Kamar Pengap



Ruangan ini semakin pengap. Seprei merah muda bermotif bunga itu tidak menolong suasana kamar menjadi lebih menyenangkan untukku. Bau obat yang mengendap selama hampir  tiga bulan ini, cat temboknya yang pucat, segelas besar air putih yang selalu tersedia di meja, bau kecut aroma tubuh, dan segalanya. Semuanya membuat aku selalu ingin keluar dari kamar ini. Menghindar dari kejenuhan dan melarikan kesumpekanku dengan menghirup udara segar di luar sana. Di sebuah taman yang tak begitu jauh dari rumah.

Taman yang akhir-akhir ini menjadi tempat kelangenanku. Taman kecil yang rindang dengan suasana senyap yang mencekam. Tidak banyak yang mengunjungi taman ini. Mungkin hanya aku. Dan sepasang kupu-kupu kuning yang berkejaran di rerumputan yang hampir kering. Seperti sore ini.


Aku mengendap-ngendap keluar dari kamar setelah tak lagi kudengar erangan kasar. Erangan yang selalu merobek-robek telinga saya. Erangan yang disarati makian dan sumpah serapah. Erangan yang suatu ketika membuncah dan membuahkan perasaan muak dan jijik di sekujur tubuh saya. Tubuh yang dulu dengan semena-mena ditunggangi dan dipukuli.

Aku tak pernah ingat sejak kapan aku jadi suka mendatangi taman ini. Yang kuingat, seluruh lebam yang biru membengkak di balik bajuku ini seolah lenyap. Aku tidak merasakan apa-apa kecuali angin yang semilir.  Dan kepak sayap kupu-kupu kuning itu serupa bulu-bulu halus angsa, lembut mengipasi hatiku yang kalut.

Waktu itu, pertama kalinya aku menyeret kakiku menjauh dari kamar pengap itu. Aku membawa seember air mata yang siap jebol. Kutahan mati-matian agar tidak tumpah ruah di jalan. Berat menggantung di pelupuk yang memar karena luka timpuk. Kutunggu sampai aku duduk di bangku taman. Lalu kukuras habis air mata yang membuat kelopakku pedih dan panas. Aku duduk di taman itu sepanjang sinar matahari bergerak condong ke tepian barat. Lalu sesaat sebelum sinarnya meredup ditelan awan yang bergulung, aku segera pulang. Sebelum malam membangunkan sosok yang meringkuk di kamar pengap itu. Aku bergegas.

Semenjak itu, hampir selalu kuenyahkan luka perihku di pelipis, di paha, di pipi, di punggung dan di hatiku, dengan duduk mencakung menunggu mataku kering di taman itu.

Aku bercakap-cakap dengan angin. Aku menyapa rumput yang menyentuh betisku ragu. Aku mengajak sepasang kupu-kupu kuning yang terbang tak pernah jauh dariku, bercengkrama dalam diam.

Sampai suatu ketika, aku terperanjat. Di taman itu aku tidak lagi sendiri.

“Ya, Tuhan. Apa yang terjadi padamu? Kau baik-baik saja kan?” katamu tiba-tiba seperti menyelinap di telinga.

Aku menyeka air mata yang merembes tak henti-henti dari sepasang  sumbernya. Perih menyayat dari bibirku yang merekah merah berdarah. Kusembunyikan luka itu dari pandanganmu yang penuh kecemasan. Pandangan yang terlihat asing di mataku. Sebab di kamar pengap itu, aku hanya melihat pandangan yang melecehkan. Pandangan beringas yang membuatku menggigil kuyu di sudut kamar.

Kau mencoba membuka telapak tanganku yang menutupi sudut bibirku. Kutepis lalu aku bangkit dan setengah berlari pulang kembali ke tempat dimana luka itu terjadi. Sekali lagi, aku tak bisa tidak kembali, ke kamar pengap yang seperti ruang inkuisisi.

Teriakanmu tak kuhiraukan. Aku terus berlari.

Entah kapan. Tiba-tiba aku mendapati diriku sudah luruh di pelukanmu. Senja itu. Saat kulitku melepuh digempur api yang merubung gulungan tembakau. Yang ditusukkan berulang ke separuh perutku, di sela tawa membahana, makian dan desahan liar, di malam sebelumnya.

Kau berdiri disana, seperti menungguku. Bersiap menampung duka yang mengucur deras dari mataku. Setelah puluhan kali kita bertemu dan kau selalu gagal membujukku membebaskan belengguku. Akhirnya, di senja yang bisu, aku menyerahkan diriku pada tatapan kecemasan yang nyalang menyorot di matamu.

“Biarkan aku membantumu,” kau pelan membujukku.

Aku hanya diam merasakan sengatan panas yang berpesta di kulit perutku. Sementara tanganmu yang menjamah pundakku, menyisihkan anak-anak rambutku yang tergerai di wajahku. Kubiarkan saja kau kemudian memapahku menuju bangku yang setia menjadi temanku.

Aku sudah tak punya tenaga untuk menolakmu. Tidak sanggup lari lagi. Tatapan asing yang selalu kau tampakkan dari sepasang matamu yang dalam, kian akrab, dekat dan menjanjikan ketenangan yang lama tidak aku dapatkan.

“Siapa yang melakukan ini semua padamu,” tanyamu penuh rasa ingin tahu.

Aku menggeleng.

“Suamimu?”

Aku diam menunduk.

“Kalau kamu mau, aku bisa menolongmu. Kita bisa laporkan perbuatan suamimu pada polisi.”

“Tidak perlu. Aku tidak apa-apa.”

“Ini tidak boleh dibiarkan,” katamu lagi.

“Sudahlah, aku tidak apa-apa,” kataku lirih, “bisakah kita diam saja, aku ingin meredakannya dengan diam.”

Lalu kita bungkam. Kau mengganti perhatian lewat kata-kata dengan serengkuh pelukan. Lama. Sampai aku tersadar aku tidak boleh tenggelam terlalu dalam. Aku segera beranjak melepaskan pelukanmu dan berlalu.

Sebuah kecelakaan membebaskanku dari siksaan hewan buas penguasa kamar pengap itu. Tak berselang lama setelah kau rengkuh aku waktu itu. Aku merdeka dari deraan nafsu yang mengungkungku dari waktu ke waktu. Terlepas dari cambukan ikat pinggang disertai lenguhan. Aku tak lagi lari membawa luka lebam di dada ke taman rindang itu. Kini yang kubawa adalah senyuman terkulum yang ingin kupersembahkan padamu. Senyum yang tak pernah terbit dari bibirku setiap bertemu denganmu. Dan kau menyambutku disana dengan rona paling bahagia.

“Dia sekarang tergeletak di sana. Sepanjang waktu,” kataku.

“Ah, kenapa dia tak segera dijemput malaikat maut, biar aku bisa memilikimu seutuhnya,” ucapmu penuh sesal.

Aku tersipu mendengar perkataan itu. Penyesalan itu terdengar lebih serupa rayuan bagiku. Tahukah kau, lama sekali aku tak pernah merasakan geletar yang meriap di pori-pori kulitku karena mendengar sebuah rayuan. Semua perempuan suka rayuan, bukan? Mereka bohong bila mengatakan sebaliknya. Dan kau adalah lelaki yang setiap kata dan geriknya selalu membuatku merasa dirayu. Kau membuatku merasa terpelanting jauh, lalu mendarat di tumpukan kapas putih yang berarak di langit. Indah rasanya.

Ternyata, aku belum benar-benar bebas. Tubuh yang teronggok di kamar pengap itu, masih terus berteriak, memaki dan mengintimidasiku. Meskipun keperkasaannya sudah ambruk seperti gedung WTC yang ditubruk pesawat teroris. Namun mulut dan pikirannya yang kotor masih setajam jarum, menusuki ulu hatiku setiap hari.

Sekali lagi aku terkungkung. Di kamar pengap itu, menyuapi mulut kotor yang bila tak segera diisi oleh makanan, ia akan meraung. Lalu menyeka tubuhnya yang lengket oleh keringat dan liur yang meleleh sewaktu tidur. Hari demi hari. Bahkan malam demi malam, di saat dia merintih menahan sakit. Aku harus berjaga di sana.

Aku tidak bisa meninggalkan dia disana. Meskipun kau memaksa. Dan kau memasang muka tegang. Entah. Selalu ada yang menarikku untuk kembali ke sana. Merasakan lagi luka yang hampir mengering, kadang aku merasa seperti ada yang akan hilang dari separuh tubuhku. Apakah ini sisa-sisa serpihan cinta yang luluh lantak dihajar kekejamannya?

Hari ini kutemukan jawabannya.

“Kau sangat naïf,” katamu saat lengan kukuhmu memelukku di taman, diiringi sepoi angin yang dingin.

“Dia butuh bantuanku, tidak ada sesiapa di hidupnya,” bisikku.

“Tapi dia sudah menyiksamu begitu lama. Sekaranglah saatnya jika kau ingin benar-benar terbebas darinya. Dia tidak bisa mengejarmu, bukan?”

Aku terdiam lama.

“Tapi dia melakukannya atas nama cinta,” akhirnya aku bersuara.

“Bah, omong kosong itu semua. Tidak ada cinta yang membuat seseorang menderita,” kau menyahut dengan nada kesal.

“Sudahlah, suatu saat kita pasti akan bersama. Tinggal menunggu saatnya tiba.”

“Kapan? Menunggu dia sekarat? Nyatanya sudah tiga bulan dia tidak juga meregang nyawa.”

“Aku harus bagaimana?”

“Larilah denganku, akan kubuat kau bahagia.”

“Bagaimana dengan dia?”

“Dia lagi, dia lagi. Mengapa masih kau peduli dengan orang yang sudah membuat sekujur tubuhmu penuh luka. Kalau saja aku tahu akan begini jadinya, seharusnya aku tabrak saja dia dengan truk, bukan dengan motorku.”

BLAAAAR….!

Halilintar menyambar kepalaku. Aku kaget bukan kepalang. Tubuhku bergetar hebat.

“Kau….? Kau yang…..?”

“Ya, sayang, aku yang telah menabraknya malam itu, bukankah itu yang kau inginkan? Dia mati dan kita bisa hidup bersama?”

Kepalaku mendadak pening luar biasa. Kau, lelaki yang kusangka hatinya selembut kata-katanya, sanggup melakukan perbuatan yang bisa menyebabkan orang mati. Kau bahkan lebih sadis dari dia, yang sekarang tengah teronggok tak berdaya di kamar pengap itu.

Kudorong tubuhmu. Kau terkesima, tak menyangka reaksiku berbalik dengan harapanmu. Tak kupedulikan teriakanmu, memanggil-manggil namaku. Aku berlari meninggalkanmu sekuat tenaga. Menuju kamar pengap dimana dia kutinggalkan dengan diam-diam.

Hanya saja kali ini, aku tidak akan kembali, ke taman itu lagi.


PS. Cerpen untuk Naima Alhabsyi. So sorry couldn't make it in time. There's an error on my head when I was trying to finish it. ^_^

Repost From My Facebook Notes, Waikabubak, 22 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar