Mengenali Objek Cerita


Air

Dilihat dari struktur tulangnya, daun yang menjadi rumah bagi enam titik air ini sejenis dengan daun talas. Atau sejenis daun singkong. Atau memang daunt alas itu sendiri. Aku tidak bisa memastikannya, sebab dalam foto, yang dijadikan point of viewnya adalah ketujuh titik air itu. Daun yang memiliki sembilan ruas tulang daun itu hanyalah sebagai latar belakang saja. Tidak terlihat dengan jelas bagaimana bentuk daun itu secara keseluruhan. Hanya sembilan sulur daun yang membentuk struktur seperti bintang atau jaring laba-laba.


Dengan seluruh tulang daun yang memusat di tengah-tengah daun. Jadinya seperti susunan sembilan segitiga sama kaki yang ditempel berhimpitan di ujung lancipnya. Dan titik pusat persinggungan kesembilan segitiga tulang  daun itu ditempati oleh sebuah titik air berukuran paling besar diantara ketujuh titik air itu. Sementara enam titik air lainnya berderet sedemikian rupa mengelilingi titik air yang paling besar itu. Entah bagaimana, enam titik air itu, berdiam di enam tulang daun bagian atas secara berurutan. Membiarkan empat tulang daun lainnya kosong tidak berpenghuni.

Jika ditarik lengkung diantara ketujuh titik air itu, akan terbentuk gambaran seperti ekor burung merak yang sedang mengembang. Bisa juga membentuk sayap kupu-kupu. Titik-titik air yang bening itu serupa dengan mutiara, bulat tapi agak oval seperti telur. Jika titik-titik air itu bisa dibekukan oleh sebuah keajaiban, aku yakin keindahannya akan melebihi mutiara. Saking beningnya, di salah satu titik air itu aku bisa melihat sulur tulang daun membayang di balik kemilau air itu. Diantara warna hijau daun yang mendominasi keseluruhan foto itu, kemilau bening titik air itu menyelipkan nuansa damai. Membuat kesan yang ditangkap mata, menjadi lebih teduh, alami, dingin tapi indah. Terlebih warna hijau daun itu sangat lembut. Seolah bercampur dengan warna putih yang membias dari cahaya yang diserap oleh titik-titik air di atasnya. Cahaya yang mungkin datang dari sinar matahari yang datang di pagi hari. Warna hijau itu kemudian disapu oleh sedikit warna kekuningan yang dipantulkan oleh sinar matahari. Dan ditingkahi oleh warna hitam, yang datang untuk memberi bayangan di sisi-sisi lekukan daun itu. Agak membuat suasana jadi agak kelam. Tapi tidak lantas menghapus kesan indah yang ditebarkan oleh titik-titik air itu. Justru sedikit hitam di pinggiran itu menyeimbangkan warna hijau yang menguasai pemandangan ini. Menjadikannya indah dan menenangkan.





Api


Panas, gerah, amarah dan sakit yang tak tepermanai. Itulah api yang sedang meluap-luap membakar apa saja yang menantangnya. Nyala merah yang menjuntai-juntai melalap semua yang ada didekatnya itu menyiratkan murka dan dendam yang membara. Membakar dan melumatkan semua yang bisa disentuhnya kemudian mengubahnya menjadi abu. Membuat apa saja yang tadinya berkuasa dan tegak berdiri menjadi menyerah kalah dan luluh lantak. Sampai-sampai angin sehalus bisikanpun akan sanggup menerbangkan abunya sejauh mata memandang.
Ini adalah sesuatu yang sangat menakutkanku. Membuatku ingin segera melarikan diri dari cengkeraman panasnya yang melelehkan segala. Dengan melihatnya saja sudah membuat badan menjadi meriap kepanasan, seperti hendak kering, lalu pelan tapi pasti dari segala arah menyala sejilatan api. Lalu kulit seketika gosong dan tak berapa lama tinggal seonggok abu.
Api yang kulihat sekarang ini adalah api yang tengah menyemburkan murkanya. Ia ganas menerjang ruang-ruang kosong yang membantunya berkobar hebat. Ruang kosong yang menyuplai oksigen bagi nyawa dan nyalanya. Ia mengganas, menjilat-jilat seperti lidah ular yang hendak memangsa korbannya.
Pernah terkena ujung setrikaan panas? Bayangkan rasanya sejuta kali lipat. Lidah api ini menyengatmu jauh lebih sakit dari sengatan listrik. Perih sambaran panasnya melebihi perih siraman garam di luka yang terbuka.
Warnanya kuning menyala-nyala menyilaukan mata. Ditambah merah yang menyalakan dendam, dan hitam yang menandakan kegelapan, kelam dan kejahatan. Muntab tak terperikan laksana api dari turun langsung dari matahari. Meluapkan amarah dan murka yang membakar jiwa.
Berada di dekatnya tidak akan membuatmu mengeluarkan keringat, melainkan akan seketika menghanguskanmu. Bahkan dalam hitungan detik. Sesaat setelah mendekat, dan tanpa peringatan apa-apa dan sebelum menyadarinya, kau sudah berubah menjadi api itu sendiri.
Saking ganasnya nyala api itu, seolah ia terbakar tanpa ada waktu untuk membuatnya berhenti menyala. Seolah ia tidak bisa padam atau dipadamkan. Seperti tidak mampu dilawan oleh air yang beku dan dingin meski air itu diguyurkan hingga membanjiri seluruh ruang yang ada. Api itu seperti api abadi yang terus menyala dan menyorotkan hawa panasnya yang menggelora. Bahkan semakin lama semakin merangsek membakar apa saja. Melalap mentah-mentah apapun yang menyentuhnya. Menyita seluruh oksigen untuk mengobarkan amarahnya sehingga tak satupun makhluk hidup bisa bertahan dan hidup berdampingan dengannya. Semua akan menghindar dan lari. Terkecuali sesuatu yang ingin terbakar dan hancur luluh tak bersisa.





Awan


Langit di sekitar awan itu biru terang. Jernih dan indah. Tidak dikotori oleh warna lain dan bahkan awan lain. Hanya ada langit biru itu dan tepat di tengah-tengahnya sebentuk awan cumulus yang menyendiri bertahta dengan megahnya. Persis seperti raja yang sedang duduk di singgasananya. Dia tidak rela berbagi kekuasaan dengan siapapun. Dengan apapun. Awan itu raja. Dan langit singgasananya. Awan yang putih pekat itu membentuk gumpalan seperti kapas raksasa yang sedang melayang di angkasa.
Kalau dilihat dengan seksama, gumpalan awan itu seolah menyerupai kelinci. Bagian kepalanya menghadap  ke sisi kanan. Lurus pas di tengah jika kita tarik garis dari sisi kiri ke kanan. Yang membuatnya kelihatan seperti kelinci adalah telinganya panjang menjuntai sampai menyamai panjang badannya. Lalu ekornya yang membulat seperti gulungan  benang wol. Lengkap dengan serabut-serabut bulunya yang halus. Dan kaki belakangnya yang sedang mendekam di balik perut yang gemuk. Kemudian kaki depannya yang terlihat seperti habis melompat. Lucu sekali.
Tapi aku lebih suka membayangkan awan itu seperti segumpal harumanis. Lembut manis dan berserabut. Rasanya tangan ini gatal ingin mencubit sebagian lalu menjejalkannya ke dalam mulut. Sensasi manis dan lumernya serabut-serabut halus itu di mulutku sangat menyenangkan. Hanya saja harumanis yang ini tidak berwarna merah seperti harumanis yang dijual di lapangan ketika ada pasar malam. Yang ini putih mulus. Tapi aku merasa harumanis putih yang sedang mengambang di langit ini lebih manis dari harumanis manapun yang ada di dunia ini.
Tapi awan putih itu hanya awan biasa saja. Yang kebetulan muncul di langit pagi yang sedang biru benderang. Di foto ini awan itu terlihat tidak begitu besar. Teronggok di tengah-tengah memenuhi kurang lebih seperenam bagian foto ini. Tapi jika dilihat aslinya, maka bisa dilihat awan itu adalah awan yang cukup besar. Bisa jadi awan itu terbentuk dari serpihan-serpihan awan tipis yang kemudian karena dihalau angin menjadi menyatu. Bergumpal dan membulat sedikit demi sedikit. Sampai membentuk awan yang solid ini.
Langit biru yang melatar belakangi awan itu membuat warna putihnya terlihat semakin bersih. Tapi jika jeli, ada sisi gelap di balik gumpalan-gumpalan asap itu yang bisa ditangkap oleh mata kita. Sedikit bayangan gelap yang mungkin sudah mengandung titik-titik air yang siap dijatuhkan jika sudah waktunya nanti. Melihat keberadaannya yang menyendiri, akan butuh waktu lama bagi titik-titik air di awan itu untuk jatuh di bumi. Ia harus mengelana ke tempat yang jauh, untuk bisa bersama kawan-kawannya, sesama awa, meneteskan air hujan.





Wajah


Perempuan itu berwajah khas kaukasia. Ia mempunyai rambut lurus, pendek dan berwarna hitam. Kelihatannya warna rambut itu hasil semiran, karena alisnya yang ia rapikan dengan cara mencukurnya itu lebih berwarna terang ketimbang rambut kepalanya. Mungkin coklat gelap. Dari sulur-sulur rambutnya aku tahu rambutnya adalah lurus yang dibuat, dengan cara rebonding. Kemudian dipotong dengan gaya model sekarang. Potongan rambut yang tidak simetris. Pada beberapa bagian bagian belakang dibiarkan helai-helai rambutnya meruncing seperti ekor tikus atau mungkin lebih mirip ekor burung cendrawasih. Hanya saja ini lebih pendek. Sebatas telinga dan bagian yang runcingnya tak melebihi lehernya.
Kulit putihnya kecoklatan, pasti didapat dari sunbathing. Dari senyum yang menawan terlihat dia orang yang berkepribadian menyenangkan. Sama seperti orang dari Eropa lainnya, hidungnya mancung. Batang hidungnya membentuk garis lurus dari mulai pangkal sampai di ujung yang mencuat persis di atas bibirnya yang tipis kemerahan. Lancip tapi mengesankan kelembutan. Matanya sedikit menjorok ke dalam. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak sipit atau kecil. Seperti bibirnya, matanyapun seolah tersenyum. Siapapun pasti menyukai tatapan mata coklatnya yang bersahabat.
Aku taksir dia berumur dua puluh lima atau tiga puluhan. Wajahnya tidak terlalu dipenuhi make up. Hanya seulas bedak, lipstick tipis warna merah bata dan eyeliner saja yang membantu wajahnya menampilkan keceriaan. Hanya saja lehernya dihiasi dengan guratan-guratan kulit yang melingkar. Ada tiga guratan di sana. Dua di pangkal dan satu di ujung lehernya.Tidak membuatnya kelihatan tua, meskipun agak mengganggu tampilan wajahnya yang secara keseluruhan sudah cantik.
Gaun yang dipakainya berwarna hitam. Berleher rendah sehingga memamerkan bagian bahu dan dadanya yang putih mulus. Blus bergaya Sabrina yang amat sederhana. Sedikit membuat kulitnya yang putih menerawang dari luar. Pasti kainnya dari jenis yang tipis dan licin. Seperti kain tissue, atau kain paris. Tonjolan tulang belikatnya memberi kesan sedikit seksi, berpadu dengan bahu yang proporsional.
Di dagunya terdapat semacam dekik. Lekukan kulit yang mirip lesung pipi. Membuat senyum yang memberikan garis lengkung di kedua area atas bibirnya semakin terlihat manis. Bahkan meskipun senyum itu tak menampakkan giginya sama sekali. Aku suka tarikan di bibirnya saat tersenyum. Agak lebih cenderung tertarik ke sebelah kiri wajahnya. Bukan senyum yang seimbang, tapi justru di situlah daya magnetnya. Senyum itu yang membuat perhatian orang tersirap padanya.







"Masih Selasa yang tak biasa. Kenapa tidak jadikan Selasa ini sebagai tonggak perjuanganmu mengejar mimpi, Lik? Apalagi yang kau tunggu. Menulislah, dan terbanglah ke angkasa imaji liarmu yang menggelora...."


Repost from My Facebook Notes, Waikabubak, 4 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar