Bisakah engkau bayangkan bagaimana rasanya menjadi perempuan
yang harus merawat luka-luka seorang kapten perang yang telah membunuh
suaminya. Sutradara Edward Zwick sangat pas menggambarkannya dalam
sebuah adegan di film The Last Samurai.
Film ini dirilis pada Desember 2003 dan diproduksi selama 4 tahun.
Menurutku film epik ini layak mendapat bintang lima. Mengapa demikian?
Tadinya kukira karena latar belakang film ini adalah sejarah runtuhnya
kejayaan samurai di Jepang, maka lokasi shootingnya pasti di suatu
tempat di Jepang. Tapi tidak. Ternyata film ini dibuat di Selandia Baru,
tempat asal Sutradara Eksekutif dan penulis naskah Vincent Ward. Dan
suasananya sungguh mirip di Jepang. Suasana pegunungan tinggi, dengan
lembah yang asri dilengkapi rumah-rumah gaya Jepang dan petak-petak
sawah serta kuilnya. Amat mirip. Ditambah dengan bunga-bunga sakura yang
sedang mekar berguguran. Aku sungguh tidak menyangka film ini dibuat
ribuan kilometer jauhnya dari Jepang.
Tadi malam aku menonton film ini. Lagi. Entah sudah berapa kali saya
menonton ulang film ini, tapi tetap saja aku selalu tersentuh
dan menangis di akhir film ini. Terlepas dari kisah epik dan
muatan-muatan moralnya yang sangat menggugah hati dan mengagumkan. Aku
selalu suka bagaimana film ini menggambarkan cinta dengan begitu
romantisnya.
Jangan bayangkan ada adegan kontak fisik yang identik dengan kisah
cinta-cintaan seperti dalam film lain. Di The Last Samurai, cinta yang
hadir dengan pelan di hati Taka, perempuan yang kuceritakan di paragraf
pertama, dilukiskan dengan lembut dan menelusup di hati hanya lewat
tatapan mata Sang Kapten, Nathan Algreen. Yang sukses diperankan oleh
Tom Cruise. Itulah yang membuat aku tidak pernah bosan menonton film
ini.
Taka adalah seorang stereotype perempuan Jepang yang setia, patuh,
tindak tanduknya halus dan teramat sopan. Karena kepatuhannya, dia rela
merawat Algreen yang ditawan oleh kakaknya Kepala Samurai yang bernama
Katsumoto. Dengan penuh kerelaan dia membersihkan badan, merawat
luka-luka, memberi makan dan menyiap segala keperluan Algreen. Tanpa
banyak bicara dan dilakukan layaknya melakukan sebuah
pengabdian. Mungkin karena ketulusannya itulah Algreen menjadi jatuh
cinta. Dan benar-benar tidak ada kata-kata cinta yang diucapkan oleh
Algreen. Tatapan matanyalah yang berbicara. Sehingga akhirnya Takapun
pelan-pelan mulai merasakan ada ruang di hatinya yang mulai diisi oleh
kehadiran Sang Kapten. Indah....
Dan satu hal lagi yang baru tadi malam aku sadari dan kemudian
menginspirasiku adalah bahwa Kapten Nathan Algreen ternyata seorang
traveller writer. Kemana saja aku selama ini?! Aku melihat Algreen rajin
mencatat apapun yang dilihat dan dirasakannya. Dan itu dilakukan dengan
penuh kesadaran, bukan sekedar curhat, namun ada semangat untuk
mengabadikan moment-moment yang dia alami untuk kemudian dia bagi kepada
dunia.
Ya. Dia berkelana ke tempat-tempat yang jauh, berperang melawan
suku-suku di berbagai belahan bumi dan selalu mengekalkan apa yang dia
alami dan dia saksikan lewat catatan hariannya. Catatannya yang sempat
aku ingat adalah tentang kedisiplinan kaum samurai dan keluarganya dalam
melaksanakan tugas apapun yang diembannya. Sejak bangun pagi mereka
mengabdikan diri kepada kesempurnaan atas apapun yang mereka kejar. I've never seen such dicipline like this, begitu tulis Algreen, tidak heran kini Jepang menjadi salah satu negara maju di dunia.
Catatan hariannya yang sudah terkumpul banyak itu, lalu diberikan
kepada seorang wartawan Amerika yang turut serta bersama Algreen di
medan perang untuk dibuat menjadi buku.
Akhir kisah, Algreen berperang melawan tentara kaisar bersama
Katsumoto sampai titik darah penghabisan. Mereka kalah jumlah dan
senjata, namun tak sedikitpun kegentaran muncul melintas di wajah
mereka. Katsumoto meminta Algreen untuk membantunya melakukan harakiri
disaksikan tentara kaisar yang mengepung dengan senjata meriam howitzer.
Sampai titik ini aku tidak bisa menahan air mata, begitu Katsumoto
meregang nyawa, seluruh tentara kaisar bersujud menghormati jasad
Katsumoto yang gugur sebagai ksatria. Betapa agungnya cara mati sebagai
martir.
Algreen yang selamat, kemudian membawa pedang Katsumoto menemui
Kaisar. Bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk mempersembahkan pedang
tersebut kepada Kaisar sesuai amanat Katsumoto. Saat itulah Algreen bisa
membuka mata Kaisar yang selama ini tertutup oleh hasutan penasehatnya
yang licik Omura. Sang Kaisar, berjongkok di hadapan Algreen yang
bersujud, lalu bertanya: Katakan padaku, bagaimana dia mati?
Dan Algreen menjawab: Akan kukatakan bagaimana dia hidup.
Seorang Ksatria, Martir, Syuhada, tidak pernah mati. Dia tetap hidup
dalam sejarah, dalam sanubari orang-orang yang mengenangnya.
Waikabubak, Sabtu pagi, 29 September 2012.
yo mba,saya pernah nonton film ini, mengharukan. gak nyangka, setelah perang dia balik nyari si cewe
BalasHapusThe last samurai..mantap ulasannya bu. Teringat lagi cuplikannya saat ESQ di bali...
BalasHapusMakasih Pak Patricz, udah mampir di blog sederhana ini.
Hapus