanah merekah yang basah di terpa air mata dari langit. Juga air mata Pak Rebo yang jatuh satu-satu semenjak iring-iringan kami keluar dari rumahnya yang dicekam pilu.

Andai aku sanggup membuka mulut. Aku ingin menghiburnya. Mengatakan bahwa aku ingin menebus rasa bersalahku dengan apa saja. Aku ingin mengakui bahwa air mata yang terbit dari matanya adalah oleh karena perbuatanku. Tapi aku hanya diam tergugu. Sembari mataku tak lepas memandang punggung yang bungkuk dimakan usia bergerak-gerak lunglai di depanku.

Apakah ini akan terus menjadi rahasia terpendam yang tertanam diantara tatapan mataku dengan pandangan kuyu Pak Rebo. Atau mungkin juga Pak Rebo sudah tahu. Aku sungguh-sungguh tidak tahu.


PS:
Cerpen ini ditulis untuk memenuhi Tugas GWA04. Berjumlah 3.021 kata. Lebih 18 kata dari  jumlah kata minimal yang disyaratkan, tidak termasuk judul. Membacanya mungkin butuh waktu yang agak lama. Menuliskannyapun sungguh memeras otak saya. Terutama karena syarat utamanya adalah tidak boleh menggunakan kata mati, kubur, nama penyakit dan turunannya, juga hal-hal/kata-kata yang menunjukkan bahwa lelaki tua itu (saya menamakan tokoh ini dengan Pak Rebo) baru saja menguburkan anak laki-lakinya.

Terima kasih sudah berkenan membaca.

Salam dari Bumi Mandaelu Pada Eweta, Sumba Barat NTT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar