Lembur

Bulan memucat di langit malam. Sudah hampir jam sepuluh. Kegelisahan semakin mendera Kasih. Tidak biasanya Tagu, suaminya,  selarut ini belum tiba di rumah. Meskipun pagi tadi dia sudah memberitahu Kasih bahwa malam ini dia akan lembur, tapi tetap saja hati Kasih tidak bisa tenang. Keadaan sekarang sedang tidak aman. Musim kering berkepanjangan membuat orang-orang yang putus asa dalam kelaparan, sanggup berbuat apa saja untuk bisa membawa pulang beberapa peser uang. Daerah tandus yang dikelilingi bukit kapur seperti ini tidak menjanjikan banyak harapan untuk penghuninya.

Kasih bersyukur, meskipun sangat pas-pasan, suaminya bisa mendapat pekerjaan di tempat penambangan batu potong. Hanya itu pekerjaan yang bisa dilakukan oleh suaminya di saat kemarau begini. Menjadi buruh tani tidak mungkin, semua lahan sawah sekarang merekah kering kerontang. Hujan masih lama lagi berkunjung ke mari. Apalagi sekarang cuaca semakin tidak bisa diprediksi.


Sudah hampir satu jam, Kasih mondar-mandir di ruang tamunya yang sempit. Sebentar kemudian dia melongok anak laki-lakinya yang tergolek di dipan beralaskan tikar pandan. Dilihatnya dada balita itu kembang kempis menyalurkan oksigen ke sekat dadanya. Kasih tersenyum sejenak. Kemudian kembali teringat Tagu yang seharusnya sudah ada di dipan itu berbaring bersama dirinya. Lalu kakinya melangkah ke ruang tamu, duduk menyendiri sampai terkantuk-kantuk di bangku kayu buatan Tagu yang sudah reot.

Kasih hampir terlelap ketika didengarnya ketukan pintu.

“Siiih, Kasih. Buka pintunya, Sih. Ini aku.”

“Abangkah itu?” Kasih memicingkan telinganya setajam mungkin, kantuk yang tadi menyerangnya membuat telinga tak awas. Dia takut itu bukan suara suaminya, melainkan pencuri yang menyaru menjadi Tagu.

“Iya, Sih. Aku ini. Bukalah pintunya, aku kedinginan.”

Ah, benar rupanya. Itu suara Tagu suamiku, batin Kasih seraya membuka gerendel pintu dan menyambut suaminya dengan senyum yang paling manis.

“Syukurlah, Abang udah pulang. Aku kuatir Abang kenapa-napa di jalan,” ujar Kasih sambil meraih tas karung yang berisi perkakas kerja suaminya. Membawanya ke dapur lalu meletakkannya di sudut dekat rak piring yang sudah condong karena keropos.

“Tak usah kuatir, Sih. Aku ada teman, kok.”

Kasih mengernyit, tangannya sibuk menyeduh kopi hitam kesukaan Tagu. Setahunya Tagu lembur sendirian, begitu yang Tagu bilang pagi tadi.

“Siapa, Bang? Kan Abang bilang, Abang lembur sendirian. Bapaknya Yeri, Hanis sama Yan kan tidak mau Abang ajak lembur.”

Tagu berdiri menyandarkan badannya di pintu dapur, memandang istrinya sambil menyunggingkan senyum. “Tuhan, Sih. Tuhan yang menemaniku,” katanya lembut.

Kasih tak ingin lagi mencecar suaminya dengan pertanyaan-pertanyaan. Meskipun sejak matahari terbenam tadi, dia sibuk memikirkan kenapa suaminya harus lembur. Sungguh hal yang tak biasa dilakukan. Selama Kasih hidup bersama lelaki berperawakan tinggi dan liat itu, baru kali ini Tagu lembur. Seperti pegawai kantoran saja, pikir Kasih.

Hidup mereka memang jauh dari kecukupan. Tapi apa lagi yang Kasih inginkan? Semua sudah dia dapatkan. Suami yang bertanggung jawab dan penyayang. Anak laki-laki penerus nama keluarga. Makan sehari dua kali dengan lauk sayur-sayuran yang dengan mudah Kasih peroleh di kebun belakang rumah. Dan meskipun mereka hanya setahun sekali membeli pakaian, tapi Kasih merasa beruntung. Kasih merasa sudah memiliki semuanya.

Rasa penasaran yang menggayut di kepala Kasih tentang apa perlunya Tagu bersusah payah menambah jam kerjanya memotongi batu di bukit sebelah kampung, terkikis pelan oleh sinyal-sinyal yang melintas dari mata Tagu. Bekerja hampir selama enam belas jam, membuat hormon endorphin di sekujur tubuh Tagu membuncah. Kasih tergelak, sewaktu Tagu tiba-tiba menyergapnya dengan ciuman.

Segelas kopi dibiarkan mengebul tak tersentuh di meja.

*

“Abang tidak perlu lagi lembur. Kita kan tidak kekurangan makan, Bang.”

Ini sudah hari ke dua puluh tujuh, sejak Tagu mencanangkan lembur. Belum pernah sekalipun Tagu absen lembur. Kasih setiap malam selalu didera was-was berkepanjangan. Pencuri dan perampok semakin meraja lela. Tagu memang selalu membekali diri dengan parang. Tapi itu tidak menyurutkan kekuatiran Kasih akan keselamatan Tagu. Semakin hari bahkan Kasih semakin stress dan cenderung emosional menghadapi Tagu. Sekarang rasa was-was itu sering diselingi kecurigaan.
Mungkin saja suaminya bukan lembur, tapi sedang berduaan dengan perempuan lain dari kampung sebelah.

Kasih sudah mencoba untuk mengusir jauh-jauh pikiran itu. Hanya saja Tagu tidak memberi jawaban memuaskan tentang alasan lembur itu. Dia seringkali menjawab pertanyaan Kasih dengan senyuman.

Bukankah ini mencurigakan?! Biasanya, laki-laki kalau sudah kehabisan kata-kata dan hanya bisa senyam-senyum tidak jelas begitu, pasti ada apa-apanya.

Tagu meraih karung perkakasnya. Mencium kepala anak laki-lakinya yang sedang terbuai di ayunan kain yang diikatkan di palang pintu. Lalu beranjak mendekati Kasih yang masih merengut di depan perapian. Dia memegang pundak istrinya.

“Kalau sudah waktunya, pasti aku akan berhenti lembur, Sih.”

“Abang lembur betul apa tidak sih sebenarnya. Pegawai kantoran saja tidak kayak begini lemburnya. Setiap hariii, lembur. Terus, mana uangnya hasil lemburnya, Bang? Mana? Kok, sampe hari ini Kasih belum melihat uang hasil lembur Abang? Kalau lembur, tapi tidak membawa uang ke rumah, mendingan Abang berhenti lembur aja.”

Kasih terengah-engah mencecar suaminya dengan omelan. Sejak Tagu lembur, Kasih jadi pintar ngomel.

Tagu menghela nafas. Alih-alih meladeni istrinya yang sedang emosi, Tagu memanggul karung perkakasnya di pundak, beranjak keluar.

“Aku berangkat dulu, Sih.” Pamitnya singkat.

Hari ini, Tagu berangkat tanpa mengecup bibir istrinya yang senantiasa merah oleh sirih pinang itu. Di luar matahari mulai menyembul malu-malu dari sela-sela batang kelapa.

*

Ini sudah tidak bisa dibiarkan. Tagu sudah keterlaluan. Kemarin pulang jam dua belas lewat. Sekarang sudah hampir jam satu malah belum pulang. Kasih uring-uringan sendiri di dalam biliknya sambil menidurkan anak laki-laki yang terbangun. Terpengaruh oleh keadaan hati Kasih yang tidak karuan, bocah itu malah tambah merengek. Mau tidak mau, Kasih harus menyusuinya. Sejenak kemudian, anaknya sudah tertidur.

Kasih bangkit dari dipan lalu menyanggul rambutnya yang terurai. Hatinya mulai rusuh kembali. Di luar terdengar bunyi seseorang datang.

“Lembur, lembur. Lembur apaan sampai lewat tengah malam begini.”

Dengan langkah yang dihentak-hentakkan penuh kejengkelan, Kasih menuju ke ruangan depan. Membuka pintu dengan kasar lalu berbalik kembali secepat kilat ke biliknya. Membaringkan tubuhnya dan pura-pura memejamkan mata. Dibiarkannya Tagu masuk ke rumah. Mengunci gerendel pintu. Dan menuju dapur untuk meletakkan karung perkakasnya di sana. Kasih ingin memberondong suaminya dengan kemarahan yang menyesak di tenggorokannya sejak sore. Tapi kemarahan itu justru mengalirkan seluruh air di tubuhnya menuju kedua matanya lalu menderas keluar membanjir di pipinya. Kasih terisak.

Kasih tidak kunjung mengerti mengapa Tagu begitu mementingkan kerja lemburnya. Dia tidak pernah meminta sesuatu yang dia tahu Tagu tidak akan mampu memenuhinya. Cukuplah untuknya, kehidupannya yang sederhana ini, asalkan ada Tagu yang menghangatkan dinginnya malam-malam Kasih.  Dia gagal paham, apa sebenarnya yang ada di balik kerasnya Tagu menjalankan kerja lemburnya.

Kasih semakin terisak, tatkala Tagu menyingkap gorden lusuh di pintu kamar. Tagu kemudian membaringkan tubuhnya yang lembab oleh keringat dan embun malam itu, di samping tubuh Kasih yang menggigil karena menahan isakan.

“Sudahlah, Sih. Tidur, ya,” ujarnya pelan seperti tak ingin menyaingi isakan istrinya.

“Aku mau Abang tidak usah lagi pergi lembur besok. Aku mau Abang di rumah saja sepulang kerja sore besok,” kata Kasih di sela isakannya.

“Tapi Sih, Abang masih harus lembur. Abang kan sudah pernah bilang, kalau sudah waktunya berhenti, pasti Abang akan berhenti lembur,” jawab Tagu datar.

“Iya, Bang. Tapi Abang sudah hampir tiga bulan ini lembur. Seharipun Abang tidak pernah istirahat. Lagipula untuk apa sebenarnya Abang lembur? Kasih tidak pernah meminta apa-apa dari Abang. Kita juga tidak punya hutang apa-apa kepada orang lain,” Kasih terdiam sesaat. “Apa Abang punya perempuan simpanan?”

Tagu terperanjat. Tidak mengira kalau istrinya sampai berpikiran begitu.

“Kamu jangan berpikiran macam-macam lah, Sih. Aku benar-benar lembur, titik,” dengan suara tegas Tagu mengakhiri percakapan itu. Dirinya lelah, ingin segera tidur untuk mengisi tenaganya kembali setelah bekerja keras. Tinggal beberapa hari lagi, batinnya menguatkan diri. Dia masih mendengar Kasih terisak. Tapi matanya sudah berat, tidak lama suara dengkuran lemah terdengar dari mulut Tagu.

Kasih meringkuk sambil terisak sampai fajar pertama datang.

*
Setelah kejadian malam itu, Kasih dan Tagu jadi sama-sama berdiam diri. Kasih mengerjakan apa yang semestinya dia kerjakan sebagai seorang istri dan ibu, Tagu bekerja seolah tidak terjadi apa-apa. Tagu ingin segera menyelesaikan semuanya. Dia semakin giat bekerja.

Beberapa hari kemudian, Tagu seperti biasa berangkat pagi-pagi sekali. Hanya saja kali ini dia tidak membawa serta karung perkakasnya. Kasih heran, tapi tidak ingin menanyakan. Mereka masih perang dingin. Meskipun sebenarnya kedua-duanya berharap sebaliknya.

Tagu tidak menuju bukit kapur tempatnya bekerja. Melainkan berjalan kaki menuju jalan desa di ujung kampungnya. Dari situ dia akan menumpang bis kayu, transportasi murah berupa truk yang bak belakangnya didesain khusus untuk memuat penumpang. Bis kayu itu akan membawanya ke kota. Sepanjang jalan, Tagu bersenandung tiada henti.

*

Brakkk, brakkk, braaakkk!!!
Kasih kaget bukan buatan. Dia terlonjak dari dipan. Payudaranya terlepas dari mulut anak laki-lakinya. Bocah itu sontak menangis keras. Suara gedoran di pintu itu, disusul teriakan-teriakan dari dua orang lelaki. Menyuruhnya segera membuka pintu.

Kasih tahu itu suara tetangganya di seberang ladang. Tapi ada apa ini? Kasih panik. Tangannya gemetar membuka gerandel pintu. Ketika pintu sepenuhnya terkuak, Kasih menjerit melihat Tagu terkulai berlumuran darah, dipanggul tetangga mereka. Dia menangis histeris, mulutnya meracau menyebut-nyebut nama suaminya, menanyakan kejadian apa yang menimpa suaminya. Dia mendengar dua lelaki yang membawa Tagu berbicara sesuatu, perampok, berkelahi, kena bacok, tolong. Kasih tidak bisa menangkap secara lengkap, tapi dia tahu suaminya dirampok dan melawan.

Saat Kasih memeluk Tagu yang dibaringkan di dipan, dia mendengar suaminya berkata lirih.

“Untukmu, Sih,” lalu Tagu menyorongkan tangannya yang mengepal. Membukanya tepat di muka Kasih yang berurai air mata. Sebentuk cincin kawin yang paling indah yang pernah Kasih lihat seumur hidupnya. Kasih semakin tergugu. Serta merta dipeluknya Tagu, dihujaninya dengan ciuman. Kasih tidak bisa berkata-kata. Dia tiba-tiba ingat, ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka.


Repost from My Facebook Notes, Waikabubak, 16 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar