Kisah Ranto


Sebulan ini adalah masa-masa tersulit bagiku. Aku harus mengelak dari pertanyaan Ranti yang terus menerus dicecarkan padaku. Aku tahu sikap Ranti bukan tak berdasar. Setiap perempuan pasti akan memberikan respon yang sama seperti Ranti saat sesuatu yang membingungkan dan mencurigakan mengambang di benaknya.

Aku memandang wajahku di cermin yang menempel pada lemari pakaian. Jika memang ini akan menjadi pertemuanku yang terakhir dengan Ranti, aku ingin memastikan tak ada setetespun keringat yang membuatku lusuh seolah perpisahan itu menjadikanku sesengsara kuda beban. Terutama karena aku tak ingin membuat Ranti berpikir bahwa aku memang telah benar-benar mengkhianatinya. Seperti apa yang telah dia dugakan padaku.


Ranti. Perempuan yang kugambarkan dalam puisi selalu berselendang pelangi, terlalu berharga untuk kucemari dengan mukaku yang kusut karena memendam muram. Karena itulah aku menghindari pertemuan dengannya akhir-akhir ini. Melihatku datang dengan kelam di sekujur wajahku, pasti akan membuat senyumnya yang manis menghilang dari wajahnya. Dan mata itu akan redup seperti cahaya meteor yang lambat laun menghilang dari pandangan. Dan itu sangat menyakitkan.

Aku sangat mencintai Ranti. Belum pernah aku menemukan perempuan dengan kegilaannya pada buku sama besarnya dengan kegilaanku pada puisi. Dia menyimak puisi yang tak pernah laku kujual ke surat kabar, majalah atau penerbit manapun, dengan ketekunan sama seperti dia sedang membaca buku-bukunya. Seolah puisiku itu adalah masterpiece seorang maestro sastra. Dia akan menatapku penuh kekaguman. Mengerjapkan matanya setiap kueja kata yang menyiratkan cinta. Dan selalu memintaku membacakan puisi pada malam-malam setiap aku sedang berada jauh darinya.

Dia seperti bayi yang manja. Juga seperti seorang remaja yang selalu jatuh cinta. Yang paling kusuka adalah dia seperti pengagum setiaku yang sebelumnya tak pernah kupunya. Dia menyoraki setiap aku selesai tampil. Dan dengan berkilat-kilat, matanya secara bahagia menularkan semangat padaku untuk terus menulis puisi. Lagi dan lagi.

Aku jadi keranjingan menulis puisi cinta meskipun hasilnya tak seindah puisi Menulis Cinta-nya Sitok Srengenge ataupun Dalam Doaku gubahan penyair idolaku Sapardi Djoko Damono itu.

Semua kupersembahkan untuk Ranti. Sebab setiap aku memikirkan dirinya, deretan kata-kata cinta berdesakan dalam benakku, berjejalan meminta digoreskan menjadi seuntai puisi.

Aku melihat Ranti untuk pertama kalinya dalam sebuah dialog yang aku dan kawan-kawanku selenggarakan di kampus. Saat itu kami mengundang Sam Bimbo untuk menyampaikan pengalamannya dalam menapaki dunia music religi. Aku duduk di deretan paling depan di sisi kanan dengan sejumlah anggota UKM Seni Budaya yang mendukung kegiatan itu. Ranti yang duduk di kursi pengunjung, tak pernah menyadari sepasang mataku tak pernah lepas memandang wajahnya yang ayu keibuan. Menatap lekat Sam Bimbo yang sedang menyanyikan lagu Air Mata Ibu, dengan senyum yang seolah terpatri di gurat bibirnya dan linangan air mata yang luruh pelan di pipinya. Wajah Ranti itu adalah wajah imajinasi yang sering terbayang saat aku sedang dirundung perasaan melankolis. Wajah yang ingin kulukis dalam syair-syair puisiku. Memandangnya seperti menemukan inspirasi yang kucari-cari.

Maka pada sebuah pentas seni yang telah kunanti-nanti. Aku bacakan seuntai puisi gubahanku di hadapannya. Aku melihat kilau yang sama di matanya. Hanya saja ia tertahan di sana, tidak luruh di pipinya yang seranum apel Shanghai itu. Dia tersipu karena seluruh pengunjung pentas yang kebanyakan adalah teman-teman dekatku itu riuh bertepuk tangan dan bersiul panjang sembari menggodanya dengan tawa.

Saat itu aku tahu dia benar-benar perempuan berselendang pelangi seperti dalam khayalanku. Diam-diam aku berjanji bahwa dia adalah perempuan terakhir dalam hidupku. Janji yang ternyata sekarang harus aku ingkari sendiri. Aku mengkhianati diriku sendiri. Sekaligus aku mengkhianati ketulusan Ranti.

Aku tidak pernah siap untuk berpisah dengan Ranti. Dia telah menjadi nyawa bagi hidupku. Dia telah menjelma aksara bagi kata-kata dalam puisiku. Aku membutuhkannya lebih dari yang dia tahu.

Namun itu belum seberapa bagiku. Membayangkan aku akan segera memporak-porandakan harapannya membuat aku sungguh tersiksa. Membayangkan wajahnya yang akan menjadi sekelam kabut gunung sungguh membuatku merana.

Aku tak pernah lupa riang wajahnya bercerita tentang celoteh kanak-kanak yang berlarian di rumah kami yang mungil kelak suatu hari. Di sela-sela kesibukannya menyunting sebuah buku, tangis dan tawa kanak-kanak itu menghangatkan suasana. Dan pelukan-pelukan mesra yang diaromai harum bumbu dapur.

Aku hanya bisa berkata: Kita akan sampai di sana, Sayangku.

Sesungguhnya saat itu aku merasa begitu bahagia memiliki perempuan yang begitu sempurna.

Dan semuanya tiba-tiba harus berakhir. Dalam waktu kurang lebih lima belas menit lagi, aku akan menjadi musuh baginya. Mungkin lebih buruk lagi, musuh yang namanyapun tak akan pernah ingin Ranti ingat lagi.

Ruangan kotak ini terasa begitu pengap. Aku telah menghabiskan hampir empat tahun umurku di kamar ini. Tak pernah aku merasa sepengap ini di dalamnya. Padahal dari sinilah semua puisi-puisiku lahir. Ini sungguh lima belas menit yang paling lama yang pernah aku rasakan.

“Aku tak bisa melakukannya. Benar-benar tidak bisa,” aku berkata dengan jiwa yang hampir runtuh kepada  sesosok perempuan yang duduk tercenung di depanku.

Siang itu, tiga bulan yang lalu, saat matahari tengah terik memanggang bumi. Aku bagai disambar petir di siang bolong mendengar pengakuan perempuan tua yang telah melahirkanku dua puluh tiga tahun yang lalu itu.

Mendiang ayahku yang meninggal genap seribu hari menitipkan sebuah amanat yang teramat berat kepadaku. Amanat yang disampaikan beliau ketika ajal hampir menjelang kepada ibu. Dan saat itulah waktu yang tepat bagi untuk menyampaikan amanat itu kepadaku. Aku dirasa telah siap untuk menerima amanat itu.

“Apa pasal yang menyebabkan kau tak bisa menjalankan amanat ayahmu itu, Nak,” ibu bertanya dengan suara parau.

“Aku tidak bisa menikah dengan seseorang yang tidak aku cintai, Bu.”

“Belajarlah untuk mencintainya, cinta ibarat benih tanaman, dia bisa tumbuh bila kita tanam, pelihara dan kita jaga. Lagipula, apakah kau sanggup menolak wasiat dari mendiang ayahmu, itu sama halnya dengan kau menginginkan ibumu ini mati?”

Kalimat ibu seperti biasanya selalu mengandung mantra yang sanggup membuatku menyerah pada keinginannya. Aku menundukkan kepalaku yang terasa berat. Dunia gelap.

Bagaimana sepenggal cerita yang kubawa dari kepulanganku ke kampung halaman tiga bulan yang lalu itu bisa kubagi dengan Ranti. Beratnya wasiat yang harus kujalankan ini masih bisa aku tanggung. Pulang ke kampung, lalu menikahi perempuan asing yang wajahnya hanya kulihat di foto album keluarga. Ibuku mungkin benar cinta bisa tumbuh asal kita mau menanamnya. Aku banyak mendengar cerita serupa terjadi di sekitar kita.

Tapi betapa perihnya luka yang harus kutoreh di hati Ranti, karena semua impian dan harapan yang dia bangun denganku harus hancur berkeping-keping karenanya. Itu adalah luka terperih yang akan menghantuiku seumur hidupku. Luka yang tak mungkin kunjung mengering karena setiap mengingat namaku, luka itu akan tertoreh lagi.

Maka aku terus mengelak. Aku menghindar dari Ranti. Bahkan mendengar suaranyapun sangat menyakitkanku. Aku tak sanggup mendengar semua tanya yang Ranti ajukan padaku. Bagaimana aku harus menjelaskan padanya bahwa aku harus menyerahkan diri menikahi perempuan yang tidak kukenali demi baktiku pada kedua orang tua.

Aku terus berpikir, kenapa tidak Ranti saja harus menikahi lelaki lain. Meskipun aku pasti sama sakitnya dengan Ranti sekarang ini, tapi setidaknya aku tidak perlu melihat dia terluka. Aku masih bisa melihatnya mencari kebahagiaannya dari pernikahannya itu.

Tapi itu tidak terjadi pada Ranti.

Aku harus bersiap. Ini terakhir kalinya aku akan memandangi wajahnya yang selalu bersinar seperti senja yang jingga. Wajah yang selalu membuatku ingin menghabiskan seluruh umurku di sampingnya. Wajah yang saat sedih dan bahagia sama eloknya untuk kupandang. Wajah yang ketika manja dan marahnyapun selalu membuatku gemas tak terkira.

Biarlah semua tanya yang pernah ada, tidak perlu kusediakan jawabannya. Karena kupikir ada dan tidaknya jawaban itupun tetap tidak bisa mengubah keadaan yang menelikungku sedemikian rupa. Jadi biarlah Ranti dengan segala praduga dan kecurigaannya. Mungkin lebih baik membiarkan Ranti mengira bahwa aku telah berpaling darinya daripada memberitahukan bahwa aku akan menikah dengan perempuan lain yang tidak dikenal sebelumnya, dan aku tidak bisa menolaknya.

Bukankah menyakitkan mengetahui lelaki yang dicintainya menyerah kalah pada keadaan tanpa ada sedikitpun usaha untuk melawan.
Aku memandang jauh ke depan melintas bingkai jendela, menerobos bunga sepatu yang tengah bermekaran di samping kamar kostku. Jauh ke selaput-selaput cahaya yang dibiaskan oleh senja di atas cakrawala. Senja yang indah ini akan jadi penghabisan dari hubunganku dengan Ranti.

Kegaduhan di luar kamarku, tidak kupedulikan lagi. Gelak tawa yang sebelumnya mengusir penatku, tak menghiburku lagi.

Aku raih ponsel yang sudah sebulan ini hampir jarang kugunakan untuk menghubungi Ranti lagi. Mungkin saja aku akan memerlukannya untuk mewakili diriku mengakhiri hubungan ini.

Pada kolom teratas kotak pesan di ponselku itu, terbaca pesan Ranti yang sampai kini belum ku balas. Tepatnya lagi tak akan pernah kubalas.
Sebulan yang lalu, aku benar-benar tidak tahan ingin mengeluarkan segala kekalutan yang membelenggu pikiranku. Lalu dengan kesadaran yang telah separuh hilang, aku mengirimkan sebuah pesan pendek kepada Ranti. Pesan yang akhirnya aku sesali. Tak seharusnya aku kirimkan keluhanku itu pada Ranti. Sejak awal aku tak ingin membeberkan masalah keluargaku ini padanya.

Sejak itulah Ranti terus bertanya-tanya. Sejujurnya aku mengharapkan kemarahan Ranti. Dengan begitu akan lebih mudah bagiku untuk menghadapinya. Tapi Ranti tetaplah Ranti, yang selalu menyembunyikan kesedihan, kemarahan dan kekalutan jauh di lubukning seperti air telaga, dengan kebohongan demi kebohongan yang terus aku sembunyikan darinya. Aku jadi merasa ditimbuni perasaan bersalah setiap hendak menekan tuts ponsel sekedar hendak mengiriminya sapaan selamat malam.

Dan semua kekalutan yang silang sengkarut ini harus kuakhiri dengan segera. Agar Ranti bisa melanjutkan hidupnya yang cemerlang. Agar dia bisa memulihkan kembali hatinya yang telah kuracuni kenangan kerisauan dan kesedihan. Aku ingin melihatnya kembali tersenyum meski aku sendiri harus melupakan keinginanku terus hidup berdampingan dengannya.

Tentang bagaimana aku akan mengakhiri hubunganku dengan Ranti sebenarnya aku tak peduli. Yang ingin kulakukan saat ini hanyalah menemuinya.
Aku melangkah gontai menuju pintu kamarku. Dengan langkah yang kubuat ringan, aku menguatkan hatiku untuk menuju ke taman tempat aku berjanji akan bertemu dengan Ranti.

Sepanjang jalan aku mengenang pertemuanku pertama kalinya dengan Ranti. Wajahnya yang tirus putih bersemu merah itu sangat mempesonaku pagi itu. Aku masih ingat pipinya yang bersemu merah saat aku usai mempersembahkan sebuah puisi untuknya. Aku bersitatap dengannya dengan tatapan termesra yang pernah ada.

Ranti mungkin tengah duduk menungguku di sana. Selama kebersamaanku dengannya hampir selalu dia yang menungguku dalam setiap kesempatan. Dia yang terbiasa melakukan segala sesuatu sesuai waktunya, tidak pernah merasa keberatan melakukan itu. Baginya memahami aku sebagai kekasihnya mungkin merupakan kebahagian tersendiri. Sementara aku, dengan segala keteledoranku, tak pernah berhasil membuat Ranti tidak harus menunggu.

Ranti tidak pernah menyalahkanku atas kebiasaan burukku itu. Dia hanya tersenyum dan berkata: "Suatu hari nanti kau akan tahu betapa berharganya waktu.”

Lalu kemudian aku akan menjawil hidungnya yang sedikit melengkung ditengahnya seperti paruh seekor burung kakak tua. Dia selalu tergelak dengan pura-pura menepisku. Semua terasa begitu indah untuk dikenang.

Entah apakah setelah pertemuan ini, semua kenangan manis itu layak untuk aku kenang kembali. Rasanya tak adil bagi Ranti, aku masih menikmati kenangan indah saat-saat indah bersamanya, sementara akulah yang telah menyebabkan perpisahan ini kan terjadi.

Entah mengapa, sebelum semuanya benar-benar berakhir aku ingin melahap semua kenangan bersama Ranti sebelum semuanya menjadi tabu bagiku.
Ponselku berdering. Ada pesan yang masuk dari Widya. Aku mendesah panjang. Kelak tak lama lagi nama ini yang akan menggantikan Ranti, mengisi kekosongan hidupku. Dia tak bersalah, dia tak layak mendapat perlakuan antipati dariku. Bahkan sebenarnya dia patut mendapatkan seluruh sisa perhatianku yang telah habis kugunakan untuk memikirkan Ranti.

Bukan salahnya jika saat kandungannya menginjak delapan bulan suaminya yang adalah kakak kandungku meninggal karam di Selat Sulawesi.  Bukan salahnya pula jika ayahku yang tertekan batin akibat kepergian kakakku yang mendadak dan tragis itu akhirnya tak lama meninggal dunia. Bukan pula salahnya jika ayah yang tak sanggup memikirkan nasib buruk menantu dan cucu yang masih dalam kandungannya itu akhirnya menitipkan sebuah wasiat untukku kepada ibuku. Wasiat yang seminggu lagi harus aku jalani.

Perempuan itu butuh perlindungan dan status dariku. Sudah jamak di kampungku, kejadian bilamana ada seorang laki-laki meninggalkan istri, maka istrinya harus dinikahi oleh saudara kandungnya sendiri, demi menjaga martabat keluarga.

“Aku tidak akan memaksamu untuk menikahiku, Ranto. Semua berpulang pada keputusanmu. Aku akan tetap tinggal dengan ibu di kampung bersama anakku, meskipun dirimu tidak jadi menikahiku. Aku tidak mau menjadi beban bagi hidupmu.”

Terbayang wajah ibuku saat menyampaikan amanat ayahku. Kemurahhatian Widya ini belum tentu akan diterima dengan baik oleh ibuku. Masih terngiang jelas kata-katanya. Aku akan membuat beliau mati jika aku menolak melaksanakan amant ayah itu.

Aku membalas pesan pendek dari Widya dengan singkat.

“Biarkan aku yang memutuskan.”

Aku menutup ponselku. Lalu melangkah dengan hati yang lebih lega. Ranti dengan segala kelebihan dan pesonanya, akan lebih bisa bertahan menerima kenyataan pahit ini. Dia akan dengan segera melupakan sakit hatinya meskipun aku tahu aku cinta pertamanya. Setelah wisuda dan bekerja sesuai keinginannya, pasti Ranti akan segera menyusulku bersanding dengan lelaki yang kelak akan menjadi ayah dari anak-anaknya. Mungkin segala perih dan luka itu akan lebih mendewasakan Ranti.

Widya lebih membutuhkan aku. Anak yang dilahirkannya membawa aliran darahku. Apa yang bisa diperbuat oleh perempuan desa sepertinya untuk menghidupi satu-satunya penerus keturunan keluargaku.Sementara ibu telah beranjak renta. Tentu tidak lama lagi, beliau tidak sanggup lagi untuk menopang kehidupan mereka bertiga.

Ranti maafkanlah aku. Mungkin keputusanku ini telah membuat derita di hidupmu. Jika saja aku bisa memilih, tentu akan lebih memilih untuk mendampingi hidupmu selamanya. Namun hidup ternyata banyak memberikan duka, aku harus rela menyanding Widya  atas nama kemanusiaan dan bakti kepada orang tua.

Rasanya aku ingin segera bertemu dengan Ranti di taman itu. Aku ingin sekali lagi memandangi wajah tulusnya. Menciumi harum rambutnya. Dan mengatakan berjuta maaf yang keluar terus menerus dari bibirku.

Aku berdzikir nama dan ampunan darimu, Ranti.

Aku bergegas mempercepat langkahku menuju taman dimana Ranti telah menunggu. Taman yang dipenuhi pohon beringin yang rindang dan hijau itu akan menjadi saksi bisu akhir hubunganku dengan Ranti.

Itu dia, bisikku. Dari kejauhan aku sudah bisa melihat bayangan tengah duduk di sebuah bangku tepat di tengah-tengah jalan yang akan kulalui ini. Dengan wajah yang penuh menyembunyikan duka saja, masih terlihat pesonanya yang menentramkan hatiku.

Aku tahu dia sudah melihat kedatanganku. Apa yang dia pikirkan? Apa yang akan dia katakan? Apa yang akan aku jelaskan padanya?

Bayangan tubuhnya di taman semakin terlihat jelas. Wajahnya yang disinari lembayung senja menambah indah pesonanya. Aku tak mau sedetikpun lepas dari pandangannya. Aku tidak pernah menyesali semua yang pernah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi. Semua telah diguratkan bahkan sebelum semua ada.
Yang perlu kulakukan adalah mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya agar perpisahan ini layak dikenang oleh Ranti. Aku mungkin telah mengabaikannya sebulan ini. Tapi Ranti harus tahu aku bukan lelaki yang akan meninggalkannya begitu saja. Aku akan tetap memberikan senyumku untuk menenangkan kegelisahannya. Senyum yang akan Ranti kenang sebagimana dia mengenang senyum saat pertama kali kami bertemu. Aku akan tetap menatapnya lekat, seperti tatapanku di atas pentas saat pertama kalinya kupersembahkan sebuah puisi untuknya. Dia layak mendapatkan perhatianku yang masih tersisa beberapa hari ini.

Ah, Ranti tetap begitu cantik. Meski ada bayang-bayang yang menggenang di pelupuk matanya. Dia tetap menebarkan pesonanya. Itulah mengapa aku tak bisa berhenti mencintainya. Aku tak bisa melukai hatinya dengan berterus terang tentang semua ini. Wajah itu sangat berharga untuk aku cemari dengan air mata.

Dia menyambutku meskipun dia tahu bahwa ini mungkin pertemuan terakhir diantara kami berdua. Senyum itu menghiasi bibirnya seolah tidak ada kekacauan yang telah kuperbuat dalam hidupnya.

Aku melihatnya menundukkan kepala. Mungkin air mata yang menumpuk di pelupuk matanya begitu berat untuk dia tahan. Aku ingin menghapus air mata itu selamanya.

“Ranti, maafkan aku.”

Suaraku itu lenyap ditelan sang bayu.

“Jangan menangisiku, aku tak patut kau tangisi.”

Kembali angin melarikan bisikanku.

Ranti telah berada tepat dihadapanku. Aku hanya bisa menatapnya dengan seluruh cinta yang ada. Tiada kata yang tepat yang bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Semua karam dalam air mata yang deras menetes di pipi Ranti berlinang-linang jatuh ke bumi. Ujung hidung Ranti yang selalu menggemaskanku itu kini merah basah.

Aku tak dapat mengeluarkan suaraku lebih dari dua kalimat saja. Yang semua tidak Ranti jawab melainkan dengan isakan yang semakin tak tertahankan.
Apa yang harus kukatakan padanya. Aku tak tahan melihatnya bersimbah air mata.

Aku menunggu sesuatu yang datang dari bibirnya. Apa saja bahkan makian yang siap aku telan dalam-dalam. Tapi hanya desah Ranti yang semakin kuat menggangguku.

“Ranti…” aku meminta sesuatu yang aku sendiri tak tahu wujudnya apa.

Tubuh Ranti semakin layu didepanku. Aku tidak tahu harus berkata apa. Kedatanganku untuk mengakhiri semua ternyata begitu berat untuk diungkapkan dengan kata-kata.

“Aku mencintaimu, Ranto. Masih mencintaimu.”

Aku tak percaya kalimat itu keluar dari bibir Ranti. Perempuanku yang berselendang pelangi ini, tak sedikitpun menampakkan amarah dan kekecewaan. Cinta seperti tak pernah bisa lenyap dari hidupnya. Aku bergelimang cinta saat pertama bertemu dengannya, aku bergelimang cinta selama dua tahun tiga bulan ini bersamanya, aku masih juga bergelimang cinta di saat-saat terakhir kisah cintaku dengannya.

Tiba-tiba aku ingin memeluknya. Memberinya perlindungan yang tak bisa aku berikan. Memberikan kehangatan yang  tak akan aku bisa persembahkan. Memberinya kedamaian yang urung aku janjikan.

Aku memeluk Ranti sejadi-jadinya, sekuat-kuatnya. Sebab aku tahu ini akan jadi pertemuan terakhir. Tak akan ada pelukan, cinta dan kasih sayang yang akan aku berikan lagi padanya setelah ini.

Ku hapus air matanya dengan jemariku yang gemetar. Kubelai rambutnya dengan belaian terlembut yang pernah kulakukan. Untuk menukar penderitaan yang telah kuperosokkan begitu jauh ke dalam hidup Ranti.

Ranti masih menangis. Bibirnya masih gemetar. Air matanya masih berlinang menuruni lekuk pipinya.

Mengapa Ranti, tak cukupkah pelukan ini untuk menghentikan deraian air matamu?

Saat tubuh Ranti yang berguncang menepis oleng tubuhku, berlalu dari hadapanku, aku tersadar, aku ternyata tak pernah benar-benar memeluknya.


Repost from my Facebook Notes, Waikabubak, 10 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar